Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Duel di Menara Ketujuh

Lebih dari 50 hari beroperasi menjadi rumah sakit Covid-19, Wisma Atlet sudah merawat hampir 2.000 pasien. Ada pasien yang berbohong kepada dokter.

23 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tenaga medis di Laboratrium tes Polymerase Chain Reaction (PCR) di Tower 4 Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta,15 Mei 2020. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Seorang pasien dirawat 50 hari di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet, Kemayoran.

  • Pasien pernah dicampur dengan seorang positif corona ketika menunggu hasil uji usap.

  • Seorang dokter sempat menghadapi pasien positif yang punya gangguan kejiwaan.

KUE tart tiramisu bertulisan “Selamat 50 Hari di Wisma Atlet’ menandai lamanya Saepul Jamal tinggal di Rumah Sakit Darurat Penanganan Virus Corona, Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat. Merayakan momen tersebut, Jamal menyantap kue yang dipesannya dari toko roti itu bersama sejumlah pasien dan perawat pada Kamis, 14 Mei lalu. Belum ada tanda-tanda dia bisa pulang dari sana meski tubuhnya tak lagi bergejala terinfeksi corona.

Lelaki 44 tahun itu berkisah, dia datang ke Wisma Atlet dua hari setelah istrinya meninggal di Rumah Sakit Husada pada 23 Maret lalu karena Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Setelah menguburkan istrinya di Tempat Pemakaman Umum Tegal Alur, Jakarta Barat, Jamal tiba-tiba tak bisa mencium aroma parfum mobil dan minyak kayu putih yang dioleskan di hidung. “Hari itu juga saya demam,” Jamal bercerita melalui telepon WhatsApp.

Sempat berobat ke Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso, Jamal akhirnya dirujuk ke Wisma Atlet. Setiba di lobi Menara 7, Jamal menyaksikan ambulans dari berbagai rumah sakit tak henti-henti datang membawa pasien. Ada yang berjalan sendiri, tapi ada pula yang harus ditandu dan menggunakan alat bantu pernapasan. Setelah menjalani pemeriksaan, Jamal diantar seorang perawat ke kamar di lantai delapan. Perawat tak memberitahukan status pasien lain di lantai tersebut. “Semuanya serba tak pasti,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petugas memastikan kenyamanan dan keamanan Alat Pelindung Diri Dokter dan tenaga medis di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Jakarta,15 Mei 2020. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepekan tinggal di Wisma Atlet, Jamal baru mengikuti uji cepat atau rapid test virus corona pada awal April lalu. Empat hari berselang, dia menjalani tes cepat lagi. Dua-duanya menunjukkan dia positif terpapar corona. Jamal kemudian dipindahkan ke lantai 28. Belakangan, dia tahu, di lantai itulah pasien yang sudah berstatus positif dirawat.

Di sana, Jamal lima kali menjalani uji polymerase chain reaction (PCR). Dua tes pertama pada 10 dan 18 April menunjukkan hasil positif. Tiga tes lagi dilakukan pada 27 April serta 6 dan 13 Mei. Namun hasil tiga kali uji usap itu tak kunjung keluar hingga pekan ketiga Mei. Jamal sempat mempertanyakan alasan tes swab kelima lantaran laporan tes ketiga dan keempat masih berkabut. Kepada Jamal, dokter berjanji segera memberitahukan hasil uji laboratorium itu.

Jamal sempat menghubungi nomor pusat kontak rumah sakit darurat. Namun petugas di ujung telepon mengatakan hasil tes hanya boleh dibaca tim dokter. Kepala Laboratorium PCR Wisma Atlet Mayor Asep Tantula mengatakan kapasitas tes di tempatnya masih sekitar 100 spesimen per hari. Menurut dia, jumlah itu masih belum ideal karena pasien yang dirawat di Wisma Atlet mencapai lebih dari seribu orang. “Kami butuh minimal 5.000 cartridge tes agar lebih cepat mengolah sampel swab dari pasien,” ujar Asep. Sejak diresmikan Presiden Joko Widodo pada 23 Maret lalu, Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet telah melayani hampir 2.000 orang hingga Kamis, 14 Mei lalu.

Tanpa hasil tes itu, kepulangan Jamal makin tak menentu. Rindu kepada dua anaknya, yang berusia 16 dan 9 tahun, Jamal tak mau pulang tanpa membawa hasil uji usap negatif corona. “Saya rela seratus hari berada di sini, tapi setelah itu bisa selamanya bertemu dengan anak-anak saya,” katanya.

•••

DATANG ke Wisma Atlet membawa koper berisi pakaian, Adisty Maharani tiba di Menara 7 pada 15 April malam. Dia dirujuk ke Wisma Atlet setelah hasil uji cepat yang dijalaninya di kawasan Slipi, Jakarta Barat, menunjukkan hasil positif. Di lobi itu, Adisty menyaksikan sejumlah petugas berpakaian lengkap lintang-pukang sambil berteriak-teriak kepada mereka yang baru tiba. “Positif ke sana! Positif ke sana!” Adisty menceritakan kembali peristiwa itu. “Jantung ini rasanya mau copot.”

Ia makin gugup saat masuk ke ruang gawat darurat yang berisi deretan ranjang, ventilator, serta belasan tenaga medis berpakaian hazmat. Tekanan darahnya seketika melonjak hingga 150/100 mmHg, padahal Adisty mengidap hipotensi alias darah rendah. Seorang perawat kemudian memandunya ke kamar inap di lantai 32. Ia diinapkan di unit bernomor 22—terdiri atas dua kamar dengan satu toilet dan dapur—bersama perempuan yang bekerja sebagai petugas keamanan.

Sejak itu, pola hidup Adisty berubah. Ia harus membungkus tangannya dengan sarung plastik dan memakai masker meski sekadar pergi ke toilet atau dapur. Setiap hari dia juga harus melaporkan suhu tubuhnya ke grup WhatsApp bernama “Lantai 32 Kita Bisa”, yang beranggotakan semua pasien di lantai itu, dokter, perawat, dan psikiater.

Adisty selalu gugup saat melihat petugas berpakaian hazmat. Pernah dia hampir pingsan gara-gara tujuh petugas dengan alat pelindung merangsek ke kamarnya. Dadanya terasa sesak. “Seperti melihat alien menyerbu,” katanya. Kala itu, paramedis langsung terbahak mendengar pengakuan Adisty.

Lima hari setelah dirawat, atau 20 April lalu, Adisty mendapat teman baru di unitnya. Bertegur sapa di ruang tamu, pasien itu mengaku hasil uji usapnya positif. Adisty langsung masuk ke kamar dan menutup pintu. Ia menangis karena merasa dicampur dengan pasien positif corona. Saat itu, Adisty masih menunggu hasil tes PCR. Ia berharap tes PCR-nya berbeda dengan hasil uji cepat.

Setelah Adisty memprotes, tim perawat datang dan meminta maaf. Mereka memindahkan pasien positif itu dan menyemprot ruangan dengan disinfektan. Psikiater pun datang memberikan terapi dan mengirimkan musik relaksasi agar Adisty tak terbebani lagi.

Menurut Adisty, petugas medis di Wisma Atlet sangat sigap melayani pasien. Tak hanya mengontrol kesehatan, mereka juga menjadi “kurir” dadakan bagi pasien yang memesan makanan melalui jasa ojek online. Biasanya, petugas di lobi akan mengumumkan lewat pengeras suara bahwa ada paket untuk pasien. Tenaga medis di lantai yang disebut akan langsung turun mengambil paket. “Para dokter juga sering memberikan jajanan yang bisa dimakan bareng oleh perawat dan pasien,” ujarnya.

Pada 27 April lalu, hasil tes PCR menunjukkan Adisty tak terpapar corona. Besoknya, dia diizinkan pulang, tapi harus menjalani uji usap kedua kalinya. Belakangan, Adisty mengetahui hasilnya pun negatif. Walau begitu, dia tetap mengisolasi diri di rumah selama 14 hari. Adisty tinggal sendiri di kamar dengan sekat plastik bening sebagai pintu agar anak-anaknya, yang masih berusia 7 dan 9 tahun, tetap bisa melihat ibunya tanpa bersentuhan. Pada 12 Mei lalu, plastik pembatas itu dicopot. Adisty langsung memeluk dan menciumi anak-anaknya. Hari itu, dia membantu mereka menyelesaikan pekerjaan rumah.

 

•••

WISMA Atlet menjadi palagan ketiga Letnan Dua Tommy Antariksa menangani Covid-19. Dokter dari Korps Marinir TNI Angkatan Laut itu sebelumnya ikut merawat ratusan mahasiswa Indonesia asal Wuhan di Pulau Natuna. Dia juga berdinas di Pulau Sebaru—tempat observasi kru kapal World Dream dan Diamond Princess, yang menjadi episentrum penularan corona. Ketika Wisma Atlet dioperasikan sebagai rumah sakit darurat, Tommy ditunjuk menjadi koordinator dokter umum. “Sudah empat bulan saya tak pulang ke barak di Cilandak,” kata lulusan kedokteran Universitas Hang Tuah, Surabaya, itu pada Selasa, 5 Mei lalu.

Menurut Tommy, tugas tenaga medis pada awal berdirinya Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet sangat berat. Selain administrasi rumah sakit itu belum rapi, ada pasien yang tak jujur menceritakan kondisi kesehatannya kepada dokter. Tommy pernah menangani pasien positif corona di Menara 7 yang juga punya gangguan jiwa. Saat ditanyai petugas pendaftaran, pasien itu hanya menyebut mengalami gejala Covid-19, tapi tak bercerita bahwa dia sedang mengonsumsi obat penenang.

Tenaga medis melepas Alat Pelindung Diri dengan prosedur ketat usai bekerja di ruang isolasi di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Jakarta, 15 Mei 2020. TEMPO/Nurdiansah

Ketika Tommy datang ke kamarnya, pasien itu tiba-tiba mengajak berduel. Sambil mengepalkan dua tangannya di depan dada, dia berteriak-teriak menantang Tommy. Menenangkan pasien itu, Tommy memanggil dua perawat. Tapi pasien itu justru meronta dan mencakar baju hazmat seorang perawat sampai robek. Dia lalu menggigit lengan perawat itu. Kegaduhan baru surut setelah beberapa perawat datang membantu. “Tenaga medis yang digigit segera diobati di rumah sakit, lalu dikarantina,” ujar Tommy. “Kami harus menerapkan prosedur dan disiplin ketat agar tak ada personel yang tertular.”

Letnan Satu Andreas Esa, dokter dari Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara, yang bertugas di Wisma Atlet sejak pekan keempat April juga pernah menghadapi pasien yang bandel. Menurut dia, ada pasien yang ngotot minta dipulangkan karena merasa kondisinya membaik. Pasien itu, Esa bercerita, mengaku tinggal sendirian di kosnya. Tim dokter akhirnya mengizinkan pasien itu pulang dengan syarat mengisolasi diri di kamar selama dua pekan. Beberapa jam setelah keluar, pasien kembali ke Wisma Atlet. “Ternyata dia tinggal di rumah orang tua, dan bapaknya menyuruh dia kembali ke Wisma Atlet,” ujar Esa.

Dokter lulusan Universitas Krida Wacana itu mengaku mendapat banyak pengalaman baru setelah berdinas di Wisma Atlet. Baru kali itu, dia merawat pasien menggunakan baju hazmat. Dengan pakaian tertutup rapat, kacamata medisnya sering buram karena berembun. Biasanya tenaga medis menyemprotkan cairan khusus untuk melindungi kaca dari embun, tapi stok semprotan itu tak selalu ada. Esa biasanya memilih mengoles tipis pasta gigi di permukaan kacamata. Konon, teknik itu ampuh menjaga kaca tetap jernih selama empat jam.

Esa pernah menangani pasien Covid-19 dengan penyakit pernapasan yang akut. Tim dokter menempuh semua cara, termasuk memasukkan kateter oksigen ke hidung. Namun, kondisi pasien tetap kritis. Setelah berkonsultasi dengan dokter spesialis, Esa dan tim dokter di instalasi gawat darurat akhirnya merujuk pasien itu ke Rumah Sakit Persahabatan. “Kami tak ingin ambil risiko karena tugas kami memastikan nyawa pasien itu dapat tertolong,” ucap Esa.

Dua kali masuk ke Wisma Atlet, pada Selasa, 5 Mei, dan Jumat, 15 Mei lalu, Tempo menyaksikan para tenaga kesehatan menerapkan prosedur ketat. Di teras Menara 4 yang menjadi zona dekontaminasi, belasan dokter dan perawat yang menanti giliran dinas mulai mengenakan jas hazmat. Dua tentara membebat sambungan sarung tangan dan pakaian medis yang dikenakan mereka dengan selotip agar tertutup rapat.

Di sisi lain menara itu, rombongan dokter dan perawat yang baru selesai berdinas antre di samping truk dekontaminasi. Setelah selesai disemprot dari atas tangki truk itu, mereka melucuti baju hazmat—diawasi tiga pakar keamanan lingkungan. Berpapasan dengan para sejawat yang hendak berdinas, para tenaga medis itu memberikan salam dan menyemangati, yang dibalas dari balik pakaian hazmat.

RAYMUNDUS RIKANG
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus