Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOEDIRMAN adalah seorang perokok kelas berat. Ia merokok sejak remaja. Rokok kreteknya tak bermerek, tingwe alias nglinthing dewe yang artinya meramu sendiri. Sepulang bergerilya, kondisi kesehatan Soedirman memburuk.
Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman, ingat cerita ibunya, Siti Alfiah, bagaimana saat sakit bapaknya tetap ingin merokok.
"Bapak dipaksa berhenti merokok oleh dokter. Karena tak bisa benar-benar meninggalkan rokok, Bapak meminta Ibu merokok dan meniupkan asap ke mukanya."
Soedirman memang begitu sayang kepada istrinya. Menurut Teguh, ibunya pernah bercerita bagaimana bapaknya tergolong teliti untuk urusan kosmetik dan busana. "Bapak selalu memilihkan bedak dan busana untuk Ibu. Ibu tinggal mengenakan," ujar Teguh. Bapaknya ternyata juga suka menjaga penampilan agar rapi dan berwibawa, terutama saat berpidato.
Ibunya sekali waktu bercerita, pernah saat Soedirman berpidato, ia merasa cemburu. Soedirman saat itu berpidato di hadapan putri-putri Keraton Solo. Mereka terlihat kagum pada penampilannya yang besus atau selalu rapi. Selesai pidato, Alfiah berseloroh, "Kamu senang, ya? Kalau begitu mau lagi?" Soedirman langsung menjawab, "Ya tidak, kan aku sudah punya kamu."
Kisah asmara Soedirman dan Alfiah dimulai di Perkumpulan Wiworo Tomo, Cila-cap. Soedirman tersohor sebagai pemain sepak bola dan pemain tonil atau teater. Tatkala menjadi ketua, Soedirman memilih Alfiah sebagai bendahara Perkumpulan. Salah seorang teman Soedirman, menurut Teguh, bercerita, banyak pemuda naksir kepada ibunya tapi tak berani mendekati karena segan kepada sang ayah.
Gosip Soedirman menaksir Alfiah, kata Teguh, bermula dari kebiasaan Soedirman berkunjung ke rumah Sastroatmo-djo, orang tua Alfiah. Silaturahmi itu berkedok koordinasi internal Muhammadiyah. Kala itu Soedirman termasuk pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Adapun orang tua Alfiah pengurus Muhammadiyah.
Menurut Teguh, paman ibunya yang bernama Haji Mukmin, saudagar pemilik hotel, sesungguhnya tidak setuju terhadap perkawinan mereka. Mukmin berkeras Alfiah harus mendapatkan suami dari kalangan orang kaya. Adapun Soedirman anak ajudan wedana, yang bergaji kecil. "Akhirnya, menurut Ibu, semua ongkos pernikahan diam-diam disiapkan Nenek. Strategi itu agar Bapak tidak disepelekan keluarga besar Kakek."
Sikap Haji Mukmin berubah setelah Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar. Ketika diarak ke Cilacap, dia melihat pamannya itu berdiri di pinggir jalan. Soedirman menghentikan mobil, lalu mengajaknya masuk ke mobil.
Pada Ahad pagi, 29 Januari 1950, setelah lama terkulai lemas sejak Oktober di rumah peristirahatan tentara di Magelang, mendadak wajah Soedirman tampak cerah. "Waktu itu, menurut Ibu, tiba-tiba terdengar suara kaleng dan botol pecah mendadak. Bersamaan dengan itu, bendera di halaman melorot setengah tiang. Sampai Ibu bilang ke beberapa pengawal, 'Ah, itu hanya angin'."
Setelah salat magrib, sebagaimana didengar dari Alfiah, Soedirman memanggil istrinya ke kamar. Di dalam, dia berkata, "Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil." Alfiah menuntunnya mengucap Laa Ilaha Illallah, dan Soedirman mengembuskan napas terakhir.
Setelah 47 tahun berpisah, Alfiah bermimpi naik ke pelaminan bersanding dengan Soedirman. Menurut Teguh, ibunya bercerita, baju yang dipakai saat bersanding itu persis sama dengan baju ketika keduanya menikah di Tambakrejo, Cilacap. 'Guh, tadi malam aku mimpi menikah sama bapakmu. Ada apa, ya?'," ujar Teguh.
Satu bulan kemudian, tepatnya 22 Agustus 1997, Alfiah meninggal dan dimakamkan di samping pusara Soedirman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo