Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETYA Novanto kembali terantuk masalah. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ini dilaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said ke Majelis Kehormatan Dewan karena diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan meminta jatah saham ke PT Freeport Indonesia. Setelah laporan itu, transkrip pembicaraannya dengan Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dan pengusaha Muhammad Riza Chalid beredar luas.
Namun politikus senior Golkar ini membantah menjual nama Presiden dan Wakil Presiden. Menurut dia, pembicaraan meminta saham tidak serius dan tidak layak dipersoalkan. "Itu joke, bercanda biasa," katanya dalam wawancara dengan Budi Setyarso, I Wayan Agus Purnomo, Ayu Prima Sandi, Hussein Abri Yusuf, dan Nur Haryanto dari Tempo di ruang kerjanya di gedung parlemen, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Bagaimana ihwal terjadinya pertemuan itu?
Saya didatangi oleh Maroef Sjamsoeddin di kantor pada 27 April 2015 pukul 14.00 WIB. Maroef memaparkan, hampir dua jam ngobrol. Pertama dijelaskan visi dan misi Freeport, jumlah tenaga kerja, luas lahan Freeport sekian ribu hektare. Dijelaskan secara detail.
Ada permintaan yang khusus?
Maroef bilang membutuhkan divestasi sehingga perlu adanya perpanjangan kontrak. Sebab, kalau tidak diperpanjang, nanti Indonesia terkena arbitrase internasional. Saya kaget juga, kenapa ya? Dia kemudian menjelaskan, Freeport ini perusahaan besar, memberi investasi besar, dan ingin ada kelanjutan operasional sampai 2041. Saya bilang, bukannya perpanjangan ada waktu sampai 2021. "Iya, Pak Nov. Tapi, kalau begini, kami enggak bisa." Lalu dia bilang: "Pak Ketua bisa ngobrol dengan Presiden."
Anda menyampaikan ke Presiden Joko Widodo?
Waktu itu saya jawab oke. Gini deh, ini wewenang eksekutif. Kalau pas saya ada kerja saling mengadakan kunjungan pimpinan dengan Presiden, akan saya sampaikan. Saat saya bertemu dengan Presiden, saya sampaikan bagaimana ini masalah Freeport dan mohon saran karena ada direksinya menanyakan itu.
Apa tanggapan Presiden?
Presiden bilang, "Masih hingga 2021, Pak Ketua." Kelihatannya Presiden ingin Freeport membangun smelter di Papua seperti janjinya. "Di Papua, listriknya belum ada. Pokoknya sesuai dengan aturan dan undang-undang, kalau itu kepentingan untuk bangsa Indonesia, kesejahteraan rakyat, jelas harus dilihat lebih penting, Pak Ketua."
Pertemuan kedua, Anda mengajak pengusaha Muhammad Riza Chalid?
Sebelum bertemu dengan Maroef lagi di Ritz-Carlton, 13 Mei 2015, saya ngobrol-ngobrol di ulang tahun anak saya bersama teman-teman pengusaha, termasuk Muhammad Riza Chalid. Saya bilang, itu Freeport ngomong begitu sensitif masalah arbitrase. Pak Riza mengingatkan, hati-hati lho... ini terlalu baik. Nah, saya ajak dia karena mungkin punya pengalaman sebagai pengusaha. Pas ketemu Maroef, Riza berpesan harus hati-hati terhadap Maroef. Pertemuan berikutnya, Riza sudah punya feeling kurang bagus karena Maroef tanya-tanya sesuatu yang janggal. Ternyata benar, saya di-blackmail.
Motifnya apa Anda merasa di-blackmail, padahal Freeport ingin kontraknya diperpanjang?
Saya juga bingung. Enggak ada niat minta saham, juga enggak ada jual-jual nama Presiden. Hubungan saya dengan Presiden baik. Saya bicara dengan menteri lain juga baik. Ini guyon tapi jadi serius. Ternyata ada jebakan ke diri saya. Saya juga tidak punya persoalan dengan Maroef karena saya baru kenal.
Pertemuan Anda dengan Freeport ini sebagai apa?
Saya tegaskan sebagai pribadi, bukan pemimpin DPR. Saya juga hanya bertiga dalam pertemuan kedua dan ketiga. Dia pasti yang merekam. Siapa lagi? Sebab, enggak ada orang lain. Dia enggak pernah ajak orang. Saya pikir, waduh, saya kembali kena, nih. Kalau begini, saya dijebak.
Apa isi pertemuan ketiga?
Pertemuan terakhir di Ritz-Carlton, 8 Juni 2015, Pak Maroef yang meminta bertemu. Saya mikir bahwa semua sudah dijelaskan, tapi kok minta ketemu lagi. Dia maunya ketemu di Ritz. Kami sudah curiga. Makanya, setelah ngobrol panjang-lebar, kami hati-hati begitu menyinggung divestasi sekian-sekian.
Berapa nilai divestasi yang ditawarkan?
Divestasi itu kalau jumlahnya 30 persen gimana? Kalau 51 persen gimana? Pemerintah maunya 51 persen. Jadi dengan aturan yang ada, saya pikir, kok dia antusias. Maroef menawarkan, "Gimana Pak Riza, ambil saham atau beli saham?" Pak Riza menolak. Dia bilang, "Saya enggak mau. Bukan bidang saya," sambil tangannya menolak. "Saya enggak ada uang segitu besar."
Tapi, dalam transkrip, Anda sangat jelas menyebut Presiden dan Wakil Presiden mengenai persentase saham.
Jadi, pertama, saya tidak mungkin mencatut nama Presiden. Saya pikir Presiden dan Wakil Presiden lambang negara, harus saya jaga dan perhatikan. Yang saya ingat, sepanjang kepentingan bangsa rakyat, apalagi Freeport, tentu Presiden akan melihat kewajiban. Kedua, soal saham, enggak mungkin saya tidak mengerti aturan. Jelas saham ada kode etik di Indonesia ataupun perusahaan di seluruh dunia. Seperti FCPA (Foreign Corrupt Practices Act), saya tahu ada aturan jelas kalau perusahaan asing, apalagi Freeport. Pengeluaran satu juta untuk makan pun harus dipertanggungjawabkan. Apalagi saham, yang juga dikontrol oleh New York Stock Exchange, diteliti sumber uangnya dan belinya di mana. Itu joke... suatu obrolan biasa, canda ringan, tapi Maroef menganggap serius. Seperti soal private jet dan happy, itu juga canda-canda.
Anda berulang kali menyebut nama Luhut B. Pandjaitan.
Ini omong-omong biasa saja. Hubungan Pak Luhut dengan kami semua baik, tapi enggak ada substansi mengenai Freeport. Rekaman itu harus dicek dulu. Banyak rekaman dari awal dan akhir enggak ada. Dipotong dan momen tertentu saja. Menurut pendapat saya, masalah ini sebenarnya sesuatu yang enggak masuk akal. Saya jelaskan betul-betul, saya enggak mengurus perpanjangan, saham, pencatutan. Garansi 1.000 persen.
Apakah ada hubungan bisnis dengan Riza Chalid?
Saya menyadari, selaku Ketua DPR, ada banyak pejabat atau pengusaha yang ingin mencari jalan keluar untuk kepentingan yang lebih jauh, seperti investasi. Pak Riza itu sudah kenal puluhan tahun. Saya tidak pernah dagang sama dia. Dia juga mempunyai teman banyak.
Soal surat katebelece Ketua DPR untuk perusahaan yang disebut-sebut milik anak Riza Chalid ke Pertamina?
Saya tidak tahu. Itu kop suratnya beda. Mau lihat kop suratnya (sambil menunjukkan kop surat Ketua DPR)? Yang jelas, kami enggak pernah mengeluarkan surat itu. (Kepala Bagian Tata Usaha Ketua DPR, Hani Tahapari, mengatakan surat itu palsu karena tidak pernah dikeluarkan oleh Bagian Tata Usaha Ketua DPR. Sebaliknya, Pertamina mengaku menerima surat itu dan membahasnya dalam rapat direksi.)
Apakah akan nonaktif selama penyelidikan Mahkamah Kehormatan Dewan?
Kalau itu, proses kami serahkan ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan). Lembaga itu merupakan garis besar dari DPR. Marwah DPR ada di MKD. MKD sudah menjalankan proses kerja dengan baik.
Anda sepertinya licin dan berkali-kali lolos dari berbagai kasus besar...
Saya pertama kali begini, lho. Saya sembahyang, lalu bicara dengan istri karena bingung. Saya kena apa, selalu ada masalah. Ketemu Donald Trump, masalah juga. Apa karena saya terlalu baik? Memang salah saya itu ingin menolong orang. Yang ada malah kebawa-bawa. Itu saja intinya. Saat mandi pagi tadi, istri saya mengatakan, "Say, kalau gua analisa, lo jangan nolong orang lagi, deh."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo