Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Munaldus Nerang mendirikan koperasi kredit agar masyarakat tak menjual lahan ke perusahaan sawit.
Dibesarkan oleh orang tua yang tak bisa membaca, Munaldus menjadi sarjana pertama di kampungnya.
Bermimpi membesarkan Keling Kumang seperti koperasi Mondragon di Spanyol.
RUMAH toko tiga lantai itu tak begitu besar. Lebarnya tak lebih dari lima meter. Sebuah anjungan tunai mandiri berdiri di depan ruko yang dijadikan kantor Credit Union Keling Kumang Cabang Pontianak itu. Kantor ini adalah satu dari 65 kantor cabang Credit Union Keling Kumang. Unit lain terserak di Kalimantan Barat bagian timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan jumlah anggota 187.631 orang, koperasi kredit itu kini memiliki aset hingga Rp 1,6 triliun dengan pinjaman baru sekitar Rp 40 miliar per bulan. Selain menjalankan koperasi kredit, mereka antara lain membuka usaha perhotelan serta beberapa koperasi penjual bibit, pupuk, dan barang kebutuhan sehari-hari; mendirikan sekolah menengah atas dan institut; juga mengelola tempat wisata berkonsep alam. “Saya dulu tidak bermimpi Keling Kumang akan sebesar ini,” kata pendiri Keling Kumang, Munaldus Nerang, 58 tahun, Rabu, 24 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjalanan Keling Kumang dimulai pada Maret 1993. Ketika itu Munaldus, yang menjadi dosen pendidikan matematika di Universitas Tanjungpura, Pontianak, gelisah atas kondisi masyarakat di kampungnya. Ia tumbuh di Kampung Tapang Sambas, Kecamatan Sekadau Hilir—sekarang masuk Kabupaten Sekadau. Desa yang berjarak sekitar 300 kilometer dari Pontianak itu sangat miskin. “Termasuk keluarga saya. Kami pernah makan bubur selama dua bulan karena tak mampu membeli lauk,” ujar Munal—sapaan akrab Munaldus.
Sebagian besar penduduk Tapas Sambas bekerja menyadap karet dan berkebun. Mereka tak pernah bersekolah, termasuk kedua orang tua Munal. Rumah mereka terbuat dari papan, bahkan kulit kayu, tanpa listrik. Penduduk punya tanah luas, tapi tak semua tergarap karena tak punya modal. Sebagian masyarakat memilih menjual lahan ke perusahaan sawit yang mulai masuk ke desa mereka. Resah dengan kondisi itu, Munal mencari jalan agar tanah tersebut tak dijual dan bisa diolah masyarakat, juga supaya mereka dapat menyekolahkan anak.
Munal sebelumnya ikut mendirikan Credit Union Pancur Kasih pada 1987 yang beranggotakan para guru di Pontianak. Lembaga itu berkembang sampai sekarang dan memiliki 50 tempat pelayanan. Menurut dia, sejak pertama kali ditemukan di Jerman pada abad ke-19, credit union menjadi solusi penghapus kemiskinan di banyak tempat di belahan dunia.
Pada saat itu, Jerman dilanda krisis ekonomi antara lain akibat badai salju dan revolusi industri. Wali Kota Flammersfeld, Friedrich Wilhelm Raiffeisen, mencari cara mengatasi kemiskinan. Dia antara lain memberikan bantuan makanan dan uang, tapi cara itu tak menyelesaikan masalah. Ia lantas menyimpulkan bahwa kemiskinan hanya bisa diatasi oleh masyarakat miskin sendiri dengan mengumpulkan uangnya. Duit itu lalu dipinjamkan kepada sesama warga untuk keperluan produktif. Masyarakat Flammersfeld pun pulih dari kemiskinan. “Mental miskinnya yang harus diubah. Cara ini yang hendak saya lakukan di kampung saya,” tutur Munal.
Ia mengumpulkan para saudaranya dari Kampung Tapang Sambas dan Tapang Kemayau untuk menjelaskan konsep dan sejarah credit union itu. Namun sebagian dari mereka menentang karena tergiur duit dari menjual tanah ke perusahaan sawit. Mereka pun curiga uang yang akan dikumpulkan bakal dibawa kabur oleh Munal.
Munal menyatakan tak ikut memegang uang tersebut. Para anggota credit union-lah yang mengangkat pengurus yang mengelola uang. “Saya ajarkan sistem pengelolaannya, mereka sendiri yang mengurus,” ucapnya.
Akhirnya, 26 kerabat Munal bergabung sebagai anggota koperasi kredit itu. Jumlah uang yang terkumpul Rp 260 ribu. Seiring dengan waktu, anggota koperasi makin banyak. Pada akhir 1993, jumlahnya mencapai 109 orang dengan total aset sekitar Rp 8 juta. Para anggota mengikuti kelas, terutama untuk mengubah pola pikir. Mereka antara lain diajari tentang sistem koperasi kredit, dilatih mengelola modal untuk hal produktif, dan didorong menyekolahkan anak agar nasibnya lebih baik.
Namun, pada tahun-tahun awal pendirian Keling Kumang, kebanyakan anggota justru meminjam uang untuk keperluan konsumtif, seperti buat membeli barang kebutuhan sehari-hari atau merenovasi rumah. Orang tua Munal salah satunya. Ayahnya, Rurut, meminjam uang untuk membangun rumah berdinding semen pada 1995. “Waktu itu rumah dengan tembok semen mewah di kampung saya. Warga kampung tetangga jadi ingin mendaftar ke Keling Kumang karena melihat ini,” katanya.
Terus didesak oleh warga kampung tetangga, Munal akhirnya mengizinkan masyarakat kampung lain bergabung. Kebiasaan anggota pelan-pelan bergeser. Mereka meminjam uang untuk modal mengolah tanah atau menyekolahkan anak. Keling Kumang terus menjalar ke kampung-kampung tetangga, sampai memiliki puluhan cabang. Kondisi ekonomi masyarakat menjadi lebih baik. Mereka makin percaya kepada Keling Kumang.
Bambang Marius salah satunya. Warga Desa Sepulut, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, ini menjadi anggota sejak 1999. Ia bergabung karena Keling Kumang bisa membantunya mengirimkan uang kepada anaknya yang bersekolah di kota. Saat itu belum ada bank di desanya. “Ada fasilitas transfer yang hanya ada di Keling Kumang, dari kampung ke kota,” tuturnya.
Dalam rapat tahunan 2006, para anggota menyepakati pembentukan program satu keluarga minimal memiliki satu sarjana. Munal mengatakan para anggota meminta Keling Kumang menginisiasi pendirian sekolah dan perguruan tinggi.
Setahun kemudian, mereka mendirikan Yayasan Keling Kumang, yang kini menjadi Yayasan Pendidikan Keling Kumang. Mereka mewujudkan rencana pendirian sekolah menengah kejuruan pada 2015. Kejuruan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, seperti kewirausahaan dan pertanian. Saat ini jumlah siswanya mencapai 1.200 orang. Keling Kumang mendirikan Institut Keling Kumang tahun lalu dan membuka penerimaan mahasiswa baru mulai tahun ini.
Dalam rapat tahunan anggota, selalu ada permintaan baru dari mereka, seperti menyediakan kebutuhan harian dan mengadakan bibit, pupuk, atau tanaman pengganti sawit yang harganya sempat anjlok. Mereka kemudian mendirikan koperasi konsumsi, koperasi pertanian, koperasi jasa, toko swalayan, toko pertanian, hotel, agrowisata, serta tempat pembibitan kakao dan kopi. “Karena sudah ada beberapa entitas, pada 2012 diinisiasi berdirinya Keling Kumang Group untuk memayungi semua unit dan cikal-bakal lahirnya holding koperasi,” ujar Munal.
•••
Munaldus Nerang adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara yang terdiri atas empat laki-laki dan lima perempuan. Seperti warga lain di kampungnya, orang tuanya, Rurut dan Theresia Ina, tak pernah bersekolah. Namun Rurut selalu menasihati anak-anaknya agar memiliki kehidupan lebih baik daripada dirinya. Wejangan itu yang membuat anak-anaknya berjuang keras keluar dari kemiskinan. Munal dan saudaranya berupaya menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Dari sembilan bersaudara, tiga orang lulus S-2 dan satu orang tamat S-3.
Munal adalah sarjana pertama di kampungnya. Lulus sebagai sarjana matematika pada 1987, ia langsung diterima mengajar di almamaternya, Universitas Tanjungpura. Ia melanjutkan studi S-2 di Ohio State University, Amerika Serikat, dan lulus pada 1996. “Orang yang disegani adalah orang yang terdidik atau berpendidikan dan/atau orang kaya,” ucapnya.
Munaldus Nerang di toko Keling Kumang Union, Sintang, tahun 2018. Dok. Pribadi
Kini lahan di Tapang Sambas dan Tapang Kemayau sudah produktif. Anak-anak di dua kampung itu bersekolah dan banyak yang menjadi sarjana, sebagian di antaranya lulus S-2 dan S-3. “Ketika Keling Kumang berdiri di kampung ini, hanya ada satu sepeda motor, milik kepala sekolah dasar. Sekarang satu keluarga ada yang punya tiga sepeda motor, bahkan mobil,” tutur Munal.
Di kampung-kampung lain tempat Keling Kumang berdiri, tingkat pendidikan penduduk juga makin tinggi. Menurut Adil Bertus, Direktur Yayasan Pendidikan Keling Kumang, pada 2009-2012, sebanyak 70 persen anggota staf Keling Kumang tamatan SMA. “Kalau sekarang 70 persen sudah S-1 dan S-2,” ujarnya.
Munal ingin Keling Kumang terus berkembang agar makin bermanfaat bagi masyarakat. Ia berharap holding koperasi itu membesar. “Seperti holding koperasi Mondragon di Spanyol,” katanya tentang koperasi pekerja yang telah menjelma menjadi bisnis besar yang beroperasi di banyak negara itu.
Ia telah menuliskan perihal credit union dalam sebelas buku. Ia juga menerbitkan empat novel. Kisah hidupnya ia tuangkan dalam novel Mimpi Dunia Lain (2018). Ia menggunakan nama samaran Liu Ban Fo, nama yang diberikan kepadanya oleh keluarga Tionghoa di Sekadau.
NUR ALFIYAH, ASHEANTY PAHLEVI (PONTIANAK)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo