Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berbagai merek peralatan rapid test masuk Indonesia setelah muncul kasus corona.
Sebagian akurasinya dipertanyakan karena salah mendeteksi virus corona.
Tak direkomendasikan Kedutaan Cina di Filipina, VivaDiag masuk rekomendasi Gugus Tugas.
AIR mata Tiara—bukan nama sebenarnya—langsung tumpah begitu mengetahui hasil uji cepat menunjukkan dia terpapar virus corona pada pengujung April lalu. Padahal, sepekan sebelumnya, rapid test yang dijalani perawat di Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Depok, Sleman, Yogyakarta, itu menunjukkan satu setrip alias negatif. “Saya langsung ingat anak yang masih balita,” katanya pada Rabu, 6 Mei lalu.
Bersama rekan-rekannya di Puskesmas Depok, perempuan 36 tahun itu menjalani tes cepat karena kerap bersentuhan dengan mereka yang berstatus orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan. Hanya dia seorang yang dinyatakan positif corona. Tiara tak memiliki gejala seperti batuk dan demam. Ia akhirnya diinapkan di bangsal khusus Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 Rumah Sakit Umum Daerah Sleman. Dua kali menjalani uji usap pada 2 Mei dan 4 Mei lalu, Tiara girang karena hasilnya negatif. Dia diperbolehkan pulang dengan syarat menjalani isolasi mandiri selama dua pekan di rumahnya.
Tenaga kesehatan di Kabupaten Sleman diperiksa menggunakan alat bermerek Wondfo Biotech. Alat tes dari Guangzhou, Cina, itu merupakan hibah Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Alat tes serupa digunakan untuk menguji 300 karyawan toko swalayan Indogrosir di Jalan Magelang, Sleman. Tes dilakukan setelah satu karyawan Indogrosir positif corona. Hasil tes cepat menunjukkan 57 karyawan positif. Hingga Jumat, 8 Mei lalu, mereka masih menunggu hasil uji usap.
Kepala Dinas Kesehatan Sleman Joko Hastaryo mengatakan, dari 3.100 alat tes Wondfo, masih ada 400 unit yang belum digunakan. Untuk pemeriksaan lanjutan, mereka tak lagi memakai Wondfo. Pemerintah Sleman berencana membeli 1.500 alat uji cepat merek Hightop. “Kami mencari alternatif merek lain sesuai dengan petunjuk teknis Kementerian Kesehatan,” ujar Joko.
Menurut Joko, akurasi pemeriksaan menggunakan Wondfo antara 88 persen dan 99 persen. Sekretaris Dinas Kesehatan Yogyakarta Siti Badriyah pun mengklaim Wondfo akurat. Sebab, tes dengan metode polymerase chain reaction (PCR) terhadap mereka yang terindikasi positif dengan Wondfo menunjukkan hasil yang sama. Meskipun memuji Wondfo sebagai merek yang bagus, Dinas Kesehatan Yogyakarta justru memilih merek lain, yakni Star Diagnostic, untuk pembelian selanjutnya. “Wondfo kami terima karena kemarin situasinya darurat,” kata Siti.
Kasus salah deteksi Wondfo juga terjadi dalam uji cepat di Sekolah Pembentukan Perwira Lembaga Pendidikan Polri di Sukabumi, Jawa Barat. Pada 1 April lalu, hasil tes cepat menunjukkan 300 polisi positif corona. Belakangan, hasilnya berbalik. Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Siska Gefrianti mengatakan hasil uji usap menunjukkan ada 82 polisi yang positif. “Jumlahnya 27,33 persen dari 300 orang yang sebelumnya dinyatakan positif,” ujar Siska.
Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Riris Andono mengatakan uji cepat antibodi rentan bermasalah karena keterbatasan model imunitas. Sebab, uji itu hanya mendeteksi antibodi akibat kehadiran virus. Bisa saja antibodi belum terbentuk meski virus sudah masuk ke tubuh. Jadi hasil negatif belum tentu menunjukkan tidak terinfeksi virus corona. Begitu pula sebaliknya. “Harus hati-hati membaca hasil tes cepat,” ujar Riris.
Zulvia Syarif dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia mengatakan kesalahan pendeteksian virus bisa mempengaruhi kejiwaan seseorang. Mereka yang dinyatakan positif padahal sebenarnya negatif bisa terkena gangguan psikosomatis atau kecemasan yang berlebihan. Jika dibiarkan terus-menerus, kecemasan itu bakal menimbulkan gangguan kejiwaan. “Orang perlu memahami tujuan mengikuti tes dan hasilnya. Perlu ada support system dari orang terdekat agar mereka tak merasa sendiri,” tutur Zulvia.
***
SETELAH kasus positif corona pertama diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret lalu, berbagai merek alat rapid test masuk ke Indonesia. Sekitar dua pekan kemudian, Jokowi juga memerintahkan pengujian cepat secara massal di berbagai wilayah. Namun tidak semua uji cepat menunjukkan hasil akurat.
Di Bogor, Jawa Barat, kesalahan pendeteksian terjadi dalam uji cepat terhadap 51 tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor pada 20 April lalu. Mereka kemudian diisolasi mandiri di sebuah hotel di Kota Bogor selama 14 hari. Seorang perawat, Munandar, 43 tahun, sejak awal ragu terhadap hasil tersebut. Sebab, dia tak berinteraksi dengan pasien Covid-19. Koleganya yang bertugas merawat pasien Covid-19 justru mendapatkan hasil negatif.
Dua hari setelah menerima hasil reaktif tes cepat, Munandar pun menjalani uji usap. Beberapa hari berselang, hasil tesnya keluar dan dia dinyatakan negatif corona. Beberapa hari setelah tes pertama, dia pun menjalani swab test kedua. Lagi-lagi hasilnya negatif. “Yang bahagia bukan hanya saya, tapi seluruh keluarga,” kata Munandar.
Kolega Munandar, Dewi Mandarin, juga tak percaya ketika dinyatakan positif. Ia mengaku selalu menerapkan prosedur tetap pencegahan corona. Ketika mendapatkan hasil reaktif untuk tes cepat, perempuan 40 tahun itu khawatir tak bisa lagi bertemu dengan anak semata wayangnya. Belakangan, dua hasil uji usap membuktikan dia negatif corona. “Saya pulang sambil menangis,” ujar Dewi.
Direktur RSUD Kota Bogor Ilham Chaidir mengatakan mereka menggunakan alat uji cepat Sugentech yang dipesan langsung dari Korea Selatan. Menurut Ilham, hasil tes cepat tidak bisa menjadi alat diagnosis apakah seseorang positif terpapar corona atau tidak. Namun, kata Ilham, uji cepat bisa dijadikan seleksi awal di tengah kelangkaan dan mahalnya alat tes corona.
Di Kabupaten Bangli, Banjar Serokadan sempat diisolasi setelah 443 warganya dinyatakan positif corona berdasarkan tes dengan alat merek VivaDiag pada 30 April lalu. Pemeriksaan itu dilakukan karena ada satu pekerja migran dari wilayah itu yang positif Covid-19. Juru bicara Tim Gugus Tugas Covid-19 Bangli, Wayan Dirgayusa, mengatakan Dinas Kesehatan mengirim petugas untuk menjalankan tes ulang. “Untuk mendapatkan pembanding,” ujar Dirgayusa.
Kepala Banjar Serokadan Wayan Subakti mengatakan, pada tes kedua, petugas menggunakan alat merek Hightop. Mereka memilih 23 orang secara acak untuk dites ulang. Tak ada satu pun yang reaktif. Pada Jumat, 1 Mei lalu, warga Serokadan menjalani uji usap di Rumah Sakit Sanglah. Hasilnya, hanya satu orang yang dinyatakan positif corona.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas medis mengambil sampel saat Rapid Test di Suryakencana, Kota Bogor, Jawa Barat, 29 April 2020. ANTARA/Arif Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aurelia Ira Lestari, Direktur PT Kirana Jaya Lestari, perusahaan yang mengimpor VivaDiag, menyatakan alat VivaDiag bernomor 3097 sudah ditarik dari seluruh fasilitas kesehatan. Mereka juga sudah melaporkan kejadian ini ke Direktorat Pengawasan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan. “Kami sedang menginvestigasi kejadian ini,” ujar Ira Lestari.
PT Kirana mendatangkan 900 ribu alat tes dari perusahaan alat kesehatan Cina, VivaChek Biotech Hangzhou Co Ltd. Alat ini sempat tertahan oleh petugas kepabeanan saat hendak masuk Indonesia. Kepala Biro Hukum, Organisasi, dan Kerja Sama Badan Nasional Penanggulangan Bencana Zaherman Muabezi bersurat ke Bea-Cukai Soekarno-Hatta pada 31 Maret lalu untuk memberikan penjelasan pengecualian izin impor. Zaherman menjelaskan, perusahaan itu tetap membayar bea masuk dan pajak lain kurang-lebih Rp 4 miliar.
Direktur PT Kirana, Thomas Harsono, mengatakan perusahaannya mendapat sertifikasi distribusi alat kesehatan dari Kementerian Kesehatan. Ketika mengajukan permohonan ini, PT Kirana menyerahkan sejumlah dokumen, seperti sertifikat kelayakan serta food and drug certificate dari negara-negara yang menggunakan VivaDiag. Menurut Thomas, mereka tak pernah meminta Gugus Tugas memasukkan alat mereka ke daftar rekomendasi.
Salah satu pihak yang merekomendasikan VivaDiag ke Kementerian Kesehatan adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar, Dave Laksono. Ketika awal-awal kasus Covid-19 mencuat, perwakilan perusahaan ini mendatanginya dan mempresentasikan cara kerja VivaDiag. “Waktu awal kasus Covid-19 merebak, alat tes masih sedikit,” tutur Dave.
VivaDiag tak termasuk alat uji cepat yang direkomendasikan pemerintah Cina. Namanya tak masuk daftar rekomendasi peralatan tes cepat yang dikeluarkan Kedutaan Besar Cina di Filipina pada 24 Maret lalu. Namun, sehari kemudian, VivaDiag masuk sebagai alat tes cepat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Covid-19 Wiku Adisasmito membenarkan kabar bahwa institusinya merekomendasikan sejumlah alat tes, termasuk VivaDiag. Alasannya, alat ini terdaftar di Badan Kesehatan Dunia (WHO), berstandar internasional, sehingga memenuhi persyaratan impor. Namun WHO dalam situsnya tidak merekomendasikan satu merek pun.
WAYAN AGUS PURNOMO, FRISKI RIANA (JAKARTA), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), MADE ARGAWA (BALI), M.A. MURTADHO (BOGOR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo