Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Sanusi Pane: Sebuah Pleidoi untuk Bahasa Indonesia

Nama sastrawan angkatan Pujangga Baru, Sanusi Pane, tak banyak diingat dalam kajian sejarah Kongres Pemuda. Padahal, dalam kongres pertama, dia bersama Mohammad Tabrani berperan dalam mengusung istilah nahasa Indonesia ketimbang bahasa Melayu yang diusulkan Mohammad Yamin. Sanusi juga mencetuskan ide pendirian institut dan perguruan tinggi kesusastraan Indonesia dalam Kongres Bahasa Indonesia Pertama. Untuk kiprahnya itu, Sanusi Pane diusulkan menjadi pahlawan nasional.

27 Februari 2021 | 00.00 WIB

Sanusi Pane, 1955. Buku Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay
Perbesar
Sanusi Pane, 1955. Buku Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANUSI Pane datang terlambat dalam rapat perumusan Ikrar Pemuda yang akan diajukan sebagai keputusan Kongres Pemuda pertama di Gedung Vrijmetselaarsloge ‘Ster Het Osten’ (Loji Bintang Timur), Jakarta, 2 Mei 1926. Tiga orang, yakni ketua panitia kongres Mohammad Tabrani, Mohammad Yamin, serta Djamaludin Adinegoro, sudah lebih dulu membahas naskah bikinan Yamin yang menjadi awal mula konsep satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa itu. Ada perdebatan sengit di antara ketiga orang ini karena poin terakhir naskah Yamin berbunyi, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Melayu.”

Tabrani berpendapat istilah bahasa Indonesia lebih tepat digunakan ketimbang bahasa Melayu, tapi ia kalah suara dari Yamin dan Djamaludin. Yamin bahkan sempat menyebut Tabrani sebagai “tukang ngelamun” karena pada saat itu belum ada istilah bahasa Indonesia. Sementara itu, Tabrani, seorang jurnalis asal Madura dan tokoh organisasi Jong Java, berkeras, jikapun bahasa itu belum ada, harus diadakan karena poin 1 dan 2 ikrar tersebut telah menyebut nama Indonesia. Arah perdebatan berubah ketika Sanusi Pane datang. “Ibaratkan pertandingan sepak bola sebelum turun minum 2-1 untuk kemenangan Yamin. Setelah Sanusi Pane muncul stand berubah menjadi 2-2, sebab Sanusi Pane menyetujui saya,” kata Tabrani dalam buku autobiografinya yang berjudul Anak Nakal Banyak Akal, terbit pada 1979.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus