Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penerjemah Gagasan Masif
Roosseno terus berkarya pada zaman berbeda. Masa produktifnya banyak diwarnai karya monumental.
SUATU pagi, di awal 1962. Dua sobat lama sesama insinyur berbincang selesa sembari sarapan di Istana Negara: Soekarno dan Roosseno. Mereka membahas rencana promosi doctor honoris causa di Institut Teknologi Bandung. Promovendusnya siapa lagi, kalau bukan Soekarno—Presiden Republik ketika itu.
”Mas, nanti akan disampaikan sepuluh hal pertimbangan pemberian gelar dan empat kesimpulan,” kata Roosseno kepada sahabat yang biasa dipanggilnya ”Mas Karno” itu. ”Sik, Roos. Itu nanti sebut keras-keras di Bandung saja. Sekarang mangan dhisik,” kata Soekarno, sambil menikmati daun kosambi kegemarannya yang dipetik dari halaman Istana.
Sambil terus mengunyah, Soekarno menimpali, ”Sing penting urutannya tidak keliru.” Roosseno, ketika itu guru besar Institut Teknologi Bandung, hanya diam memandangi.
Pada 27 Januari 1962, Soekarno pun dianugerahi gelar doktor oleh almamaternya. Roosseno, sebagai promotor, menguraikan alasan pemberian gelar akademik kehormatan itu di depan senat guru besar. ”Seluruh rakyat dan kaum teknisi haruslah berterima kasih mempunyai pemimpin negara yang berpendidikan dan berbakat tinggi sebagai insinyur arsitek,” katanya.
Ada enam jasa Soekarno yang dianggap membuat dia layak diberi gelar doctor honoris causa. Pertama, pembangunan Gedung Pola, tempat mempertontonkan Cetak Biru Pembangunan Semesta Berencana kepada masyarakat. Garis besar fungsi bangunan itu dirancang oleh Soekarno dan diwujudkan oleh arsitek Friedrich Silaban.
Kedua, pembangunan kompleks Asian Games, kompleks olahraga terbagus di Asia pada masa itu. Kemudian pembangunan Hotel Indonesia, pembuatan Jalan Jakarta-Bypass, serta pembangunan Masjid Istiqlal dan Monumen Nasional. ”Dengan menyaksikan perubahan-perubahan di negara kita atas pimpinan Saudara, politisi luar negara akan menyatakan: there is no gap between idea and act,” kata Roosseno, disambut tepuk tangan hadirin di aula kampus tersebut.
Hubungan Roosseno dan Soekarno bermula di Bandung pada 1928. Ketika Roosseno mulai masuk Technische Hogeschool (THS, cikal bakal Institut Teknologi Bandung), tak banyak mahasiswa pribumi, apalagi yang berasal dari Jawa Timur. Soekarno kesepian, sampai kedatangan adik kelasnya itu, yang lahir di Madiun pada 2 Agustus 1908.
Soekarno, yang lulus pada 1926, dan rekannya, Anwari, sempat mendirikan Biro Insinyur Soekarno dan Anwari pada 1928. Ia kemudian mendirikan Biro Insinyur Soekarno & Roosseno pada Agustus 1932, setelah Roosseno lulus pada Mei tahun itu.
Selain memberikan jasa perencanaan, mereka menjadi pemborong. Mula-mula biro itu berkantor di Jalan Banceuy Nomor 18, Bandung. Belakangan pindah ke gedung di Jalan Dalem Kaum, Bandung.
”... Saya di dalam Biro Insinyur itu hanya dapat mencurahkan idea, cipta, imagination…,” Soekarno pernah menulis. ”Hal perhitungan dan penghitungan, calculation, berekeningen, apalagi beton berekeningen, saya serahkan kepada Saudara Roosseno yang memang sejak dari mudanya adalah seorang ahli di dalam hal calculation besi.”
Meski sebetulnya sama-sama insinyur sipil, Soekarno lebih pandai dalam merancang bangunan. Adapun Roosseno, yang dikenal jago berhitung semasa mahasiswa, cakap dalam membangun konstruksinya. Sayangnya, kerja sama itu tak berumur panjang.
Pada 1933, Soekarno dibuang ke Ende, Flores. Tak banyak proyek ditangani. Hanya beberapa rumah di daerah Papandayan dan masjid kecil. ”Duitnya pas-pasan,” Roosseno mengenang, sekali waktu. ”Tidak ada order dari pemerintah Belanda.”
”Apong”—demikian Roosseno dipanggil secara akrab—juga meminta Soekarno mewakili keluarga Oentari, calon istrinya, ketika mereka menikah pada Juli 1932. Inggit Ganarsih, istri Soekarno, bahkan sibuk memasak untuk menjamu tamu. Makanan perlu banyak, karena selain tamu pasangan Roosseno, tak sedikit yang datang untuk mendengarkan pidato politik Soekarno.
Muginah, ibu mempelai perempuan, konon sudah khawatir Soekarno berpidato panjang-lebar. Benar saja. Bung Karno mengubah pernikahan Roosseno menjadi ajang agitasi politik. ”Pernikahan Roosseno dan Oentari adalah persatuan merah dan putih, keberanian dan kesucian bangsa kita,” seru Bung Karno berapi-api.
Setelah biro yang mereka dirikan bubar, Roosseno bekerja sebagai pegawai Department van Verkeer en Waterstaat (Departemen Jalan dan Pengairan) di Bandung), pada 1935-1939. Ia juga menjadi anggota Dewan Kota Bandung dan Kediri, mewakili Partai Indonesia Raya. Pekerjaan itu berakhir ketika Jepang masuk.
Roosseno beralih menjadi dosen di Bandung Koogyo Daigaku—perubahan THS. Menjelang kemerdekaan, ia diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mewakili kalangan akademisi. Ia berjumpa lagi dengan Soekarno.
Pada awal kemerdekaan, Roosseno menjadi Menteri Pekerjaan Umum, dan belakangan merangkap Menteri Perhubungan. Roosseno adalah salah seorang insinyur yang secara konsisten mengenalkan dan mengembangkan beton—baik lentur maupun tarik—dalam rekayasa bangunan di Indonesia.
Teknologi yang sudah berkembang di Eropa pada abad ke-19 itu menarik minat Roosseno karena bahan pembuat beton banyak tersedia di Indonesia. Selain cepat dan mudah dibangun, beton tahan terhadap iklim, bahkan bebas perawatan.
Semasa kuliah, ia pernah mendapat tugas menganalisis struktur jemba-tan sistem pelengkung lembek dengan gelegar pengaku. Ketika itu beberapa kontraktor Belanda menerapkannya di beberapa proyek, seperti Jembatan Aer Lim di Medan, Sungai Rawas (Muara Rupit), Aer Klingi (Palembang), dan Aer Komering (Martapura).
Menurut Roosseno, sistem peleng-kung lembek dengan gelegar pengaku sangat menguntungkan, efisien, dan ekonomis. Pembangunannya juga praktis dan efisien. Ketika bekerja di Department van Verkeer en Waterstaat, kelayakan struktur ini terus dikembangkannya untuk membangun jembatan-jembatan lain di Indonesia.
Nama Roosseno mulai diperbincangkan pada sekitar 1960, ketika Presiden Soekarno mulai ”gila” akan bangunan-bangunan gigantik. Motifnya politis, yakni harga diri dan kebanggaan bangsa. Kebetulan saat itu juga ada duit pampasan perang Jepang.
Lalu dibangunlah Hotel Indonesia di Jakarta, Hotel Ambarukmo di Yogyakarta, Samudera Beach Hotel di Pelabuhan Ratu, dan Bali Beach Hotel di Pantai Sanur, Bali. Juga Tugu Selamat Datang dan Monumen Nasional. Untuk menyongsong Asian Games, dibangun kompleks Gelanggang Olahraga Senayan, yang juga dinamakan Gelora Bung Karno.
Padahal, hingga saat itu, belum pernah insinyur sipil Indonesia ditantang membangun konstruksi semasif dan setinggi itu. Beton menjawab semua tantangan itu. Roosseno secara dingin mengarahkan semua pekerjaan, dan berhasil.
Menurut Ciputra, mantan mahasiswa Roosseno yang belakangan bekerja sama menggarap proyek Sarinah (1963), Roosseno bahkan menjadi ”kunci” sukses lobi ke Jepang. Berkat Roosseno, perundingan menyangkut harga dan teknis konstruksi bisa selesai.
”Pak Roosseno, sebagai ahli konstruksi dalam negeri, menjamin kepada Jepang, yang tak memahami kondisi tanah di lokasi Sarinah, bahwa sistem yang ditawarkannya cocok dengan kondisi semacam itu,” kata Ciputra. Meski jadwal perundingan molor dari dua minggu jadi dua bulan, akhirnya kelar juga.
Pada masa itu, menurut Ciputra, Roosseno identik dengan Soekarno. ”Saya melihat mereka berdua sejiwa untuk membangun gedung-gedung yang bagus di Jakarta,” Ciputra mengenang. ”Keduanya saling percaya dan sama-sama idealis.” Tapi, ”Juga punya kelemahan, tidak tahu bisnis. Dalam bidang keuangan, kedua orang ini lemah.”
Zaman Berganti
Di masa Soeharto, hubungan Roosseno tak lagi sedekat dengan presiden sebelumnya. Meski begitu, Soeharto tetap mempercayakan proyek-proyek besar kepada ayah enam anak itu. Misalnya pemugaran Candi Borobudur dan penyelesaian Masjid Istiqlal. Pemasangan tiang pancang pertama masjid terbesar di Asia Tenggara itu dilakukan pada 1961 dan baru selesai 17 tahun kemudian. ”Waktu itu saya penasihat proyeknya dan bekerja sama dengan Roosseno,” ujar Wiratman Wangsadinata, Direktur Utama Wiratman & Associates.
Ketika Jakarta dilanda demam gedung tinggi, Roosseno ditunjuk menjadi bagian dalam Tim Penasihat Konstruksi Bangunan yang dibentuk Gubernur Ali Sadikin pada 1972. Problem yang muncul saat itu adalah banyak perencanaan gedung tinggi oleh para konsultan asing yang tidak tepat.
Akibatnya, banyak bangunan miring dan retak. ”Tapi tidak ada kontrol terhadap perencanaan pembangunannya,” ujar Wiratman. Roosseno terus menjadi ketua tim tersebut hingga 1990. ”Dia masih mengabdi kepada tim tersebut hingga akhir hayatnya,” kata Wiratman.
Semasa Soeharto, Roosseno banyak dilibatkan dalam berbagai proyek dan kegiatan departemen, mulai Departemen Pekerjaan Umum sampai Perumnas. Roosseno juga masih membuka kantor swasta. Proyeknya banyak, tapi ia tak lagi berhubungan dengan Istana.
Pada Juli 1984, Roosseno mendapat Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah. Penghargaan itu diberikan langsung oleh Presiden Soeharto. ”Terima kasih. Kapan Pak Harto berkunjung ke Borobudur lagi?” kata Roosseno menyapa sang Presiden. Soeharto hanya membalas dengan tersenyum, seraya menjabat tangan Roosseno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo