Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Sanksi Aipda P Belum Ditentukan, Apa Hukuman Polisi Lakukan Pungli Menurut Aturan Polri dan KUHP?

Polda Metro Jaya belum menjatuhkan sanksi terhadap Aipda P yang diduga melakukan pungli di Samsat Bekasi. Ini aturan hukum berdasarkan KUHP.

16 September 2024 | 12.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Polda Metro Jaya belum menjatuhkan sanksi terhadap Aipda P, polisi yang diduga melakukan pungutan liar atau pungli di Samsat Bekasi. Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Bambang Satriawan mengatakan, penentuan sanksi diputuskan dalam sidang kode etik profesi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Nanti akan diputuskan dalam persidangan,” ujarnya saat ditemui di halaman Gedung Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Jumat, 13 September 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski demikian, Bambang menyebut perbuatan Aipda P merupakan pelanggaran berat. Oknum polisi ini viral di media sosial TikTok lantaran meminta biaya dua kali lipat untuk mempercepat proses pengurusan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).

Lantas apa sanksi bagi anggota Polri yang terciduk melakukan pungli?

Larangan melakukan pungli secara gamblang disebut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 6 huruf p dan w beleid ini menjelaskan bahwa polisi haram melakukan tindakan yang merugikan pihak dilayani dan melakukan pemungutan tidak sah.

Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:

p. melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani.

w. melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apa pun untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain,” bunyi beleid tersebut.

Beleid ini juga menjelaskan anggota Polri yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6, dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin, baik berupa teguran lisan dan/atau tindakan fisik. Hukuman disiplin yang diterapkan pun beragam, sebagaimana diatur dalam Pasal 9, yaitu:

"Hukuman disiplin berupa:

a. Teguran tertulis;

b. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun;

c. Penundaan kenaikan gaji berkala;

d. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun;

e. Mutasi yang bersifat demosi;

f. Pembebasan dari jabatan;

g. Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari."

Sementara itu, dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa bilamana ada hal-hal yang memberatkan pelanggaran disiplin, penempatan dalam tempat khusus sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, dapat diperberat dengan tambahan maksimal 7 (tujuh) hari.

Di sisi lain, anggota Polri juga dapat diberhentikan baik hormat dengan maupun tidak dengan hormat. Dijelaskan dalam Pasal 13, sanksi pemecatan ini diterapkan kepada polisi yang dijatuhi hukuman disiplin lebih dari tiga kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Polri.

Dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia,” bunyi pasal tersebut.

Tak hanya itu, seperti dijelaskan dalam Pasal 12 ayat (1), penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana. Artinya, anggota polisi dapat dipidanakan apabila pelanggaran yang dilakukan memenuhi unsur penistaan terhadap hukum. Termasuk, tindakan pungli.

Dinukil dari publikasi di Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi berjudul Mewujudkan Penegakan Hukum yang Baik di Negara Hukum Indonesia, setiap tindak pidana yang dilakukan oleh siapa pun harus ditangani dan mengesampingkan status sosial, walaupun pelakunya adalah aparat hukum itu sendiri.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang berlaku saat ini, yakni Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946, tidak disebutkan secara spesifik ihwal kejahatan pungli. Namun istilah ini dapat dirujuk pada Pasal 12 huruf e dan huruf f:

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,” bunyi Pasal 12 huruf e.

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang,” bunyi Pasal 12 huruf f.

Disadur dari Jurnal Preferensi Hukum bertajuk Sanksi Hukum Terhadap Anggota Kepolisian yang Melakukan Pungutan Liar, pungli dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan tindak pidana yang hampir sejenis atau penggabungan dari tiga tindak pidana yang dijelaskan maupun yang diatur di dalam KUHP, yaitu:

1. Tindak pidana pemerasan

Dalam kejahatan pemerasan, di mana ada unsur tindakan yang ingin memperoleh keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain secara tidak sah diikuti serangkaian ancaman, sehingga orang lain dapat memberikan barang atau sesuatu kepadanya.

Di dalam tindak pidana pemerasan, di mana terdapat unsur-unsur perbuatan yang ingin menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan rangkaian ancaman agar orang lain dapat menyerahkan barang atau sesuatu kepadanya.

2. Tindak pidana penipuan

Penipuan dan pemerasan adalah tindakan kriminal di mana ada unsur-unsur yang sama dan saling terkait, antara lain, untuk memberi untung bagi diri sendiri atau orang lain secara tidak sah dengan serangkaian kebohongan untuk atau bagi orang lain untuk menyerahkan barang kepada mereka.

3. Tindak pidana kejahatan jabatan

Kejahatan jabatan dan pungli adalah tindak pidana yang berkaitan karena menyalahgunakan wewenang atau kekuasaannya, atau memaksa orang lain demi keuntungannya pribadi. KUHP tidak mengatur secara pasti tentang kejahatan pungli, tetapi pungli hampir sama artinya dengan tindakan pidana kejahatan jabatan, pemerasan dan kecurangan yang ditentukan KUHP.

Meskipun dalam KUHP tidak ditemukan mengenai tindak pidana pemerasan atau tuduhan ilegal, tetapi secara implisit terdapat pada perumusan korupsi di beberapa pasal termasuk Pasal 423 KUHP sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 UU No. 31 tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, di mana selanjutnya dirumuskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang korupsi.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, pungli juga termasuk gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu oknum kepolisian yang melakukan pungutan liar dapat dijerat dengan aturan perundang-undangan tersebut. Penjelasan Hukuman Pidana penjara jika melanggar perbuatan pidana tersebut diatur pada KUHP:

1. BAB XXIII KUHP pasal 368 tentang Pemerasan dan Pengancaman yang berbunyi:

Barang siapa yang bermaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan untuk memberikan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapus piutang, diancam karena pemerasan, dengan hukuman pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

2. BAB XXV KUHP pasal 378 tentang Perbuatan Curang yang berbunyi:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi uang ataupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

3. BAB XXVIII pasal 423 tentang Kejahatan Jabatan yang berbunyi:

Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Sebelumnya, kasus dugaan pungli yang dilakukan Aipda P terbongkar setelah tersebar video viral yang menunjukkan warga Bekasi bernama Tian (27 tahun), melalui akun TikTok-nya mengaku mengalami pungli ketika mengurus balik nama dan pembayaran pajak kendaraan bermotor di Samsat Bekasi Kota pada Selasa, 3 September 2024.

Tian menyebu seorang polisi meminta Rp 550 ribu untuk mempercepat proses pengurusan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), sedangkan tarif resmi hanya Rp 225 ribu. Dia menolak membayar dan justru terlibat adu mulut sampai diinterogasi di ruang pengaduan. Pasca viral, sejumlah polisi mendatangi Tian dan meminta menghapus video pungli itu.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | M. FAIZ ZAKI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus