Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAMAT sudah cerita perburuan selama empat tahun itu. Setelah mengintai selama sepekan dan mengepung rapat selama sehari, akhirnya polisi memastikan Dr Azahari bin Husin, 48 tahun, buron nomor wahid polisi itu, tewas dalam penyergapan berdarah di Batu, Jawa Timur, Rabu pekan lalu. Kematiannya mencengangkan banyak orang. Selama ini tokoh yang masuk daftar buron top polisi itu nyaris seperti bayangan tak berwujud.
Sudah lama poster bergambar wajahnya menyebar di penjuru negeri. Tapi Azahari dan sohibnya, Noor Din M. Top, yang disebut-sebut duo penebar teror bom itu, bermain lihai. Berkali-kali ia lolos dari penyergapan tim polisi antiteror. Biasanya, begitu tiba di sasaran, petugas hanya menemui bekas tapak kaki mereka. Selebihnya, yang dibetot adalah pemilik rumah kontrakan, atau kurir, kerabat atau teman, dan sejenisnya.
Tapi, perburuan kali ini agak lebih terang. Sepekan sebelum hari penyergapan, polisi sudah mengendus jejak Azahari di Perumahan Flamboyan, Jalan Flamboyan Raya Nomor 7, Batu, Jawa Timur. Kawasan berhawa sejuk yang dikitari belantara pinus di kaki lembah Gunung Panderman itu rupanya bukan pilihan yang terlalu bagus buat tempat sembunyi musuh polisi nomor satu tersebut.
Seorang perwira di Detasemen 88 Antiteror Mabes Polri mengatakan kawasan itu sudah tercium oleh polisi. Awalnya, mereka belum begitu pasti Azahari berada di dalam rumah tipe 36 itu bersama dua orang pengawal. ”Kami baru yakin setelah menguntit Achmad Cholili, salah satu penghuni rumah,” ujar perwira itu.
Dua hari sebelum penyergapan, polisi membuntuti Cholili, yang pergi meninggalkan rumah itu menuju Semarang. Informasi intelijen menyebutkan dia adalah kurir Noor Din M. Top, yang saat itu diduga sedang berada di Semarang. Polisi lalu membekuknya di kawasan Genuk, perbatasan Semarang dan Demak, persis di dekat Terminal Terboyo.
Saat disergap, Cholili yang berbadan kurus itu melawan. Dia mencoba kabur ke kawasan padat penduduk. Polisi memburunya sambil menodongkan senjata. Tapi anak muda ceking itu malah memutarkan ranselnya dari punggung ke bagian dada. Ransel itu dalam keadaan terbuka. Di dalamnya terlihat jelas bom rakitan. ”Maksudnya, kalau dia ditembak, semua bisa kena,” ujar sang perwira. Tapi polisi tak surut. Cholili diancam bakal ditembak kepalanya. Nyalinya pun ciut. Dia akhirnya angkat tangan.
Begitu diperiksa, warga Jodipan, Blimbing, Malang, itu mengaku Azahari berada di Perumahan Flamboyan, Batu. Maka, lepas tengah hari, anggota grup Detasemen 88 memperketat pengepungan. Laras pistol dan senapan polisi mengarah ke rumah itu. Kepada wartawan, seorang tetangga mengatakan melihat pasukan berbaju hitam merayap di atas atap genteng. Mereka semua penembak jitu.
Selanjutnya adalah drama: letusan demi letusan terdengar, bau mesiu meruap di mana-mana.
Seorang warga, Handri Kartiono, 37 tahun, penghuni rumah nomor 9, sekitar pukul tiga sore melihat jalan masuk ke rumahnya diblokade dua mobil. Setengah jam kemudian, terdengar teriakan polisi meminta penghuni rumah nomor 7 keluar menyerahkan diri. Tapi dia tak menyangka ini penyergapan gembong teroris. ”Kami mengira penggerebekan biasa,” ujarnya. Sepuluh menit kemudian terdengar kontak senjata, berbalas-balasan.
Seorang perwira polisi antiteror bercerita, mereka belum tahu siapa dan apa saja isi rumah itu. Ketika polisi mau menggebrak masuk, tiba-tiba melesat tembakan dari arah dalam. Seorang polisi, Brigadir Choirudin, tersungkur. Betisnya terkena peluru. Kata warga yang menyaksikan adegan itu, Choirudin berteriak kesakitan sambil membalas tembakan ke arah dalam. Saat itulah pengepungan kian ketat. Penembak jitu dikerahkan di setiap sudut. Para tetangga diperintahkan menyingkir.
Menurut Handri, terjadi satu kali ledakan sangat kuat. Dinding rumah sekitar bergetar. Polisi lalu mematikan aliran listrik. Sampai pukul setengah enam sore, warga dilarang keluar rumah. Dia mendengar ledakan sampai 11 kali dari dalam rumah itu. Drama baru berakhir pukul setengah enam. Masih terdengar satu-dua kali letusan. Lalu berhenti. ”Baru warga boleh keluar,” ujarnya. Dari luar, tampak atap rumah ambruk. Asap putih keluar dari celah-celahnya.
Kata polisi, sampai menjelang magrib tak ada balasan tembakan dari dalam. Diduga, satu bom yang meledak di dalam rumah telah menewaskan penghuninya. Tapi polisi belum berani masuk. Dilaporkan, masih banyak jebakan bom. Sampai malam turun, polisi hanya berjaga di luar. Tapi kabar bahwa yang tewas adalah Azahari sudah santer ke seluruh jagat. Kepala Polri Jenderal Sutanto, yang tiba di lokasi sore hari, juga mengatakan sangat mungkin Dr Azahari bin Husin tewas di dalam rumah itu.
BESOKNYA baru segalanya semakin terang. Dengan mengerahkan penjinak bom, polisi masuk dan menyisir rumah itu. Dua tubuh tak bernyawa tergeletak di sana. Satu mayat dalam posisi tengkurap dengan tangan terangkat. Di tangannya tergenggam picu bom dari kabel yang melilit dari bahu kanan dan kiri. Di punggungnya terikat sabuk hitam dengan rompi khusus tempat bom. Belakangan diketahui, campuran bom itu adalah serbuk hitam, TNT, dan gotri. ”Ini bom mematikan,” kata petugas itu.
Mayat itu berkulit putih dengan rambut ikal. Umurnya sekitar 30-40 tahun. Mayat inilah yang diduga kuat Azahari. Meski sudah berdiam satu malam, ”Mayatnya belum berbau,” ujar perwira itu. Di dadanya ada tiga bekas luka tembak. Sedangkan satu mayat lainnya hancur. Belakangan diketahui, mayat itu adalah Arman, asisten Azahari. Bagian bawah tubuhnya sampai kaki hancur. Ususnya terburai. Kata polisi, mungkin dia meledakkan diri karena panik melihat Azahari tewas tertembak dan rumah sudah terkepung rapat.
Menurut Kepala Polri Jenderal Sutanto, identitas Azahari dipastikan dari sidik jari. Dari Malaysia, polisi sudah mendapat data dua cap jempol Azahari saat dia berumur 12 tahun. Lalu ada juga data rekaman sidik jari dari Mabes Polri saat Azahari masuk ke Indonesia. Data ini lebih lengkap, sepuluh jari terekam sempurna. Setelah dicocokkan dengan jari mayat itu, ternyata klop semua. ”Karena itu, kita yakin dia Azahari,” ujar Sutanto. Tak salah lagi, Azahari telah tamat.
Di kamar tempat mayat Azahari ditemukan, ada sekitar 30 bom aktif dengan rangkaian sirkuit kabel yang dikemas dalam wadah plastik. Tiga monitor komputer hangus. Tapi tak ditemukan senjata M-16 dan AK-47 seperti yang digembar-gemborkan polisi sebelumnya. ”Hanya ada sepucuk pistol FN,” ujar seorang perwira. Beberapa pak kartu telepon seluler tercecer di lantai. Ada sandal gunung, pakaian, dan bingkai kacamata hitam.
Rumah mungil itu hancur. Temboknya roboh. Atapnya runtuh dan gentengnya pecah berserakan. Pintu dan jendela jebol, engselnya terlempar ke jalan. Di dinding ruang tamu, bercak darah bercipratan ke tembok. Di lantai, berceceran potongan tubuh dan serpihan daging manusia.
Target polisi berikutnya mengejar Noor Din M. Top. Sebetulnya dia nyaris dibetot di Semarang. Pengejaran Noor Din dilakukan polisi dengan mengaduk-aduk jejaknya di Jawa Tengah setelah membekuk Achmad Cholili di sana. Dia ternyata kurir yang mengirim bom rakitan Azahari ke Noor Din. Selain Cholili, polisi menahan Tomi Mursito. Sejumlah nama, tampaknya mereka kader baru, menguber Dwi Widiyarto, 33 tahun, dan Anif Solchanudin, 24 tahun (lihat, Empat Pelindung Azahari).
Di mata polisi, Noor Din rupanya tak begitu berbahaya seperti Azahari. Dia tak bisa merakit atau meracik bom. Noor Din adalah spesialis perekrut kader baru. Dia juga dituduh sebagai ”promotor” bom bunuh diri. ”Dia agak ’jorok’, sembrono dalam penghilangan jejak,” ujar perwira itu. Ada anggapan, dia lebih mudah ditekuk.
TAPI, mengapa Azahari tersandung di Batu? Seorang bekas aktivis Jamaah Islamiyah di Jawa Tengah yang pernah menjadi ”guru” bagi Azahari di Johor, Malaysia, mengatakan gerak lelaki yang dijuluki ”Doktor Bom” itu sudah semakin sulit. Soalnya, aksi bom bunuh diri yang mengakibatkan warga sipil tak berdosa tewas juga dikecam banyak kelompok gerakan di garis mereka.
Selama ini, kata sumber itu, kelompok Azahari nyaris tak punya banyak kawan. Biasanya, kelompok Azahari memakai banyak rumah jaringan Jamaah Islamiyah untuk persembunyiannya. Misalnya, setelah bom Bali I, Azahari dan kawan-kawannya masih ”ditolong” para sohibnya dengan alasan solidaritas bekas Jamaah Islamiyah. Rupanya, tidak semuanya setuju dengan cara jihad Azahari. Setelah anggota JI terceraiberai, mencari tempat sembunyi kian sulit.
Spektrum gerakan radikal Islam itu pun beragam. Misalnya, Azahari pernah ditolak oleh Abdullah Sonata, 27 tahun, seorang pendukung gerakan radikal yang sudah ditangkap polisi Juli lalu, gara-gara mengirimkan orang untuk berlatih gerakan bersenjata di Moro Islamic Liberation Front, Filipina Selatan. Sonata tak setuju dengan gaya jihad Azahari dan Noor Din yang melakukan aksi serangan bunuh diri di luar daerah konflik.
Dalam pemeriksaan polisi, banyak saksi mengatakan Sonata menolak bekerja sama dengan Noor Din dan Azahari. Inilah yang menyulitkan Azahari bergerak lebih leluasa. Ruang geraknya kian terbatas, sumber daya juga kian sulit. Menurut sumber tokoh JI itu, sebenarnya semua kader JI punya cara khusus untuk bisa bertahan dalam pengejaran.
Dia mengatakan, setiap jalur yang akan dilewati setidaknya menyiapkan empat struktur yang dikerjakan oleh kelompok yang tak saling mengenal. Misalnya, kelompok pertama bekerja untuk struktur transportasi. Yang kedua menyiapkan akomodasi. Sedangkan ketiga menyiapkan struktur logistik dan uang. Sedangkan kelompok terakhir adalah kurir, yang menghubungkan semua struktur tanpa harus bertemu langsung. Namun, belakangan ini tak semua fungsi itu tersedia. ”Selain orangnya makin sedikit, sumber dana juga tidak jelas,” ujar sumber itu.
Sumber itu mengatakan, itu sebabnya Noor Din sekarang menggunakan banyak kader baru. Tapi, sayangnya, mereka masih mentah. Setidaknya, kader baru itu tak pernah mendapat pendidikan di kamp militer seperti Filipina Selatan atau Afganistan. ”Mereka juga kurang waspada,” ujarnya. Meskipun begitu, kader baru punya loyalitas dan militansi besar. Mereka juga tak gampang berkhianat, karena terikat sumpah.
Di Batu, misalnya, mereka menggunakan strategi ”penaklukan sosial”. Ini salah satu cara kamuflase. Misalnya, kata tetangga setempat, mereka tak pernah melihat sosok Azahari di rumah Jalan Flamboyan. Arman, yang juga tewas, dikenal memakai nama Budi. ”Kami mengenal wajahnya dari koran,” ujar Anil Warman, warga yang tinggal hanya sepuluh meter dari rumah itu. Wajah Arman dan Azahari setelah tewas memang dimuat di koran lokal. Begitu juga Yahya Antoni. Nama itu tak lain milik Achmad Cholili, yang dibekuk di Semarang. Keduanya, kata Anil, bersikap baik dan ramah kepada tetangga. Mereka berdua mengaku mahasiswa.
Masih menurut sumber itu, sebenarnya ada rencana lain dari Azahari dan Noor Din. Pada hari kedua Lebaran, jaringan itu menggelar ”pertemuan Syawal” di sekitar Jawa Barat. Azahari tak hadir, entah mengapa, dia bergerak ke Malang. Tapi Noor Din hadir pada pertemuan itu. Isinya, kedua orang ini sepakat menyerahkan diri dan menghentikan semua aksi peledakan bom. Tapi, kepada pemerintah, mereka meminta syarat. ”Antara lain, jangan ada lagi penangkapan orang tak bersalah,” ujar sumber itu.
Bekas Kepala Badan Intelijen Negara, A.M. Hendropriyono, mengaku sudah mendengar juga rencana itu. ”Dia mau menyerah karena sudah terjepit,” ujar Hendro kepada Hanibal W.Y.W. dari Tempo. Menurut dia, itu bukti gerakan Azahari sebenarnya sudah mulai rontok. Tapi mereka masih tetap berbahaya karena menguasai alat peledak. Sekian banyak pendukungnya sudah tertangkap, yang sudah bebas pun kini terus dipantau petugas.
Tentu niat menghentikan kekerasan dan menyerah itu baik. Tapi, sayangnya, Azahari toh memilih tetap meracik bom itu lagi. Dia memilih Batu. Kali ini ia tersandung dan tamat.
Nezar Patria, Wahyu Muryadi, Kukuh S. Wibowo, Bibin Bintariadi, Adi Mawardi (Batu), Imron Rosyid (Solo), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo