Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURYA Paloh tak pernah jauh dari pusat kekuasaan. Sejak Orde Baru hingga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang baru saja berakhir, lelaki 63 tahun ini selalu dalam orbit elite pemerintahan. Kini, di awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Surya menempatkan fungsionaris Partai NasDem yang ia pimpin ke posisi-posisi kunci Kabinet Kerja.
Pekan lalu, Presiden bahkan menunjuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari NasDem, Prasetyo, sebagai Jaksa Agung. Partai yang belum lima tahun berdiri ini sebelumnya memperoleh kursi Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk Siti Nurbaya, Menteri Agraria dan Tata Ruang buat Ferry Mursyidan Baldan, serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, yang diisi Laksamana Purnawirawan Tedjo Edhy Purdijatno.
Pemilik Media Group ini juga tampil sebagai jembatan bisnis perusahaan minyak Angola, Sonangol EP. Menggandeng kawan lamanya, Sam Pa, pengusaha asal Cina yang memiliki saham Sonangol, Surya merintis impor minyak dari perusahaan itu. Pada 2009, Surya Energi milik Surya Paloh mendapatkan pinjaman modal dari China Sonangol International Holding Ltd. Anak usaha Sonangol EP tersebut menyuntikkan dana US$ 200 juta ke Surya Energi untuk menggarap ladang minyak Blok Cepu di Jawa Timur.
Kepada Agustina Widiarsi, Jajang Jamaludin, Gustidha Budiartie, dan Riky Ferdianto dari Tempo, Surya mengklaim melakukan semuanya "demi bangsa". Ia menyatakan tidak mengejar imbalan dari kerja sama bisnis itu. Di ruang kerjanya di kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu, Surya blakblakan menjelaskan posisinya dalam pemerintahan Jokowi. Selama hampir dua jam wawancara, ia didampingi Direktur Utama Surya Energi Rerie L. Moerdijat.
Benarkah Anda membawa Sonangol ke Presiden Jokowi?
Itu hanya sedikit saran untuk kepentingan nasional tanpa embel-embel. Saya tahu banyak yang tak percaya, tapi itu terserah mereka. Niat saya bukan mau jadi pedagang minyak dan cari komisi. Sontoloyo kalau itu.
Apa keinginan Anda?
Saya melihat kedua negara bisa bekerja sama. Angola jumlah penduduknya kecil dan produksi minyaknya tinggi. Indonesia jumlah penduduknya besar dengan kebutuhan minyak tinggi. Posisinya juga net importer. Mereka Presiden OPEC. Kenapa Pertamina dan Sonangol EP tidak bekerja sama saja? Apa salahnya berpikir inovatif?
Apa yang Anda diskusikan dengan Presiden?
Itu pembicaraan sudah lama, sebelum pelantikan, soal bagaimana negeri ini harus membangun infrastruktur. Singapura tidak memproduksi minyak, tapi kita punya ketergantungan refinery dari mereka. Kita yang berproduksi, walaupun sedikit, tidak punya alat refinery. Kilang kita sudah tua. Ini memang jadi grey area dan sudah pasti ada kepentingan.
Perlu dicatat, Pertamina sudah pernah menjajaki peluang kerja sama dengan Sonangol, di bawah Karen Agustiawan, karena ada keinginan untuk eksplorasi di luar. Tapi itu tak berhasil. Kebetulan saya punya kawan di situ, maka saya mencoba mempertemukan. Bisa enggak dicoba dengan diskon di luar harga? Memang enggak bisa gembar-gembor, karena itu bisa kena sanksi internasional. Saya jadi serba salah, sementara negeri saya butuh penghematan.
Sudah lama berkawan dengan Sam Pa?
Sudah belasan tahun. Saya punya banyak kawan investor besar kelas dunia. Saya kan sudah 40 tahun jadi pengusaha. Saya kenal Sam Pa di Singapura, sama-sama gunting rambut.
Anda meminta bantuan Sam Pa?
Ya, dan tidak gampang meyakinkan dia. Meski berkawan, dia punya hitung-hitungan sendiri. Tentu dia melihat jejak saya dan cek ke mana-mana. Sejak Agustus lalu, saya telepon dia, lalu bertemu di Jakarta, Bali, dan Singapura. Berulang kali untuk meyakinkan dia soal komitmen pemerintah baru.
Akhirnya Sam Pa mau?
Mungkin agak gila juga, karena alasannya ideologis. Dia ingin melihat Indonesia dengan independensi yang lebih kokoh, tidak bergantung pada satu poros yang disebut neolib.
Reputasi internasional Sam Pa tidak cukup bagus….
Saya kenal Sam Pa sebagai orang jenaka, pintar, dan lucu. Saya tahu media internasional menggunjingkan dia. Itu suka-suka mereka. Saya tahu Amerika enggak suka dia, tapi dia punya properti di Wall Street dengan bendera Sonangol berkibar di situ. Saya heran Amerika, yang enggak suka, tetap memberi karpet merah.
Anda mempertemukan Sam Pa dengan Jokowi. Apa yang diminta Sam Pa?
Enggak ada, kecuali harapan akan konsistensi. Saya melihat apresiasi setelah pertemuan dengan Presiden sangat positif. Sempat saya ingatkan dia, kalau ketemu Pak Jokowi, tolong bicaranya agak pelan. Sam Pa bicaranya cepat sekali. Setelah kerja sama ditandatangani kedua negara, kami tak ikutan lagi. Saya sempat menggoda Pak Jokowi, kalau ini berjalan bagus, jangan lupa suatu ketika berilah tanda jasa kepada saya, karena saya ikhlas, tidak ikut berdagang. Dia ketawa.
Bukankah "tak ada makan siang gratis"?
Saya sudah terlalu kenyang dengan makan siang. Lagi pula saya sudah tua dan bukan orang papa. Saya beruntung punya segala fasilitas dan sudah diberi banyak oleh negeri ini. Giliran saya memberi untuk Indonesia.
Dalam pemerintahan baru, partai Anda memperoleh posisi-posisi kunci….
Saya tak pernah memberikan rekomendasi kepada semuanya. Itu Pak Jokowi sepenuhnya yang melihat. Saya memang pernah berbicara tentang siapa saja yang menonjol di partai ini, tapi tak pernah spesifik membicarakan bagaimana kalau posisi ini ditempati orang ini, si A atau Si B. Saya paham konsekuensi koalisi tanpa syarat. Jangan neko-neko. Saya tak mau dikira tidak konsisten.
Surya Paloh tampaknya mendapat banyak.
Itu di luar pemikiran saya. Saat ini saya hanya ingin menegaskan kepada kawan-kawan saya yang mendapat amanah di kabinet: jalankan tugas sebagai pejabat publik, bukan partai. Mereka harus loyal kepada Presiden, bukan kepada Surya Paloh. Saya sampaikan ke mereka yang jadi menteri: berhenti dari fungsionaris partai.
Anda mengusulkan Prasetyo sebagai Jaksa Agung?
Sebenarnya bukan usul. Itu muncul dari sebuah diskusi saja. Saya memang ditanya Presiden, apa ada kader NasDem yang bisa direkomendasikan untuk Jaksa Agung. Saya pikir itu pertanyaan biasa, dan saya tak menyatakan itu Prasetyo. Itu juga jauh sebelum pembentukan kabinet. Waktu itu saya menjawab, di NasDem, ada dua atau tiga mantan Jaksa Agung Muda. Seingat saya, kebetulan Prasetyo orang Jawa Tengah.
Apa kelebihan Prasetyo?
Saya subyektif, karena dia kader NasDem. Saya hanya melihat jejaknya yang tak perlu saya ragukan. Sejumlah kasus besar pernah dia selesaikan. Amrozi (terpidana mati kasus bom Bali 2002), misalnya. Masyarakat juga tak gampang lupa dengan itu. Dia profesional dan pensiun dengan biasa-biasa saja. Dia memang bukan tampang orang yang suka disorot, tapi punya kesungguhan untuk tugas.
Bagaimana Anda meyakinkan Jokowi, mengingat untuk posisi Jaksa Agung pesaingnya banyak?
Saya orang lama, referensi saya terbatas. Dulu saya kenal Ali Said, Ismail Saleh, Sukarton. Juga sejumlah Jaksa Agung lain, seperti Baharuddin Lopa. Sekarang kenapa tidak dilahirkan orang-orang besar lagi? Saya berharap ada orang yang punya kemauan dan jelas referensinya. Korps kejaksaan bisa menjadi lembaga kuat dibanding kepolisian dan KPK….
Jaksa Agung menambah perolehan NasDem di kabinet Jokowi.
Sejak awal, kami bergabung dalam koalisi tidak dengan target. Kami tahu diri. Komitmen kami adalah bagaimana pemerintahan Jokowi bisa berjalan efektif dan mereka yang mendapat amanah di kabinet menjalankan tugas sebaik-baiknya. Kami hargai hak prerogatif Presiden.
Anda tampaknya berkuasa sekali?
Enggaklah. Saya bukan orang yang punya kuasa. Apa yang kami lakukan sebatas memberikan sesuatu untuk bangsa ini. Kami memulainya dengan niat bagus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo