Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sabuk Roosseno di Borobudur

Sejumlah proyek raksasa lahir dari tangan Roosseno. Sangat yakin akan ilmunya.

8 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEMPA yang mengguncang Yogyakarta, 27 Mei 2006, sempat membuat khawatir Marsis Soetopo, Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Lindu dengan kekuatan 6,2 pada skala Richter itu melibas Bantul dan sekitarnya. Candi Prambanan sempat berguguran.

Marsis, yang segera memeriksa cagar budaya Borobudur, lega menemukan candi itu tegak berdiri. ”Konstruksi candi masih cukup kukuh,” katanya kepada Heru C.N. dari Tempo. Semula, Marsis sempat mengkhawatirkan bukit penyangga candi longsor terkena gempa.

Borobudur, yang dipugar selama 10 tahun (1973-1983), ternyata telah dirancang tahan gempa oleh Roosseno, yang kala itu bersama guru besar arkeologi Universitas Indonesia, Profesor Dr Soekmono, memimpin pemugaran. Ada dua rancangan Roosseno yang membuat candi itu kukuh.

Pertama, talud penahan longsor yang melingkari bukit tempat Borobudur berdiri—yang kemudian dikenal sebagai ”Sabuk Roosseno”. Kedua, pelat-pelat beton di dalam tubuh candi, yang dulu dipasang bersamaan dengan penyusunan kembali batu-batu candi. ”Pelat-pelat itu dimaksudkan membuat tubuh candi bisa bertahan hingga ratusan tahun,” Marsis menjelaskan.

Tak banyak yang tahu, rancangan struktur Borobudur yang kini teruji itu sepenuhnya karya insinyur Indonesia. Semula, proyek pemugaran yang didanai UNESCO dan International Consultative Committee itu melibatkan ahli pemugaran dari Jepang, Amerika Serikat, Belgia, Jerman Barat, dan Indonesia.

Proyek itu memang berat. Harus membongkar dua juta batu dan arca, memasang pelat-pelat fondasi beton, membuat sistem pipa drainase, lalu memasang kembali batu dan arca ke tempat semula.

Karena penanganan kestabilan lereng bukit Borobudur oleh dua konsultan UNESCO bertele-tele dan tidak tuntas, pada 1975 Roosseno membentuk tim ahli sendiri, terdiri atas insinyur sipil Indonesia. Di antaranya terdapat Ir Aziz Djayaputra, Ir F.X. Toha, dan Ir Indra Djati Sidi.

”Konsultan asing memberi harga terlalu tinggi,” kata Indra Djati Sidi. ”Pak Roosseno tidak mau dan memilih mengerjakan sendiri dengan tenaga insinyur dalam negeri.” Tim ahli dipimpin oleh Wiratman Wangsadinata, ahli teknik gempa beton dan orang kepercayaan Roosseno.

Empat insinyur lokal ini kemudian menganalisis dan menghitung stabilitas kemiringan ketika Borobudur nanti dipugar. ”Borobudur itu kan gunung yang ditutupi candi,” kata Indra. Karena itu, dibutuhkan kalkulasi yang tepat agar tidak terjadi longsor.

”Kami melakukan analisis stabilitas lereng atau slope stability,” kata Indra. Mereka kemudian menciptakan peranti lunak yang memudahkan dan mempercepat analisis serta simulasi. ”Itu software buatan kami, dan mungkin software pertama buatan Indonesia.”

Menurut dosen Institut Teknologi Bandung itu, seingatnya paling tidak ada 50 keadaan yang disimulasikan. Semua analisis itu dilaporkan tim kepada Roosseno dan disetujui. Laporan final menyimpulkan, semua tahap pemugaran aman terhadap kelongsoran. Faktor keamanan jangka panjangnya pun memadai.

Laporan ini disetujui International Consultative Committee di Candi Borobudur, pada 27 April 1976, sehingga pekerjaan fisik pemugaran dimulai. ”Beliau sangat yakin akan ilmunya dan mampu memudahkan serta menjernihkan hal yang sulit,” kata F.X. Toha, salah seorang anggota tim.

Sementara itu, Roosseno, meski tak banyak terlibat urusan teknis, lebih disibukkan oleh pencarian dana. ”Karena dana itu bantuan banyak negara, Bapak sering ke luar negeri,” kata Toeti Herati Noerhadi, putri sulung Roosseno. Pemugaran Candi Borobudur diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Februari 1983.

Pemugaran Borobudur adalah proyek terlama Roosseno. Dalam hidupnya, ahli beton itu juga pernah membuat proyek terbanyak dalam waktu yang singkat, sekitar 30 bulan, atau dua setengah tahun, yakni ketika Presiden Soekarno mulai ”gila” akan bangunan-bangunan gigantik pada era 1960.

Karena seringnya berurusan dengan beton, Roosseno berhasil menemukan metode kerja pemasangan beton yang efisien. Misalnya, untuk pemasangan jembatan dengan beton komposit. Ia menyarankan menggunakan prekompresi atau prategangan pada gelegar komposit beton sedemikian rupa sehingga tegangan tarik pada gelegar bawah bisa dinetralkan.

Metode ini dicobanya di Jembatan Kali Ciliwung di kawasan Condet, yang terdiri atas tiga bentang, dengan bentang terpanjang 48 meter. Tapi metode ini belakangan gagal karena, setelah sekian lama, ternyata jembatan bergeser akibat beban.

Sumbangan penting lain Roosseno adalah sistem pancang Roosseno. Sistem ini meliputi dua hal, yakni berupa sambungan tiang pancang dan tiang pancang dengan kerah. Di Jakarta, sambungan tiang pancang Roosseno dipakai di Bangkok Bank Building, Caltex Building, Siemens Building, dan gedung Migas.

Tiang pancang sistem kerah Roosseno dipakai untuk fondasi Gedung Jaya di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, gedung Kedutaan Prancis, dan Jembatan Aer Komering di Sumatera Selatan. Tiang pancang Roosseno ini biasa dipakai dengan bobot sedang.

Pembangunan Istiqlal juga termasuk karya monumental Roosseno. Masjid terbesar di Asia Tenggara hasil rancangan Friedrich Silaban (1912-1984) ini punya konstruksi khas, yakni kubah lengkung beton terbesar, mungkin di Asia.

Kubah beton berdiameter 45 meter, dengan berat 86 ton, yang disangga 12 tiang setinggi 26 meter bergaris tengah 2,6 meter itu dapat diwujudkan Roosseno. ”Sukses itu boleh jadi karena Roosseno lebih dulu punya pengalaman membangun ’Istiqlal Kecil’, yakni Masjid Al-Azhar,” kata Profesor Dr Wiratman Wangsadinata.

Namun, ada juga kisah kurang sukses terkait dengan karya Roosseno. Misalnya, Jembatan Sarinah berbentang 40 meter di atas Jalan Wahid Hasyim, Jakarta, yang dibangun pada 1964. Jembatan itu runtuh pada 28 Februari 1981 akibat putusnya balok tarik beton pratekan penahan gaya reaksi horizontal di bawah Jalan Wahid Hasyim, karena baja prategangnya berkarat. Beberapa versi menyebutkan, ”kecelakaan” tersebut terjadi karena baja itu dipotong oleh tukang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus