Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SANUSI Pane datang terlambat dalam rapat perumusan Ikrar Pemuda yang akan diajukan sebagai keputusan Kongres Pemuda pertama di Gedung Vrijmetselaarsloge ‘Ster Het Osten’ (Loji Bintang Timur), Jakarta, 2 Mei 1926. Tiga orang, yakni ketua panitia kongres Mohammad Tabrani, Mohammad Yamin, serta Djamaludin Adinegoro, sudah lebih dulu membahas naskah bikinan Yamin yang menjadi awal mula konsep satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa itu. Ada perdebatan sengit di antara ketiga orang ini karena poin terakhir naskah Yamin berbunyi, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Melayu.”
Tabrani berpendapat istilah bahasa Indonesia lebih tepat digunakan ketimbang bahasa Melayu, tapi ia kalah suara dari Yamin dan Djamaludin. Yamin bahkan sempat menyebut Tabrani sebagai “tukang ngelamun” karena pada saat itu belum ada istilah bahasa Indonesia. Sementara itu, Tabrani, seorang jurnalis asal Madura dan tokoh organisasi Jong Java, berkeras, jikapun bahasa itu belum ada, harus diadakan karena poin 1 dan 2 ikrar tersebut telah menyebut nama Indonesia. Arah perdebatan berubah ketika Sanusi Pane datang. “Ibaratkan pertandingan sepak bola sebelum turun minum 2-1 untuk kemenangan Yamin. Setelah Sanusi Pane muncul stand berubah menjadi 2-2, sebab Sanusi Pane menyetujui saya,” kata Tabrani dalam buku autobiografinya yang berjudul Anak Nakal Banyak Akal, terbit pada 1979.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo