Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAKON ketoprak malam itu berjudul Pangeran Sambernyowo Kridha (Perjuangan Pangeran Sambernyawa). Digelar untuk memperingati Hari Kesetiakawanan Sosial, drama ini dipentaskan di Ndalem Joyokusuman, rumah pendapa di kawasan Gajahan, Solo, pertengahan Desember lalu. Sebagai Pangeran Sambernyowo didapuk Widjanarko Puspoyo. Ikut pula bermain Direktur Radio Republik Indonesia Parni Hadi. Hingga tengah malam keduanya menyihir penonton.
Widjan, demikian Widjanarko biasa disapa, dikenal sebagai wong Solo. ”Orangnya kalem dan santun,” kata Suko Sudarso, mantan politisi PDI Perjuangan yang telah lama mengenal Widjan. Meski lahir di Yogyakarta, Widjan menghabiskan masa kecilnya di Solo. Di kota itu ia dititipkan orang tuanya ke seorang paman yang bekerja sebagai mandor tebu di Pabrik Gula Colomadu, Karanganyar. Baru pada 1962, ia pindah ke Jakarta mengikuti Warsito Puspoyo, sang ayah. Kendati begitu, sulung dari empat bersaudara ini tetap merasa sebagai orang Solo. ”Di Jakarta, budayanya enggak ketemu,” katanya kepada tim Apa dan Siapa Tempo pada 2002.
Di Jakarta Widjan belajar politik. Pada 1967, ketika sekolah di SMA Negeri 6 Bulungan, Kebayoran Baru, ia menjadi Sekretaris Jenderal Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Ketua KAPI kala itu adalah Julius Usman, mantan anggota DPR dari PDIP.
Sebagai aktivis pelajar, Widjan sempat direkrut Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Tugasnya menjadi staf analis politik di bawah Pitut Soeharto, asisten Ali Moertopo. Dari Pitut, Widjan belajar menganalisis politik. Widjan bahkan pernah dilatih terjun payung di Batalion 32/ Brimob Jakarta. ”Semua aktivis saat itu dibina Ali Moertopo,” kata Suko.
Adalah Warsito, ayah Widjan, yang mengenalkan anaknya pada jaringan Ali Moertopo. Warsito adalah aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra) yang aktif berkampanye bersama Ali Moertopo untuk memenangkan Golkar di Jawa Tengah pada awal dekade 1970. Warsito bahkan sempat menjadi anggota DPR dari Golkar pada 1971-1992.
Semasa kuliah, Widjan memegang dua jabatan: Ketua Senat Mahasiswa di Fakultas Ekonomi Trisakti dan Asisten Sekretaris Bidang Spiritual dan Budaya Golkar Pusat. Kegiatan ini terputus ketika ia melanjutkan studi ke Fakultas Ekonomi Universitas New York di Amerika, 1974. Di New York, Widjan kuliah sambil bekerja sebagai staf di kantor statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa. ”Saya bekerja untuk membiayai istri dan anak,” katanya kepada tim Apa dan Siapa Tempo.
Sepulang dari Amerika. Widjan di-ajak bergabung di Bulog oleh Bustanil Arifin, Menteri Muda Koperasi dan Kepala Bulog saat itu. Dunia politik pun kembali ia geluti. Pada 1979 ia terpilih menjadi Wakil Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Jakarta. Pada tahun 1980-an, sulung empat bersaudara ini aktif di Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), sayap politik pemuda Golkar.
Selain menjadi birokrat dan politisi, ia juga berbisnis. Pada 1986, Widjan dan pengurus Golkar Surya Paloh mener-bitkan koran Prioritas. Surya Paloh menjadi pemimpin umum, Widjan menjadi pemimpin perusahaan. Namun koran itu berumur pendek karena dibredel pemerintah. Pada 1990 ia menjadi General Manager Kredit Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Bank Summa, bank yang dikelola Edward Soeryadjaya. Di bank tersebut, ia ikut mengembangkan Nusumma, lembaga kredit yang kerja sama dengan Nahdlatul Ulama. Saat itu Widjan telah menjadi anggota DPR dari Golkar. Tahun itu pula ia ditunjuk menjadi Ketua Departemen Tani dan Nelayan Golkar, hingga 1994.
Namun, pada awal Januari 1990, ia terpeleset. Sebagai Ketua Umum AMPI, Widjan mengeluarkan statemen yang ”berbahaya”: ia meminta Presiden Soeharto tidak mencalonkan diri kembali menjadi presiden. ”Pak Harto itu harus menyadari bahwa semakin lama dia membiarkan dirinya menjadi satu-satunya orang paling berkuasa, dia meninggalkan bom waktu,” katanya.
Ia lalu dianggap ”anti-Cendana”. Mudah ditebak, sejak itu kariernya di Golkar mere-dup. Meski terpilih sebagai anggota DPR 1993-1998, ia tak masuk pengurus Golkar pusat.
Ketika reformasi bergulir, Widjan meloncat ke kandang PDIP menjadi Sekretaris Badan Litbang. Setelah Pemilu 1999, Widjan masuk lagi ke Senayan sebagai anggota DPR dari PDIP. Di Senayan, Widjan duduk di Komisi Pangan dan Pertanian.
Ketika itulah, pintu menuju Bulog terbuka. Pada Juni 2000, Komisi Pangan memilihnya menjadi koordinator penelusuran dana nonbujeter Bulog. ”Dana non-neraca Bu-log sejak awal memang didesain untuk kepentingan partai politik—dalam hal ini Golkar—penguasa, dan militer,” kata Widjan kala itu. Enam bulan memimpin tim penelusuran, oleh Presiden Abdurrahman Wahid ia diangkat menjadi Kepala Bulog, menggantikan Rizal Ramli, yang diangkat menjadi Menteri Koordinator Perekonomian. ”Mungkin Gus Dur menganggap saya cocok dengan kebutuhan,” kata Widjan. Pada awal masa jabatannya, kinerjanya boleh juga. Misalnya, ia memecat sekitar 70 pegawai Bulog yang terbukti menyeleweng.
Belakangan suara sumbang terdengar: ia dituduh memperkaya diri. Kekayaannya memang pesat bertambah. Dalam laporan kekayaan yang dibuatnya pada 2001 ke Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Widjan mengaku ”hanya” memiliki harta Rp 5,3 miliar. Terdiri dari sebuah rumah di Pondok Labu, Jakarta Sela-tan, beberapa mobil, barang berharga, dan tabungan. Posisi harta Widjan terakhir memang belum diketahui. Terakhir ia melaporkan perubahan harta pada 2004. ”Perubahan datanya masih kami proses,” kata seorang staf Direktorat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara pekan lalu.
Pada 21 April 2003, tersiar kabar rumahnya di Pondok Labu diubah menjadi Museum Layang-Layang. Widjan pindah ke sebuah rumah megah di Jalan Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Ketika dipanggil kejaksaan, alamatnya berubah di Jalan Brawijaya. ”Yang Dharmawangsa dulu dikontrakkan buat kafe. Yang di Brawijaya memang rumah baru,” kata Heru Lelono.
Harta lain adalah Ndalem Joyokusuman—tempat dia bermain ketoprak pada Desember lalu—yang dibeli Widjan pada awal 2004 seharga Rp 11 miliar. Pemilik sebelumnya adalah keluarga Moedrick Sangidoe, bekas anggota Partai Persatuan Pembangunan Jawa Tengah. ”Itu rumah keluarga yang dibeli Pak Widjan sebelum SBY terpilih,” kata Sangidoe. Menurut Moedrick, dari warga sana dia mendengar rumah seluas 8.300 meter persegi itu direnovasi dengan ongkos Rp 17 miliar. ”Warga mendengarnya dari Ibu Endang, istri Pak Widjan,” katanya. Di lokasi itu telah dibangun 20 cottage, dua pendapa besar, dan satu gedung pertemuan mewah.
Di Kampung Gajahan juga, keluarga Widjan membeli tanah 3.000 meter persegi dari beberapa warga seharga Rp 4 miliar. Ada lagi tanah 700 meter persegi di Kalitan—dekat Ndalem Kalitan milik keluarga Ibu Tien Soeharto. ”Kami tidak tahu harganya, tapi mau dijual lagi Rp 3 miliar,” kata Boyamin, pengurus Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) di Surakarta, pekan lalu. ”Kami minta kejaksaan segera menyitanya. Gaji Kepala Bulog berapa, sih?” kata Boyamin. Menurut Boyamin, kejaksaan menolak dengan alasan hanya mengusut kasus sapi impor fiktif.
Kekayaan Widjan memang mengejutkan. Padahal sebelumnya ia biasa saja. ”(Sejak awal) saya tahu kekayaan keluarganya. Dia itu saya anggap adik saya,” kata Julius Usman. ”Dulu juga dia ikut makan di rumah saya.” Julius, yang kini sakit jantung, mengaku terpukul dengan berita korupsi Widjan. Kata Julius, ”Dia jadi bodoh karena ingin kaya. Lalu iblis datang mempe-ngaruhi.”
Arif A. Kuswardono, Tito Sianipar, Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo