Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Syekh Burhanuddin Ulakan merintis penyebaran Islam di tanah Minangkabau.
Garis silsilah perguruan Syekh Burhanudiin mewarisi ajaran tarekat Syattariah.
Tarekat Syattariah terus berkembang hingga kini.
BANGUNAN itu dulu terbuat dari kayu. Strukturnya menyerupai piramida berjenjang tiga. Bagian atapnya berbentuk tanduk kerbau, khas arsitektur rumah Minangkabau. Akrab disebut dengan nama Surau Gadang, bangunan itu merupakan saksi bisu yang merekam aktivitas Syekh Burhanuddin Ulakan menyebarkan agama Islam di ranah Minang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bangunan berstatus cagar budaya itu terletak di Jorong Tanjung Medan, Kenagarian Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Tapi rumah itu tak lagi seperti aslinya. Pemerintah setempat telah merenovasinya meski berusaha mempertahankan bentuknya. Tiang kayu yang lapuk mereka ganti dengan beton bertulang. Juga ada tambahan selasar di sekelilingnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surau Gadang didirikan pada sekitar 1680. Dalam buku Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, cendekiawan muslim Azyumardi Azra menilai konsep surau merupakan sebuah terobosan. Kehadiran surau saat itu merupakan cikal-bakal bagi lembaga pendidikan pesantren. “Konsep ini pertama kali digagas Syekh Burhanuddin,” tulis Azyumardi.
Kompleks Makam Syekh Burhanuddin Ulakan, di Padangpariaman, Sumatera Barat, 8 Mei lalu. Irwanda
Syekh Burhanuddin Ulakan lahir dengan nama Pono pada 1646. Ibunya bernama Nili bersuku Guci dan ayahnya Pampak dari suku Koto. Ia lahir di wilayah Pariangan, dekat Kota Padang Panjang, dan besar di wilayah Sintuk, Lubuk Alung, pesisir Sumatera Barat. Waktu itu, daerah pesisir berada di bawah pengaruh kerajaan Aceh dan ajaran Islam belum berkembang luas.
Pendidikan agama dipelajari Pono dari Syekh Abdullah Arif, pengembara Arab yang menetap di Nagari Tapakis, tak jauh dari Ulakan. Abdullah adalah murid Syekh Ahmad al-Qushashi, guru tarekat Syattariyah terkenal di Madinah, Arab Saudi. Setelah Abdullah wafat, Pono belajar kepada Syekh Abdurrauf al-Singkili di Singkil, Aceh.
Abdurrauf dulu berguru kepada Qushashi di Madinah. Pada 1661, ia pulang ke Singkil setahun setelah Qushashi wafat. Oman Fathurahman dalam bukunya, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, memperkirakan Pono datang ke Singkil pada 1662 atau setahun setelah Abdurrauf mengajar di kota itu.
Suryadi, pengajar di Institute for Area Studies, Leiden University, menjelaskan, kisah tentang Syekh Burhanuddin pernah diangkat oleh Ph. S. van Ronkel, profesor kajian sastra di Leiden. Ronkel menerjemahkan manuskrip lokal Salasilah Syekh Burhanuddin dalam artikel “Het Heiligdom te Oelakan” (“Tempat Suci di Ulakan”) di jurnal Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde pada 1914.
Ronkel merunut salasilah (genealogi intelektual) Burhanuddin dan juga menceritakan kecerdasan serta ketaatan Burhanuddin kepada gurunya dan diwarnai kisah keramat para guru Syattariyah. Ketika Qushashi masih hidup, Abdurrauf sudah mendapat wasiat dari gurunya tersebut tentang kabar kedatangan calon muridnya yang berasal dari Ulakan ini.
“Ketika kamu sampai di Aceh, ada lima orang yang akan datang berguru. Salah satunya berasal dari Ulakan, yaitu Burhanuddin. Kakinya akan lebih tinggi dari tanah,” demikian bunyi wasiat Qushashi. Ketika Pono datang bersama empat rekannya pada 1662, Abdurrauf menerima permintaan mereka untuk berguru kepadanya. Ia jugalah yang memberikan nama “Burhanuddin” kepada Pono.
Burhanuddin tergolong murid cerdas dan hafal semua pelajaran. Dia juga dikenang sebagai murid yang ringan tangan. Ronkel menulis, Burhanuddin tak sungkan membantu gurunya menggembalakan kambing atau menggali kolam ikan di sekeliling masjid.
Suatu ketika Abdurrauf menguji kesetiaan para muridnya. Saat buang air besar di kakus di atas kolam ikan, ia menjatuhkan kotak kapur. Ia lalu meminta murid-muridnya mengambil kotak itu. Tak seorang pun mau menyelam ke kolam. Tapi kemudian Burhanuddin maju dan mencebur ke dalam kolam. Dia menemukan kotak tersebut tanpa peduli tubuhnya kotor.
Oman Fathurahman memperkirakan Burhanuddin berguru di Singkil selama 18 tahun atau setidaknya kurang dari 30 tahun. Abdurrauf kemudian menyuruhnya kembali ke Ulakan untuk menyebarkan agama Islam setelah ilmunya dianggap cukup. Burhanuddin memulai pengajaran dengan mendirikan sebuah surau di Tanjung Medan, yang sekarang dikenal dengan nama Surau Gadang.
Kehadiran Surau Gadang merupakan bukti penerimaan masyarakat setempat terhadap agama Islam. Saat Syekh Burhanuddin membangun lembaga pendidikan di Ulakan, hanya sebagian kecil masyarakat setempat yang sudah memeluk Islam. Penduduk Minangkabau masih banyak yang menganut agama Hindu atau Buddha.
Buku Suma Oriental karangan Tome Pires menyebutkan, hingga akhir abad ke-16, hanya satu dari tiga raja Minangkabau yang sudah memeluk Islam, yakni Raja Utama di Sungai Dareh. Adapun dua raja lain, Raja Bandar dan Raja Bonjol, masih menganut agama pagan.
Surau Pendek Ketek yang dulunya kediaman Syekh Burhanuddin. Foto: Irwanda
Karena garis perguruannya dengan Syekh Abdurrauf, ajaran yang disebarluaskan Syekh Burhanuddin mengikuti ajaran tarekat Syattariyah. Tarekat ini merupakan ajaran tasawuf yang mengenalkan pemahaman agama dan interaksi dengan Tuhan melalui tingkatan ilmu kebatinan. Di dalamnya ada ritual zikir. Sejak diperkenalkan Burhanuddin, ajaran ini masih bertahan hingga kini.
Tarekat Syattariyah pernah mendapat penentangan dari ulama-ulama modernis di Sumatera Barat dan ulama aliran Wahabi. Sekalipun begitu, “tuah” Syekh Burhanuddin tak pernah surut. Setiap tahun ribuan pengikutnya menziarahi makamnya untuk memperingati hari wafat guru mereka. Ritual bernama “Basafa” (Bersafar) itu rutin digelar setiap 10 Safar.
Syekh Burhanuddin tak hanya memanfaatkan surau sebagai tempat untuk mengajar agama. Ia juga menjadikan bangunan itu untuk melatih kecakapan muridnya dalam ilmu bela diri. “Siapa yang mau belajar silat, pergi ke surau. Siapa yang mau mengaji, pergi ke surau. Jadi surau itu adalah alat,” ujar ahli waris tarekat Syattariyah, Buya Hery Firmansyah Tuanku Khalifah XV.
Syekh Burhanuddin wafat pada 1704 dan mewariskan banyak karya tulis. Beberapa di antaranya kitab At-Taqrib Liyantafial Muttadi, yang berisi tentang ilmu fikih; ilmu saraf Risalah Burhaniyah; dan ilmu nahwu Al-Muqaddimah. Lalu ada kitab Al-Mufid tentang ushuluddin, Hishful Qari/Tajwidul Fatihah dan Al-'Ulum Al-Tashdiqiyah tentang ilmu logika, serta banyak kitab tasawuf dan keutamaan amalan.
Menurut Buya Hery, Syekh Burhanuddin memiliki banyak murid. Salah satunya ulama Tuanku Mansiangan Nan Tuo di Koto Laweh, dekat Kota Padang Panjang. Seperti halnya Burhanuddin, tiap muridnya membangun surau sebagai pusat pendidikan keagamaan. Islam pun akhirnya tersebar luas hingga ke dataran tinggi yang menjadi pusat kekuasaan Kerajaan Pagaruyung.
Kesuksesan Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan Islam disebabkan oleh strategi dakwah yang persuasif. Ia, misalnya, mengajak anak-anak bermain sambil menyisipkan ajaran agama. Haji Abdul Malik Karim Amirullah atau Hamka dalam buku Ayahku berkesimpulan: “Teranglah bahwa Syekh Burhanuddin bukanlah yang mula-mula menyebarkan Islam. Beliau adalah ulama yang menambah maju agama Islam di Minangkabau.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo