Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kios penjual sirih seluas sekitar satu meter persegi berderet di lokasi Pasar Atjeh di samping Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Perempuan di sana, yang sebagian sudah lanjut usia, mayoritas berjualan sirih, makanan, dan minuman. Awalnya mereka berdagang di depan Masjid Baiturrahman dengan berjongkok. Karena kurang elok dipandang, melalui program Musyawarah Rencana Aksi Perempuan (Musrena) yang diusung Pemerintah Kota Banda Aceh sejak 2007, ibu-ibu itu memperoleh kios bantuan Pertamina di tempat sekarang ini.
Salah satu penjual sirih, perempuan asal Pidie bernama Rosniati, 31 tahun, membuka lapak mulai sore hingga malam. Dengan modal Rp 200 ribu dan pendapatan sekitar Rp 400 ribu per bulan, ibu dua anak itu—sekolah menengah pertama kelas I dan sekolah dasar kelas I—dapat membantu menambah penghasilan suaminya yang tukang ojek becak motor. "Hasil jualan cukuplah untuk biaya sekolah dan jajan anak," ujarnya ketika ditemui pada awal Desember lalu.
Musrena merupakan wadah perempuan Banda Aceh yang dapat dimanfaatkan untuk mengusulkan program ke pemerintah kota, yaitu Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). "Forum ini bertujuan memperkuat posisi perempuan dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pemerintah," ujar Illiza Sa'aduddin Djamal, Wali Kota Banda Aceh—seorang perempuan.
Para perempuan itu akan memperoleh pelatihan. Rosniati dilatih meracik sirih, sedangkan Rohani, 48 tahun, warga Desa Lamjame, Kecamatan Jayabaru, diajari menjahit oleh dinas perindustrian dan perdagangan. Dari hasil pelatihan itu, Rohani sudah mampu membordir kain furing pelapis kebaya, sulam pita dan menjahit gorden, serta mendapatkan pelajaran cara melayani pelanggan dengan baik. "Padahal dulu saya sering tak sabar."
Ketika gelombang besar tsunami menyapu Banda Aceh pada akhir 2004, infrastruktur kota hancur. Perangkat pemerintah lumpuh. Pembangunan Kota Banda Aceh dimulai dari nol. Lembaga donor berbondong datang. Salah satunya German Technical Cooperation Agency-Support for Local Government for Sustainable Reconstruction (GTZ-SLGSR). Pemerintah kota dan GTZ-SLGSR melihat banyak kebutuhan perempuan belum dimasukkan ke program pemerintah.
Penyebabnya, perempuan Aceh sulit berpartisipasi dalam acara pengambilan keputusan, seperti Musrenbang. "Mereka sulit bergabung karena dianggap bukan muhrim, atau lelaki beranggapan biarlah mereka saja yang aktif," ujar Illiza, yang menggantikan wali kota sebelumnya, Mawardy Nurdin, karena meninggal pada Februari lalu. Hal ini ditegaskan melalui evaluasi Musrenbang 2007 yang menganalisis kehadiran peserta perempuan tidak lebih dari 27 persen. Bahkan di desa ada yang hanya mencapai 5 persen.
Untuk mengatasi ketimpangan ini, tercetuslah kesepakatan agar suara perempuan diangkat melalui musyawarah khusus perempuan, Musrena. "Butuh Musrena agar mereka lebih bebas berbicara," ujar Fahmiwati, mitra pemerintah dalam mencetuskan Musrena dari GTZ-SLGSR. Target Musrena adalah mengamankan anggaran responsif gender di desa dan kota.
Fahmiwati mengatakan ide Musrena berawal karena GTZ melihat lebih banyak korban tsunami perempuan yang memerlukan bantuan di barak-barak korban tsunami yang dipantau GTZ. "Jumlah perempuan tiga kali lebih banyak dibanding laki-laki," ujarnya.
Selain itu, perempuan lebih cepat ingin berubah menjadi lebih baik dan punya potensi untuk itu. "Perempuan di desa-desa bisa berkumpul dan menyuarakan kebutuhan, tapi suara mereka kalah di Musrenbang dari laki-laki," ujarnya. Di Musrena, misalnya, kaum Hawa meminta pemeriksaan pap smear dan tempat menyusui di lokasi publik. Menurut Fahmiwati, program Musrena bisa berjalan karena Pemerintah Kota Banda Aceh memiliki kemauan yang lebih kuat dibanding daerah lain. "Ketika kami tawarkan ke daerah lain, tak ada sambutan," ujarnya.
Musrena pertama digelar pada 2007. Dananya berasal dari GTZ-SLGSR—walau pada tahun-tahun berikutnya ditanggung pemerintah kota. Pada pertemuan perdana, setiap desa diminta mengirimkan tiga perwakilan perempuan. Mereka mendapat bimbingan fasilitator dari aktivis perempuan setempat. Dipikirkan juga cara menampung aspirasi perempuan di tingkat desa, yang kemudian menjadi balee inong, yang berarti balai perempuan. "Dulu perempuan memang punya tempat berkumpul, untuk mengaji dan bersilaturahmi. Karena tsunami, bangunan luluh-lantak," ujar Badrunissa, Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana.
Pembentukan lembaga baru ini awalnya ditentang, baik oleh laki-laki maupun perempuan. "Mereka berpikir untuk apa perempuan beraktivitas di luar rumah," ujar Badrunissa. Penolakan paling keras biasanya datang dari Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) kelompok perempuan beranggotakan istri pejabat desa. Mereka takut balee inong mengambil "lahan" mereka. "Ada saja istri kepala desa yang cemburu sama anggota balee inong. Dan suami mereka membela istrinya," kata Badrunissa sembari tertawa.
Badrunissa selalu meyakinkan bahwa balee inong dibutuhkan untuk mempercepat pemberdayaan perempuan. Jumlah perempuan banyak dan kebutuhannya beragam. Tak cukup hanya ditampung satu lembaga. "Lagi pula balee inong memiliki misi pemberdayaan politik. Keanggotaannya juga lebih luas daripada PKK. Janda bisa ikut."
Sejak 2007, forum Musrena telah banyak membuahkan hasil. Usul mereka menjadi program kota, seperti penyediaan instalasi air bersih, pembangunan posyandu, dan pelatihan daur ulang sampah. Sebanyak 80 persen penyaluran kredit usaha kecil dari pemerintah kota disalurkan ke perempuan berkat mereka.
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Banda Aceh Zulkifli Syahbuddin mengatakan, sejak dicanangkan pada 2009, penyaluran dana Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat Rp 1-3 juta per kelompok dengan bunga 6 persen itu telah mencapai Rp 5,9 miliar. Pada 2015, pemerintah kota akan melanjutkan dengan pinjaman tanpa bunga. "Kelompok tidak dikenai bunga karena bank disubsidi pemerintah untuk pendampingan," ujarnya.
Dengan berbagai keberhasilan yang dicapai, pada 2011 Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran dan The Asia Foundation menyatakan Kota Banda Aceh menduduki peringkat pertama kota dengan indeks tertinggi kesetaraan pengelolaan anggaran, dibanding 20 daerah lain di Indonesia. Pun pada pemilihan umum legislatif lalu, anggota balee inong laris dilirik partai politik untuk memenuhi kuota 30 persen legislator perempuan. Setidaknya ada 18 orang yang ikut mencalonkan diri.
Satu orang berhasil tembus ke Dewan Perwakilan Rakyat Kota, yaitu Syarifah Munirah, 44 tahun, dari Balee Inong Putrophang, Kecamatan Baiturrahman, Aceh. Di tangan dialah harapan agar program Musrena dapat dilestarikan, yaitu dengan mengangkatnya dari peraturan wali kota menjadi qanun atau Peraturan Daerah Kota Ramah Gender. "Draf Qanun Kota Ramah Gender sudah ada dari 2010, tapi DPR tidak juga membahasnya," ujar Badrunnisa.
Syarifah, yang kini menjadi anggota Badan Legislasi DPRK Banda Aceh, mengaku memiliki tanggung jawab moral mengangkat Qanun Kota Ramah Gender tersebut. "Saya akan berusaha meyakinkan kawan-kawan di Dewan akan pentingnya qanun tersebut," ujar satu-satunya perempuan dari 30 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo