Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Njeng Pangeran Dipati Mangkunagara Nindhihi ing ajurit Mangamuk anyakra gandewanya lir kilat...
Tarian itu menampilkan tujuh prajurit pria membawa trisula dan busur. Berblangkon, mereka mengenakan selempang di dada, kalung, pelat bahu. Mereka berbelit kain Dodot Alas-alasan hitam—lambang tolak bala—bermotif penyu, burung, pepohonan yang disepuh warna prada emas.
Pola koreografi tujuh tamtama itu berubah terus. Tiga prajurit pembawa trisula mula-mula berada di tengah, sementara di samping kanan kiri para prajurit yang membawa gandewa. Lalu semuanya bergerak melingkar, hingga akhirnya terbentuklah dua garis sejajar. Tombak itu diarahkan ke depan. Panah seolah siap ditarik....
Lebih dari seratus atau dua ratus tahun lalu, tarian itu pernah ada di lingkungan Pura Mangkunegaran, tapi tak seorang pun tahu seperti apa bentuk tarian malam itu. Mungkin mirip, mungkin bisa berbeda sama sekali. Mungkin lebih mistis, atau bisa jadi tarian ditampilkan lebih gagah seperti bunyi tembang di atas yang melukiskan bagaimana sang pangeran mengamuk ke semua arah, gandewa berkelebat bagai kilat. Mungkin para prajurit tak hanya membawa busur dan tombak, tapi juga gada, tameng....
Semua hanya spekulasi. Satu-satunya ”saksi mata” yang pernah melihat tarian itu seabad-dua abad lalu adalah Kiai Kanyut Mesem, ensembel gamelan tua yang sehari-hari berada di pendapa Mangkunegaran. Gamelan tersebut diyakini dibuat pada 1750-an dan telah mengiringi segala tarian sakral di Mangkunegaran. Kini malam itu sang gamelan (bersama Kiai Udan Arum) ”kembali” mengiringi.
Hujan mengguyur Solo sebelum pertunjukan. Udara dingin menusuk pendapa Mangkunegaran. Selama 30 menit, Dirodo Meto disajikan di hadapan undangan, termasuk para donatur seperti Martin Gray King dari Sampoerna dan Iwan Tirta, yang mendesain kostum. Terlihat kebanyakan penonton ber-usaha mereka-reka yang disajikan tarian itu.
Inilah salah acara utama memperingati 250 tahun Pura Mangkunegaran. Membangkitkan tari yang sudah punah ciptaan pendiri Mangkunegaran: RM Said atau Mangkunegara I (1725–1795). Disebut punah karena sudah seratus tahun tidak pernah ditarikan dan sedikit sekali acuan yang tersedia.
RM Said adalah seorang pangeran yang mendapat julukan Lelana Handon Yuda, seorang lelaki yang berkelana terus-menerus melakukan pertempuran. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia paling sukar tunduk kepada kumpeni.
Ia tak mau kompromi, hidupnya berpindah dari hutan ke hutan, bergerilya menggunakan taktik menghindar-menyerang. Ia bentrok dengan penguasa Keraton Yogya, Hamengku Buwono I (P. Mangkubumi) yang merupakan mertuanya sendiri dan Paku Buwono II , Raja Keraton Solo. Keduanya dianggapnya kooperatif dengan Belanda.
Untuk mengenang pertempuran-pertempurannya, dibantu dua empu: Kiai Kidang Wulung yang merupakan ahli tari dan Demang Seca Karma, ahli karawitan, ia mencipta tiga tarian. Pertama, Bedhaya Anglir Mendung, yang merupakan kenangannya atas pertempuran di Ponorogo 1752 yang menewaskan 600 prajurit Mangkubumi. Bedhaya Anglir Mendung ini sering disebut Bedhaya Ketawang Alit, sementara Bedhaya Ketawang yang ada di Keraton Solo adalah Bedhaya Ketawang Ageng.
Seluruh penari, pesinden, dan penabuh Anglir Mendhung adalah perempuan. Jumlahnya masing-masing tujuh orang. Mungkin ini dibuat untuk menghormati laskar perempuannya. RM Said terkenal memiliki legiun prajurit estri yang dinamakan Pasukan Ladrang Mangungkung dan Jayeng Rasta.
Kedua, Bedhaya Dirodo Meto (Gajah Mengamuk). Ini untuk mengenang perang di Rembang pada 1756. Pada usia 30 tahun di hutan Sitakepyak, Rembang, RM Said dikejar oleh gabungan dari dua detasemen kumpeni, pasukan Kasultanan Solo, juga Keraton Yog-ya yang menyewa serdadu-serdadu Bali dan Bugis.
Dari segi jumlah, pertempuran itu bagai David lawan Goliath. Namun, RM Said mampu membangkitkan moral pasukan setelah ia dapat membunuh Kapten Van der Pol, memenggal kepalanya, dan dengan dijinjing tangan kiri, menyerahkannya ke selirnya, Ajeng Wiryah. Tercatat 85 orang serdadu Belanda tewas, sementara di pihaknya hanya 15 orang.
Tarian ketiga adalah Bedhaya Sukapratama, sebuah tarian untuk mengenang saat ia menyerang benteng Belanda di Yogya dan istana Yogya pada 1757.
Dari tiga tari itu, yang berhasil diselamatkan adalah Bedhaya Anglir Mendung. Setiap tahun bedaya ini dipentaskan saat jumenengan memperingati kenaikan takhta Mangkunega-ra IX. Tahun lalu, saat peringatan jumenengan ke-18, Anglir Mendung juga dipentaskan. Sedangkan Bedhaya Dirodo Meto dan Bedhaya Sukapratama belum pernah ditampilkan sama sekali.
Maka, untuk peringatan 250 tahun ini Mangkunegaran memilih merekonstruksi Bedhaya Dirodo Meto. Tari ini agaknya merupakan harga diri, identitas penting bagi Mangkunegaran. Pada peperangan di Rembang itulah RM Said menunjukkan ”nasionalismenya” dibanding kedua keraton lain. Di sinilah, RM Said mendapat julukan yang menggetarkan: Pangeran Samber Nyawa.
Untuk tugas rekonstruksi itu, Mangkunegaran menunjuk dua penari senior Institut Seni Indonesia Solo, Wahyu Santoso Prabowo dan Daryono. ”Agak susah rekonstruksinya,” kata Wahyu. Ia mengakui adanya keterbatasan data tentang gerak dan lagu Dirodo Meto. Selama setahun waktu digunakan untuk meriset, termasuk membaca Babad Lelamphan yang berisi kisah-kisah sebelum RM Said menjadi raja, dan Babad Tutur sesudah ia diangkat jadi raja.
Hasilnya, tak banyak yang ditemukan. Hanya ada teks tembang Dirodo Meto di Babad Tutur. ”Kami ingin mendapat sebanyak mungkin informasi data, tapi ternyata sulit,” kata Daryono. Dari yang sedikit itulah mereka bergerak. Wahyu mengakui proses rekonstruksi ini akhirnya adalah sebuah tafsir. ”Ini eksperimen” katanya.
Rekonstruksi Dirodo Meto ini, menurut Wahyu, berbeda sekali dengan rekonstruksi-rekonstruksi bedaya lain yang pernah dilakukan. Tentang Bedhaya Anglir Mendung, sebetulnya juga tak ada catatan tertulis yang lengkap tentang tarian itu, tapi di Keraton Solo ada tarian Serimpi Anglir Mendung yang bisa digunakan sebagai rujukan. Demikian juga dengan Bedhaya La-la karya Pakubuwono V.
Karya ini mulanya hampir punah, dan di Keraton Solo pada 1972 dilakukan sebuah rekonstruksi Bedhaya La-la berkisah tentang Dewa Ruci. Kisah pencapaian Bima mendapatkan air suci Prawita Sari. Yang membuat mudah menciptakan ulang Bedhaya La-la, menurut Wahyu, adalah karena notasi Gendhing Lala beserta melodinya masih ada. ”Gending itu penting. Biasanya nama tari bedaya mengikuti nama gendingnya,” katanya. Juga yang paling membantu saat itu adalah masih hidupnya maestro Marto Pangrawit (1914–1986) yang sangat mengerti gending-gending lama. ”Beliau masih ingat betul gending-gending pokoknya,” kata Wahyu.
Patokan pertama menghidupkan Dirodo Meto adalah tarian itu dibawakan oleh tujuh penari laki-laki. Dalam catatan, bila Anglir Mendhung dibawakan oleh perempuan, maka para penari, pesinden, dan penabuh Dirodo Meto adalah pria semuanya. ”Bedhaya Anglir Mendhung karenanya menjadi pembanding utama,” kata Wahyu.
Semua unsur gerak Dirodo Meto diramu dari vokabuler-vokabuler gerak yang diambil dari khazanah tari Mangkunegaran. Karena itu, pihak Mangkunegaran merasa perlu memanggil maestro tarinya yang tersisa yang sudah pensiun tapi dianggap mengetahui khazanah tari Mengkunegaran: R. Suwardi, 85 tahun. R. Suwardi diperlukan untuk terus menjaga proses latihan (lihat Sang Penjaga Proses).
Malam itu Dirodo Meto versi rekonstruksi ini dimulai dengan adegan maju beksan. Dari dalam, muncul tujuh penari diiringi tujuh pengawal keluar mengambil posisi awal. Para penari bersila, selanjutnya menampilkan Beksan Laras, melakukan pola-pola sesembahan dan kemudian humadeg berdiri, lalu bergerak pelan. Gending Kemanak mengiringi. Suasananya meditatif.
Selain Bedhaya Anglir Mendung, yang juga digunakan untuk pembanding adalah Bedhaya Bedhah Madiun karya Mangkunegara VII. ”Bedhaya Bedhah Madiun temanya tentang gerilya,” kata Daryono. Ada beberapa vokabuler dari bedaya ini yang dianggap Daryono unik dan digunakannya, terutama gerak melengkungkan telapak tangan, yang disebut gidrah, yang merupakan gerak tangan tari putri. Gerak yang mulanya berkarakter agak kenes oleh Daryono diubah menjadi keras.
Dan, akhirnya, karena tema utama Dirodo Meto adalah tentang pertempuran, maka banyak vokabuler kemudian diambil dari khazanah tari wireng. Wireng adalah tari keprajuritan. Mangkunegaran memiliki banyak catatan tertulis mengenai berbagai tari wireng. ”Mangkunegaran ini gudangnya wireng,” kata R. Suwardi. Menurut dia, perpustakaan Rekso Pustoko, perpustakaan milik Mangkunegaran, memiliki banyak koleksi buku-buku tentang wireng. Mungkin lantaran pendiri Mangkunegaran adalah seorang senopati tak terkalahkan, maka genre tari yang banyak dikembangkan di Mangkunegaran adalah wireng.
Daryono sendiri sebagai penata tari melakukan riset intensif atas berbagai jenis wireng ini. Menurut dia, pemilihannya tidak boleh asal comot. ”Saya akhirnya mengambil motif gerak wireng Sancaya Kusuma Wicitra dan Wirun Narantaka.” Pertimbangannya: kedua wireng itu menonjolkan unsur kesedihan. Daryono melihat Dirodo Meto sebagai sebuah tari yang menampilkan kesedihan Mangkunegara I mengenang 15 prajuritnya yang gugur. Ia menganggap ekspresi perang dalam Dirodo Meto bukan ekspresi lahiriah semata. ”Kedua wireng itu cocok karena menampilkan perasaan kehilangan,” katanya.
Ia juga mengambil gerak dari khazanah pertempuran putri. ”Srimpi Muncar yang diciptakan Mangkunegara VII.” Ini sebuah tari yang menceritakan seorang putri Jawa bernama Kelaswara yang terbakar cemburu ketika suaminya, Wong Agung Menak, jatuh hati pada seorang putri Cina bernama Ada-ninggar. Kemudian terjadilah pertempuran antara kedua putri cantik itu. Kelaswara melawan Adaninggar. ”Saya ambil gregetnya.”
Penggambaran adegan perang ini diiringi gending Ladrang Dirodo Meto. Gending ini biasanya dipakai dalam adegan-adegan tertentu pertunjukan wayang. Bila biasanya tidak memakai vokal, oleh Wahyu gending ini diisi gerongan, yakni koor pria dengan syair-syair yang ditemukan di Babad Tutur itu.
Drakk! Tiga trisula dipadukan. Semua penari kemudian duduk bersimpuh. Seorang diri seorang penari (Daryono) membawa tombak mengitari para penari yang bersimpuh.... Ia tampak tengah mempersiapkan mental prajurit.
Tak syak, keingintahuan penonton melihat pertunjukan ini disebabkan oleh nama tarian yang berarti gajah mengamuk. Seakan menyiratkan bahwa pertunjukan akan dipenuhi koreografi yang gemuruh. Tapi bagi yang mengharapkan tontonan yang energetik, dinamik, atraktif, pertunjukan ini memang di luar ekspektasi. Keheroan pasukan Mangkunegara lebih diungkapkan pada lirik, sementara eksekusi tarinya tenang.
Tapi itulah bedaya. Dalam sebuah laporan Belanda, laskar perempuan RM Said dilukiskan begitu cekatan. Mereka terampil berkuda, juga dalam menggunakan senapan panjang dan pendek. Mereka mampu berganti senjata dengan cepat dan menembak salvo secara serempak. Tapi dalam Bedhaya Anglir Men-dhung semua begitu mengalir, anggun, tanpa gejolak.
”Saya kira tontonan ini puitis sekali, kena sekali,” kata penari muda, Fajar Satriadi, mengomentari Dirodo Meto versi Daryono dan Wahyu ini. Penari Elly Luthan melihat itu sebagai sebuah tontonan tari klasik yang berhasil. ”Tapi sebagai sebuah rekonstruksi, dia menyandang beban terlalu berat,” katanya.
Apa pun, pergelaran ini patut dicatat sebagai sebuah usaha konservasi yang langka. Mungkin yang ingin melihat tontonan kolosal bisa menunggu sampai November nanti. Sebagai penutup rangkaian acara 250 tahun Mangkunegaran, untuk menggambarkan kegagahan pasukan Pangeran Samber Nyawa, direncanakan tari yang melibatkan 300-an penari.
”Tunggu 11 November, tari ini sampai melibatkan pasukan berkuda dan gajah, ”janji Agus Haryo Sudarmojo, ketua penyelenggara.
Seno Joko Suyono (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo