Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIREKTUR Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto tak menyangka surat dengan kop Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto bakal membikin geger. Saat menerima surat bertanggal 17 Oktober 2015 itu, dia hanya membuat disposisi agar surat tersebut dibahas dalam rapat dewan eksekutif perseroan. Tak ia duga, belakangan surat itu membuat gaduh karena salinannya menyebar ke publik. "Saya kaget juga surat itu menyebar dan sekarang jadi ramai," katanya Kamis pekan lalu.
Salinan surat itu muncul tak lama setelah orang ribut karena beredarnya rekaman pembicaraan Setya dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dan pengusaha Muhammad Riza Chalid. Riza merupakan nama kesohor di kalangan pemain minyak di Indonesia. Dalam rekaman itu, Setya disebut-sebut meminta jatah saham Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Surat Setya Novanto kepada Dwi Soetjipto berisi ihwal pembayaran biaya penyimpanan bahan bakar minyak kepada PT Orbit Terminal Merak. Dalam surat itu, politikus Partai Golkar ini meminta Pertamina membayar biaya penyimpanan. Selama ini, Pertamina menyimpan bahan bakar di Orbit. Setya melampirkan sejumlah dokumen di dalam surat itu. Di antaranya notulen rapat negosiasi awal antara Pertamina dan Orbit, soal penyesuaian kapasitas tangki timbun di Orbit, dan surat review kerja sama pemanfaatan terminal bahan bakar minyak. Dalam surat itu, Setya ingin Dwi membantu dalam adendum antara Pertamina dan Orbit.
Setya menyatakan tidak tahu ihwal surat tersebut. Menurut dia, kop surat yang beredar itu berbeda dengan kop surat Ketua DPR. Itulah sebabnya Setya berkukuh tidak pernah punya urusan dengan surat yang beredar tersebut. "Kami enggak pernah menjelaskan surat itu," kata Setya. Meski Setya menampik, surat itu tetap membuka hubungan antara dia dan orang paling penting di dalam Orbit. Seseorang yang mengetahui hal-ihwal Orbit menyebutkan perusahaan ini milik Riza Chalid, yang dikelola anaknya yang berusia 29 tahun bernama Muhammad Kerry Adrianto Riza.
Seorang pejabat yang mengetahui transaksi Pertamina itu mengatakan surat Setya Novanto muncul karena kebijakan manajemen baru yang memangkas privilese yang sebelumnya diperoleh Orbit. Menurut dia, perseroan seperti "terpaksa" menggunakan fasilitas tangki milik Orbit. "Padahal Pertamina punya fasilitas sejenis yang lokasinya berdekatan," ujarnya. "Tarif yang dikenakan juga mahal."
Merasa tidak lagi mendapat kemudahan, pemilik Orbit meminta Setya turun tangan membantu melobi direksi Pertamina. "Makanya keluar surat agar tagihan itu dibayarkan dan Pertamina kembali menggunakan fasilitas Orbit," kata pejabat tersebut.
Sejumlah karyawan Pertamina mengatakan, tak lama setelah terbit surat katebelece dari Setya, Kerry beberapa kali berusaha menemui Dwi di kantornya di Gedung Pusat Pertamina di Jakarta. Dwi menyatakan tidak tahu Kerry berusaha menemuinya. "Saya belum pernah ketemu dia dan tidak kenal dia," ujar Dwi.
Menurut Dwi, perihal terminal penyimpanan di Merak ini memang menjadi perhatiannya sejak awal menduduki posisi direktur utama pada akhir November tahun lalu. "Saya tahu dari majalah Tempo yang memberitakan ini," kata Dwi. Terminal minyak ini semula dimiliki PT Oiltanking Nusantara Persada. Pada awal Agustus tahun lalu, terminal itu dibeli Orbit. Direktur Oiltanking Nusantara Persada Coenraad D. Huebner mengatakan terminal dijual karena selama ini volume tangki yang terpakai tak memenuhi skala usahanya.
Terminal berkapasitas 288 ribu kiloliter itu semula dibangun untuk melayani para importir bahan bakar minyak. Terminal yang beroperasi sejak 2009 ini dibuat dengan perkiraan pasar bahan bakar minyak nonsubsidi di Indonesia akan terbuka. "Namun, karena subsidi BBM dan perkembangan pasar lainnya, kami tidak bisa memenuhi volume ini dan tidak bisa memenuhi model bisnis Oiltanking," ujar Huebner dalam surat elektroniknya kepada Tempo, Desember tahun lalu.
Setya Novanto menyatakan memang berkawan dengan Riza Chalid. Ia biasa menggunakan sebutan "Moh Riza". Setya mengakui telah mengenal Riza sejak puluhan tahun lalu. "Tapi saya tidak pernah berdagang sama dia," katanya.
Kedekatan Setya dengan Riza juga terlihat dalam cawe-cawe kasus PT Victoria Securities Indonesia melawan PT Adyaesta Ciptatama milik Johnny Wijaya. Pada pertengahan Agustus lalu, Victoria digeledah tim satuan tugas pemberantasan korupsi bentukan Kejaksaan Agung, yang menurut Setya tidak menunjukkan identitas dan surat perintah penggeledahan. Kasus ini bermula dari penjualan hak tagih atau pengalihan piutang (cessie) senilai sekitar Rp 6 triliun pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Setya menggelar rapat pimpinan DPR dengan Kejaksaan Agung ihwal ini.
Pihak Adyaesta menuding, sejak perkara diambil alih Kejaksaan Agung pada 7 April 2015, Victoria bergerilya ke sejumlah pejabat negara, di antaranya Setya. Selanjutnya, Setya melibatkan Riza Chalid. Tapi Setya menyatakan "tak ikut-ikutan mengurus Victoria".
Tempo mendatangi rumah Riza Chalid, yang sesuai dengan sejumlah dokumen resmi beralamat di Jalan Bango Raya, Cilandak, Jakarta Selatan, pada Rabu pekan lalu. Ada tiga rumah berdampingan milik Riza, yaitu rumah bernomor 14, 16, dan 17. Penomoran rumah di tempat ini tidak berurutan dengan baik. Rumah Riza berada di Rukun Tetangga 06, Rukun Warga 03, Kelurahan Pondok Labu, Cilandak. Seorang penjaga rumah bernama Yono memastikan tiga rumah itu milik Riza. "Pak Riza sudah lama sekali tidak ke rumah ini," ujarnya.
Surat permohonan wawancara dan pertanyaan tertulis sudah diterima Yono. Namun, hingga Jumat pekan lalu, tidak ada jawaban dari Riza. Ketua RT setempat, Herman, memastikan Riza Chalid memang penduduk di situ dan menempati rumah tersebut. Menurut Herman, Riza orang yang sibuk sehingga jarang bersosialisasi dengan tetangga kanan-kiri rumah. "Saya juga bertemu ketika Pak Riza menyerahkan hewan kurban," katanya.
Tempo juga menyambangi kantor PT Orbit Terminal Merak di Lingkungan Sekong, Kelurahan Lebak Gede, Kecamatan Pulomerak, Kota Cilegon. Papan nama bertulisan nama perusahaan itu terpampang di dekat gerbang masuk kawasan tersebut. Pada papan nama, ada keterangan yang menunjukkan lokasi itu merupakan obyek vital nasional dan digunakan Pertamina. Martono, pegawai di sana, menyatakan mendapat perintah dari atasannya untuk diam ihwal beredarnya surat dari Setya yang menyebut perusahaan itu. "Saya tidak bisa memberikan keterangan apa pun," ujarnya.
Sunudyantoro, Arief Hidayat, Wayan Agus Purnomo (Jakarta), Wasi'ul Ulum (Cilegon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo