Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sandiwara Peringatan Tsunami Aceh

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bill Nicol,
Penasihat senior pemerintah Indonesia untuk rekonstruksi Aceh dan penulis Tsunami Chronicles: Adventures in Disaster Management, sebuah kajian tentang program pemulihan Aceh. Bisa dihubungi melalui www.nicolnotes.com.

ACARA peringatan terkadang ganjil. Ia bisa benar-benar personal, tapi bisa pula berupa perayaan belaka: acara yang dibuat-buat bagi mereka yang hanya ingin dilihat.

Saya masih ingat betul peringatan satu tahun tsunami. Kalangan VIP dari seluruh dunia datang, memenuhi bandar udara Aceh yang semrawut oleh lalu-lalang pesawat jet pribadi. Departemen Luar Negeri mengambil alih acara pada menit terakhir. Mereka berusaha tampak sibuk dan penting. Hasilnya justru berantakan, seperti biasa.

Contohnya satu insiden ini. Duta Besar Amerika Serikat Lynn Pascoe dihadang di pintu pemeriksaan keamanan acara peringatan di Banda Aceh. Pengawalnya ketahuan membawa senjata—sesuatu yang wajar di wilayah yang berkonflik selama 30 tahun, tempat bentrokan senjata masih meletup sesekali. Meski Amerika salah satu donor terbesar pada rekonstruksi Aceh, pejabat Deplu berkeras menyuruh Duta Besar Pascoe duduk jauh di belakang aula yang kami bangun untuk acara. Ini contoh perlakuan tak pantas kepada negara yang menyumbang lebih dari 500 juta dolar untuk membangun Aceh.

Masih ada lagi. Perdebatan pecah ketika pejabat Deplu menghalangi saya meletakkan sebaris kursi untuk duta besar tak terlalu jauh dari tempat duduk Presiden Indonesia dan istrinya. Sang duta besar menahan malu ketika semua orang di ruangan yang padat itu menyaksikan keributan yang menggelikan tersebut. Dan, ya, kami akhirnya mendapat sebaris kursi tambahan.

Tapi dagelan ini adalah khas proyek pemulihan Aceh yang masif, yang terkadang berjalan tak tentu arah. Pemimpin rekonstruksi, Dr Kuntoro Mangkusubroto, atasan saya, adalah orang yang paling banyak dirugikan. Di balik layar, tak lama sesudah peringatan satu tahun tsunami, para pejabat Jakarta berusaha menyingkirkannya. Mereka ingin mendapat jatah dari triliunan uang yang mengalir ke rekonstruksi Aceh.

Kabar bahwa rekonstruksi berjalan terlalu lamban beredar. Orang mempercayainya. Mereka tak sadar bahwa butuh waktu lama membangun momentum sebuah program yang demikian besar, apalagi saat rantai pasokan terputus total.

Para wartawan—yang mulai mengembuskan kabar itu—terus mengulangnya, membuat pengecam Kuntoro gembira. Para pejabat itu mencoba mendepaknya bahkan sebelum ia ditunjuk. Mereka mencabut klausul penting dari peraturan presiden untuk membatasi wewenangnya. Dan mereka mencoba lagi kemudian.

Di tengah "pertempuran" itu, Palang Merah menggelontorkan 100 juta dolar untuk program permukiman transisi, agar korban bisa keluar dari tenda. Momentum ini terus bergulir hingga 140 ribu rumah akhirnya terbangun hanya dalam empat tahun. Rumah adalah puncak gunung es, ukuran utama kesuksesan rekonstruksi secara politis.

Kuntoro tak akan bertahan jika tak ada program Palang Merah itu. Demikian pula program rekonstruksi. Saya ragu orang selain Kuntoro bisa berhasil. Saya yang paling tahu, karena posisi saya.

Selama rekonstruksi Aceh, saya selalu berada di samping Kuntoro sebagai penasihat senior. Saya ikut bepergian ke luar negeri dengannya untuk bernegosiasi dengan donor dan mengingatkan janji mereka memberi dana. Jadi saya tahu persis usahanya. Dan upaya Kuntoro benar-benar mengagumkan, dilihat dari sisi mana pun.

Kepemimpinan adalah elemen penting kemajuan umat manusia. Saya menulisnya di banyak buku. Salah satunya Tsunami Chronicles, kisah pemulihan Aceh dalam enam volume. Di sana saya tulis dengan rinci permainan politik yang setiap hari merobek, mengoyak, dan mempermainkan proses pemulihan Aceh.

Tekanan paling besar ada di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang dipimpin Kuntoro. Awalnya tim kami kecil. Ketika perjanjian damai dengan Gerakan Aceh Merdeka diteken, kami harus mempekerjakan ribuan mantan kombatan. Kuntoro menerimanya dengan senyum. Ia tahu bahwa perdamaian adalah pertaruhan utama di Aceh. Kami hanya bisa menerima.

Tapi mempekerjakan seribu orang GAM mengacaukan BRR. Badan itu jadi terbelah antara profesional non-Aceh, yang sudah mengorbankan banyak hal untuk datang, dan orang Aceh, yang merasa berhak mendapat semua uang, kekuasaan, dan hak istimewa. Kalau perlu, mereka menodongkan pisau untuk mendapatkannya.

Setiap hari Kuntoro menghadapi mimpi buruk. Ia berusaha menyeimbangkan pertentangan antara kelompok Aceh dan non-Aceh. Sebagai pemimpin, ia tahu bahwa politik adalah kunci membereskan hal teknis. Tentu ada untungnya juga bekerja dengan kelompok Aceh ini.

Kuntoro menjaga keutuhan struktur pimpinan GAM agar mereka mengendalikan kombatan pengangguran yang memeras pekerja program internasional di penjuru Aceh. Jika pimpinan GAM pecah, semua program rekonstruksi bisa gagal. Apalagi jika ada kombatan membunuh satu pegawai Palang Merah atau anggota staf Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Kuntoro berhasil berkat kombinasi karisma dan strategi jangka panjang. Tapi harga yang ia bayar mahal. Manajer senior BRR asal Aceh, misalnya, merancang manuver untuk memisahkan Kuntoro dan deputinya dari Jawa, terutama Sudirman Said, yang sekarang menjadi menteri di kabinet Presiden Joko Widodo, dan Widja Widjajanto, mantan wartawan media nasional. Mereka berperan penting di semua aspek pekerjaan BRR.

Keduanya berhak mendapat medali untuk kontribusi yang besar. Tapi mereka justru didepak. Kuntoro menjaga jarak di tengah pertentangan kedua kelompok itu. Hanya sedikit orang yang melihat, apalagi mengapresiasi upaya Kuntoro mengimbangi keadaan. Tapi inilah inti rehabilitasi Aceh—dengan anggapan Aceh telah pulih. Tapi saya tak yakin.

Kendala besar masih menghadang. Anggaran pemerintah Aceh demikian kecil, nyaris tak cukup untuk memberi pelayanan mendasar, apalagi buat membangun daerah mereka. Hukum syariah, yang ditetapkan di Aceh sejak 2001, membuat mereka tertinggal. Agama—yang seharusnya merupakan pilihan pribadi, bukan paksaan pemerintah—membuat mereka berjarak dari negara yang sekuler. Dan korupsi masih mengancam. Mantan pemimpin GAM mencoba menikmati sisa "rampasan perang" yang tak layak mereka raih. Pemerintah Jokowi harus memperhatikan masalah ini.

Warisan Kuntoro melampaui prestasinya di Aceh. BRR berhasil membangun lebih dari 140 ribu rumah baru untuk korban tsunami, 1.000 pusat kesehatan masyarakat baru, hampir 2.000 sekolah baru, dan 3.000 rumah ibadah baru. Tapi, jika ia gagal di sana, kepercayaan diri masyarakat Indonesia bisa rusak. Demikian besar kekuasaan dan uang di genggamannya. Orang mungkin berkata, "Jika ia saja tak berhasil, tak mungkin orang lain bisa. Mengapa kita harus mencoba?"

Pemikiran ini dan agenda reformasi Kuntoro yang besar memicu saya bekerja 20 jam setiap hari, 7 hari seminggu. Saya masih merasa lelah 6 tahun kemudian. Tapi Kuntoro sukses. Setidaknya, kami sukses—Kuntoro dengan bantuan dan dukungan politik komunitas internasional. Ini adalah kerja tim yang bagus. Ribuan orang baik berbondong datang dari seluruh dunia.

Intinya adalah kepemimpinan. Kepemimpinan Kuntoro telah membuktikannya. Intinya juga politik, selalu politik. Selalu ada yang kurang kompetensinya—dan Deplu bukan satu-satunya. Tapi, ada juga yang kompeten dan tulus membantu komunitas yang ambruk dihantam bencana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus