Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Titik Buta SoftBank

Di saat para pebisnis elit global memboikot forum investasi yang diselenggarakan Arab Saudi tahun lalu, petinggi SoftBank malah bertandang ke Riyadh.

30 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kunjungan CEO Softbank Masayoshi Son (tengah) di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di saat para pebisnis elit global memboikot forum investasi yang diselenggarakan Arab Saudi tahun lalu karena kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi oleh agen-agen Saudi, pendiri perusahaan Jepang SoftBank, Masayoshi Son, diam-diam bertandang ke Riyadh menghadiri pertemuan rahasia.

Son dan Rajeev Misra menemui putra mahkota Mohammed bin Salman yang telah membantu mereka menjadi investor teknologi paling berpengaruh di dunia. Hampir separuh dana anak perusahaan SoftBank yang fokus di bidang teknologi, Vision Fund, berasal dari kekayaan raja muda itu. Jumlahnya yang mencapai US$97 juta merupakan investasi pribadi terbesarnya.

Dalam pertemuan tersebut, mereka menyampaikan pesan jelas bahwa SoftBank tidak akan meninggalkan Pangeran Mohammed, ujar seorang sumber kepada Financial Times. Pangeran sendiri berjanji bahwa ia tidak akan melupakan kesetiaan mereka.

Satu tahun kemudian, nilai obligasi SoftBank tengah diuji dan rencana untuk mendirikan sekuel Vision Fund yang telah lama ditunggu-tunggu mendadak berkabut.

Berbekal modal dari Saudi, SoftBank berinvestasi di setiap firma ekonomi digital dan menyuntikkan dana ke beberapa perusahaan swasta paling bernilai di dunia. Bagi Son, strategi membakar uang demi mengejar skala dan pangsa pasar adalah segalanya.
Tetapi menjelang runtuhnya pertaruhan besar SoftBank di WeWork, perusahaan berbagi kantor (co-working space), dan jatuhnya valuasi anak perusahaannya yang lain secara dramatis, kepercayaan publik pada kejeniusan cara berinvestasi dan taruhan Son di teknologi disruptif kini terguncang.

Jika masalah SoftBank and Vision Fund ini memburuk menjadi krisis—seperti yang dikhawatirkan sebagian orang—hal itu akan mempengaruhi Silicon Valley, Mumbai dan Beijing hingga pusat keuangan Kota London Wall Street, dan Tokyo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Media Turki melaporkan bahwa Mohammed bin Salman sempat menelepon Khashoggi sebelum dibunuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Saat kembali ke Riyadh minggu lalu untuk menghadiri forum investasi 'Future Investment Initiative' yang disebut 'Davos di Padang Gurun', panel diskusi Son hampir lengang tanpa kehadiran peserta. Miliarder itu bersikeras untuk terus menawarkan modal ke perusahaan startup demi mendorong mereka terus ‘tumbuh besar dan cepat’.

“Kami tahu pengusaha yang punya visi besar untuk memecahkan permasalahan rumit," katanya. "Mereka harus punya keinginan kuat. Lalu kami beri mereka modal untuk bertarung.”

Insiden WeWork menjadi pengalaman yang menjatuhkan Son. “Itu hal yang memalukan baginya,” ujar seseorang yang bekerja untuk Son. “Dia harus memikirkan kembali strateginya.”

Saham SoftBank anjlok 26 persen dalam tiga bulan terakhir. Minggu ini, Son kabarnya akan mengumumkan kerugian senilai miliaran dolar serta upayanya dalam memperkuat standar pengelolaan seluruh perusahaannya. SoftBank menolak memberi komentar.

data



Perjuangan tersebut menunjukkan budaya saling sikut, tingginya rasa curiga, disorganisasi dalam manajemen, dan bentrokan antar para eksekutif Vision Fund yang dipimpin oleh Rajeev Misra.

Meski ada upaya untuk menyelamatkan investasinya, SoftBank tidak bisa menghapus budaya ‘Wild West' di anak perusahaannya yang berbasis di London. Perebutan kekuasaan berkontribusi tinggi pada larinya para petinggi perusahaan, termasuk seorang direktur lama perusahaan itu, Mark Schwartz.

***

Ketika itu, semua mata tertuju pada Bursa Saham New York. Pada tanggal 10 Mei, perusahaan jasa transportasi online Uber mulai mencatatkan diri sebagai perusahaan publik. Hal ini menandakan kemenangan SoftBank yang telah membeli 13 persen saham Uber dan membantu mengganti pendirinya yang tak mumpuni.

Meski begitu, satu masalah muncul. Sesaat sebelum diperjualbelikan secara formal, saham Uber merosot. Di penutupan hari itu, Uber mencatatkan harga penawaran saham awal terendah bagi perusahaan Amerika yang bernilai lebih dari US$1 miliar.

Momen pendewasaan bagi “unicorn” Silicon Valley itu mengubah persepsi publik terhadap startup-startup yang merugi yang telah dimodali banyak oleh Vision Fund.

Harga saham Uber sekarang turun 31 persen dari harga penawaran, yang mana kerugian Vision Fund di atas kertas lebih dari $800 juta sejak investasinya. Investasi lainnya juga anjlok. Nilai saham perusahaan layanan pesan Slack turun 45 persen sejak hari pertama perdagangan bulan Juni, sementara Vir Biotechnology merugi 30 persen sejak melantai pertengahan Oktober. Hanya dua perusahaan yang didukung Vision Fund, Guardant Health dan 10X Genomics, yang mencatat perdagangan dengan nilai di atas harga penawaran saham perdana (IPO).

“Jika SoftBank mengklaim nilainya itu, berapa banyak yang bisa anda percayai?” kata Kirk Boodry, analis teknologi dari Redex Holdings yang juga pencetus platform penelitian Smartkarma. Pengelola investasi global itu meyakini bahwa dukungan dari Vision Fund merupakan “isyarat langsung untuk menjual saham”.

Proses IPO yang stabil diharapkan bisa memvalidasi taruhan akhir Vision Fund dan menjadi dasar keuntungan yang berlimpah yang mana nantinya akan menarik investor kaya untuk berinvestasi di Vision Fund selanjutnya. Mereka berencana untuk mencatat setidaknya dua perusahaan portofolio setiap bulannya tahun depan, ujar Misra awal tahun ini.

Namun tiba-tiba, karena strategi mereka dipertanyakan, mereka tidak mendapat dukungan.

Kesalahan terbesar itu justru datang dari perusahaan yang dipuji-puji dan dimodali besar oleh pendirinya Son hingga miliaran dolar sejak 2017. Saat itu ia berkata perusahaannya akan bernilai ratusan miliar suatu hari nanti.

data


Hubungan erat Son dan pendiri WeWork, Adam Neumann, sudah mulai suram jauh sebelum rencana untuk melantai di bulan September. Titik balik hubungan mereka terjadi di akhir tahun lalu.

Tim SoftBank dan WeWork diam-diam bekerja keras membuat sebuah rencana berani yang mereka sebut Project Fortitude sejak Thanksgiving. Di proyek tersebut, SoftBank akan membeli setiap saham WeWork milik Neumann seharga US$10 miliar dan menyuntikkan dana ke perusahaan tersebut dengan harga sama.

Saat libur Natal, Son memberi tahu Neumann bahwa mereka perlu memikirkan kembali rencana mereka. Ini berarti Vision Fund mundur, dan SoftBank hanya memberi tambahan modal US$2 miliar Januari lalu karena sahamnya merosot. Secara teori, kesepakatan baru ini meningkatkan nilai valuasi WeWork hingga US$47 miliar. Tetapi, strategi bakar uang perusahaan tersebut memaksanya untuk mempercepat rencana IPO.

Beberapa bulan kemudian, WeWork membatalkan rencana IPOnya setelah gagal mendapat investasi US$15 miliar. Namun nilai penawaran saham awalnya membuat perusahaan itu kehabisan modal di pertengahan November yang pada akhirnya terpaksa mengambil dana talangan sebesar US$9.5 miliar dari SoftBank demi menyelamatkan bisnis. WeWork hanya bernilai US$8 miliar dalam kesepakatan itu meski Neumann yang memiliki hak pilih istimewa menego harga US$1.7 billion dan bahkan, 4,000 karyawan WeWork akan dipecat.

"Kami menciptakan monster," ujar Son kepada rekan-rekannya. "Kami telah memberinya semua modal."

Kesepakatan itu mencakup persyaratan yang menguntungkan bagi Vision Fund karena memberinya peluang untuk mengganti kerugian investasi di WeWork lebih cepat dari SoftBank. Seorang eksekutif SoftBank dan orang-orang di lingkaran perusahaan menganggap bantuan itu sebagai dana talangan.

Hal ini mengejutkan investor SoftBank dan meningkatkan kemungkinan bahwa dana segar perusahaan Jepang itu bisa diinvestasikan untuk menguntungkan Vision Fund sebelum para pemegang sahamnya.

Ada kekhawatiran tentang perusahaan swasta lainnya dalam portofolio Vision Fund. "WeWork bukan satu-satunya perusahaan dengan aset lemah," kata Atul Goyal, seorang analis ekuitas di Jefferies. "Kami menduga ada banyak investasi atau aset yang patut dipertanyakan di lebih dari 80 investasi SoftBank dan Vision Fund."

Salah satunya adalah perusahaan India Oyo dengan kepemilikan saham Vision Fund sebesar 50 persen. Jaringan hotel itu dipimpin oleh Ritesh Agarwal, 25 tahun. Putaran investasi terakhirnya yang bernilai US$2 miliar berasal dari kesepakatan ganjil yang  menggandakan nilai valuasinya hingga US$10 miliar dan membuat pemiliknya mengambil pinjaman dari bank Jepang yang memiliki kedekatan dengan SoftBank.

Kekhawatiran akan keselamatan penumpang di Didi Chuxing juga menahan pertumbuhan Uber tahun lalu. Dampak kinerja perusahaan yang buruk juga dilaporkan telah merusak nilai valuasinya di pasar sekunder.

Taruhan lainnya, seperti investasi US$500 juta di perusahaan startup simulasi virtual Inggris bernama Improbable tidak diharapkan memberi untung. Startup penyedia sewa mobil Fair yang bekerja sama dengan Uber baru-baru ini berencana untuk memangkas 40 persen tenaga kerjanya demi meraih untung. Perusahaan lainnya Wag, penyedia jasa untuk hewan peliharaan, yang disokong dengan US$300 miliar dari Vision Fund juga telah ditandai untuk dijual.

“Modal yang diatur oleh tangan yang benar, pemilik yang mumpuni serta platform yang memiliki potensi jangka panjang yang tepat akan berhasil (menguntungkan),” ujar Nikesh Arora, mantan penerus Son yang mendadak mengundurkan diri tahun 2016, saat acara di CNBC pekan lalu. “Tapi hal itu tidak serta merta berhasil pada setiap situs jasa urus hewan peliharaan atau penyewaan kamar hotel.”

***

Sulit untuk menggambarkan tentang SoftBank dan Vision Fund secara kohesif, sebagian karena kesepakatan tiada akhir yang diajukan Son dan juga karena rekayasa keuangan ekstrim yang diambil oleh Rajeev Misra.

Misra adalah salah satu kreditur terkuat dari generasi bankir Wall Street sebelum krisis. Ia juga mantan eksekutif Deutsche Bank India. Sebagian orang menganggapnya sebagai pelopor keuangan modern.

April lalu, Misra dipuji oleh Michael Milken yang dikenal sebagai raja obligasi sampah tahun 1980-an dan pernah dipenjara selama dua tahun karena penipuan sekuritas. Di sebuah konferensi, Milken yang menjuluki Misra sebagai filantropis, berkata padanya: “Tidak ada yang mengerti pasar keuangan dan pasar modal serta ratusan ragam instrumennya selain dirimu.”

Namun bagi orang lain, Misra dianggap sebagai sumber ketidakstabilan dan kompleksitas keuangan yang parah karena mengisi posisi-posisi tinggi Vision Fund dengan mempekerjakan mantan koleganya di Deutsche Bank.

“SoftBank dan Vision Fund merupakan tumpukan-tumpukan hutang,” kata salah seorang bankir yang bekerja dekat dengan kedua perusahaan itu. Ia dan banyak lainnya melihat secara paralel tentang apa yang terjadi di Deutsche Bank, sebuah bank yang kurang pengawasan dan kontrol yang saat ini berjuang karena neraca keuangannya sarat akan produk-produk beresiko spesialisasi Misra.

SoftBank mempunyai beban hutang berbunga senilai US$160 miliar dan obligasinya dinilai tak layak untuk investasi. Vision Fund memiliki struktur unik—hasil kerja Misra—yang mana sekitar US$40 miliar dana investor luar berbentuk preferred shares yang berarti sama dengan hutang dan mengharuskannya membayar kupon tahunan.

Saat Misra ingin mengembalikan modal ke investor Vision Fund awal tahun ini, ia mengambil pinjaman US$3,5 miliar dengan menggadaikan saham perusahaan termasuk Uber.

Di bawah pengawasan Misra, jajaran perusahaan berkembang hingga lebih dari 400 karyawan, sementara perusahaan mencoba untuk menghapus citra buruk. Perusahaan memperketat fungsi kontrol di berbagai bidang seperti kepatuhan, akuntansi, dan hukum.
“Saya akan memberitahu Anda perubahan terbesar selama dua tahun ini. Kami belajar banyak. Ini menjadi indra keenam kami. Kami mentransfer pembelajaran itu ke perusahaan portofolio kami,” ujar Misra kepada Milken. Ia menyoroti praktik terbaik yang dibagikan ke seluruh perusahaannya.

Vision Fund tumbuh dalam suatu keadaan di mana Misra dan sekutunya berseteru dengan orang-orang di luar lingkaran mereka. Para kritikus mengatakan budaya beracun yang diabaikan oleh Son ini dapat mengganggu masa depan perusahaan tersebut.

Ada sedikitnya dua eksekutif senior SoftBank pernah bertikai dengan Misra, dan hal itu berdampak pada keseimbangan kekuasaan di Vision Fund dan perusahaan. Satu dari dua orang itu adalah Alok Sama, mantan kepala keuangan SoftBank Internasional yang aktif mengkritik investasi mereka di WeWork. Ia sudah mengundurkan diri bulan April. Perjuangannya di SoftBank sebelumnya dipersulit oleh kampanye hitam para pemegang saham yang berusaha mencegahnya bekerja di Vision Fund.

Eksekutif yang lain adalah Marcelo Claure. Ia pindah ke Tokyo setahun yang lalu untuk bekerja lebih dekat dengan Vision Fund, tetapi ia juga dihalang-halangi. Claure yang juga miliarder Bolivia saat ini pindah ke Miami untuk mengelola perusahaan keuangan kecil Amerika Latin. Son sering menemui Claure saat menghadapi kesulitan karena kesepakatan yang ia buat dan mempekerjakan Claure untuk membantunya membalikkan WeWork.

SoftBank sempat menugaskan Schwartz, mantan bankir Goldman Sachs, untuk memimpin  penyelidikan apakah kampanye melawan Alok Sama dipimpin oleh seseorang di dalam perusahaan. Seorang juru bicara SoftBank mengatakan penyelidikan berakhir tanpa ada bukti kesalahan itu.

Namun toh Schwartz mengundurkan diri sebagai dewan SoftBank pada Mei setelah 18 tahun bekerja.

Mantan kolega Goldman dan yang lainnya menggambarkan Schwartz sebagai "kompas moral" yang pada akhirnya muak akan perubahan budaya di SoftBank dan prihatin atas tata kelola di Vision Fund serta ketergantungan perusahaan pada modal dari Riyadh. Schwartz menolak untuk berkomentar.

SoftBank Dorong Uber Tinggalkan Asia


Satu orang yang sejauh ini menghindari pertikaian adalah Katsunori Sago, kepala strategi SoftBank dan mantan bankir top Jepang di Goldman Sachs. Sago mempekerjakan sedikitnya 10 karyawan dari Goldman Sachs, termasuk bankir veteran Hiroki Kimoto, untuk mengendalikan neraca keuangan SoftBank yang membengkak.

Beroperasi secara terpisah dari tim Misra, unit ini fokus menawarkan opsi pembiayaan pembelian aset yang lebih murah kepada perusahaan-perusahaan di bawah Vision Fund seperti properti dan mobil dengan menggunakan kredit dan ekuitas SoftBank.
Orang-orang terdekat SoftBank berpendapat tim Sago bisa menjadi pelindung investasi global dari Misra dengan lebih mendisiplinkan cara Vision Fund mengatur asetnya dan aset mereka.

"Selama dua tahun terakhir kami telah membuat perubahan besar di budaya kami," kata juru bicara Vision Fund, yang kemudian dibantah oleh orang-orang di sekeliling para eksekutif perusahaan.

Vision Fund kedua digadang-gadang bisa membantu Son membungkam para pengkritiknya. Peluncuran rencana-rencana itu dirancang untuk menunjukkan kemampuan SoftBank dalam menarik investor blue-chip seperti Microsoft musim panas ini. Tetapi belum ada investor luar yang mendaftar secara formal.

Hampir setengah US$108 miliar yang SoftBank harapkan bisa terkumpul akan terwujud dari dana perusahaan itu sendiri dan karyawannya. Namun, beberapa dari karyawan menolak apa yang disebut “uji loyalitas” tersebut yang mana artinya pinjaman SoftBank setara dengan 15 kali gaji tahunan mereka.

Eksekutif perusahaan dan orang dekat SoftBank mengakui bahwa komitmen baru dari Arab Saudi dan negeri tetangganya Abu Dhabi sangat penting untuk menciptakan Vision Fund kedua. Namun dua negara itu lambat untuk berkomitmen meski eksekutif SoftBank sudah mengandalkan Pangeran Mohammed untuk berinvestasi kembali sebesar US$30 miliar untuk mereka.

"Saya tidak bisa membayangkan bagaimana SoftBank bisa melakukannya tanpa mereka," kata seseorang yang terlibat.

Para penasihat mendesak putra mahkota untuk menjaga jarak dengan SoftBank. Tapi Mohammed bin Salman berujar ia ingin menjaga janjinya kepada Son.

Pertama kali dipublikasikan di FT.com pada 4 November 2019.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus