Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setiap bulan Safar, ribuan orang berziarah ke makam Syekh Burhanuddin Ulakan.
Kegiatan Basapa sudah terjadi setidaknya sejak seabad lalu.
Ada ritual tertentu untuk melihat benda pusaka peninggalan Syekh Burhanuddin.
TAK ada orang yang bisa masuk ke ruangan itu. Empat pintu besinya terkunci rapat dan dirantai. Di ruangan itulah makam Syekh Burhanuddin Ulahan, perintis tarekat Syattariyah di tanah Minangkabau, berada. “Kalau tidak ada wabah, biasanya ramai didatangi peziarah,” ujar Ali Imran, kadi tarekat Syattariyah, Jumat, 8 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makam itu berada di Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Kuncen makam itu sengaja menutup ruangan makam untuk mencegah penyebaran virus corona. Saat situasi normal, kata Ali, selalu ada peziarah yang datang. Apalagi pada saat perayaan “Basapa”, peringatan wafatnya Burhanuddin yang digelar setiap 10 Safar dalam penanggalan Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegiatan Basapa muncul setidaknya sejak seabad lalu. Dalam laporannya pada 1914, Ph. S. van Ronkel, profesor kajian sastra Melayu di Leiden University, menggambarkan bagaimana ribuan pengikut Syattariyah dari berbagai pelosok negeri beramai-ramai datang ke Ulakan. Orang dari darek—sebutan bagi wilayah dataran tinggi Sumatera Barat—bahkan rela berjalan kaki hanya untuk menghadiri Basapa di daerah pesisir itu. Menurut kepercayaan masyarakat, menurut Ronkel, tujuh kali melakukan perjalanan ini sama nilainya dengan tujuh kali naik haji.
Ronkel melukiskan antrean orang yang berdesak-desakan menuju halaman makam. “Di makam, terdengar suara tahlil, kata ‘Allahu Allahu’ diucapkan peziarah berkali-kali sambil menggeleng-gelengkan kepala. Di sana, kealiman diwujudkan dengan membaca Al-Fatihah dan Yasin,” tulisnya.
Menurut Ronkel, Basapa terjadi pada 15 Safar. Tapi, menurut Ali Imran, Syekh Burhanuddin meninggal pada 10 Safar 1111 Hijriah, bukan 15 Safar 1116 Hijriah. Tanggal 10 Hijriah-lah yang hingga kini dipakai untuk Basapa. Menurut Ronkel, penganut tarekat meyakini perayaan itu sebagai cara untuk mendekatkan hubungan guru-murid dalam tarekat tersebut.
Suryadi, filolog asal Sunur, Kabupaten Padang Pariaman, masih ingat kegiatan Basapa yang pernah ia ikuti ketika remaja. “Pada malam puncak acara Basapa, banyak orang mengaji di sekitar makam, persis seperti yang digambarkan Van Ronkel,” ujarnya. Suryadi kini menetap di Leiden, Belanda, dan mengajar di Leiden University.
Suryadi bertutur, dulu dia berjalan kaki sejauh 5 kilometer menuju Ulakan. Ia berangkat bersama kawan-kawannya pada sore hari dan pulang esok paginya. Dua benda utama yang harus mereka bawa adalah bekal makanan dan kain sarung untuk menahan hawa dingin. Menurut Suryadi, umumnya hanya orang tua yang melakukan ritual doa dan zikir di makam. “Para remaja lebih suka berkumpul di pantai selama Basapa,” katanya.
Selain berzikir dalam perayaan Basapa, penganut tarekat Syattariyah biasanya berzikir di Surau Pondok Ketek, bekas rumah kediaman Syekh Burhanuddin. Di tempat ini tersimpan sejumlah benda pusaka milik sang guru, seperti empat jubah, tujuh peci, puluhan manuskrip kitab kuno dan tongkat, serta pedang pemberian Syekh Abdurrauf al-Singkili.
Semua benda pusaka itu kini dipegang Buya Hery Firmansyah Tuanku Khalifah XV. Ia memiliki garis keturunan dan menjadi khalifah ke-15 Syekh Burhanuddin. Menurut Hery, benda peninggalan leluhurnya itu tidak sembarangan bisa diperlihatkan kepada orang-orang. Ada sejumlah ritual dan syarat yang harus dipenuhi sebelum dikeluarkan. Syarat wajib adalah melakukan zikir atau tahlil sebanyak 70 ribu kali yang harus dilakukan secara bersama-sama oleh 25 orang. “Peninggalan Syekh Burhanuddin bisa dibuka kalau memenuhi syarat itu. Ini berupa tujuan dan amanah dari khalifah sebelumnya. Saya sebagai penerus tentu mengikuti amanah,” ujarnya.
RIKY FERDIANTO, FEBRIANTI (PADANG), IRWANDA (PADANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo