Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sang Penjaga Proses

26 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika lelaki itu tak turun gunung, mungkin Dirodo Meto tak akan dipentaskan. Namanya R. Suwardi. Sejak 1958 ia sudah tinggal di Surabaya, tapi setahun belakangan ini, di usia uzurnya, ia wira-wiri Surabaya-Solo.

”Setahun ini, bila dipanggil ke Mangkunegaran, saya datang,” tuturnya. Ia dianggap yang paling tahu khazanah tari Mangkunegaran. Ia adalah kamus hidup tari gaya Mangkunegaran yang masih tersisa.

Umurnya kini 85 tahun. Dua alisnya melintang putih seperti alis pendekar-pendekar sepuh dalam film-film silat Cina. Sejak berumur lima tahun ia sudah belajar menari di Mangkunegaran. Rumahnya di daerah Panti, tak jauh dari Mangkunegaran. RM Rekso Manogro, orang tuanya, juga seorang penari keraton.

Ia mengenang awal perkenalannya dengan dunia itu. Ketika ia hanya menonton anak-anak lain belajar menari. Baru pada umur 10 tahun ia resmi menjadi murid tari. Sampai usia remaja ia merasakan latihan di bawah gemblengan empu-empu tari Mangkunegaran kala itu, misalnya Harjosasmoyo untuk tari halus putri atau Ngabehi Tjitrosuharso untuk tari halus laki-laki.

R. Suwardi dipersiapkan khusus untuk menguasai alusan. Zaman dahulu, menurut dia, seorang anak yang sudah punya spesialisasi halus, tidak boleh menekuni yang lain. Tapi ia kemudian belajar apa saja. ”Saya nyolong-nyolong belajar,” katanya terkekeh.

Ia selanjutnya dikenal sebagai penari wireng yang tangguh. Tari yang menggambarkan prajurit keraton berlatih perang ini dikembangkan di Mangkunegaran dengan komposisi satu lawan satu atau dua lawan dua, misalnya Bandabaya, sebuah tari wireng hasil kerja sama antara Mangkunegaran dan Pura Pakualaman Yogya. ”Ini adu tanding satu lawan satu, memakai floret, pedang panjang,” kenangnya. Sementara Bandayudha menggunakan perisai (tameng). Ia juga sering menarikan petilan-petilan perang-perangan dari kisah Mahabarata dan Ramayana seperti Jaya Pusaka atau Gondowardoyo

Ia dianggap penari kesayangan Mangkunegara VII. Oleh Mangkunegoro VII, ia sering disuruh menari di depan tamu. ”Saat kecil, pasangan menari Bambangan-Cakil-nya ayah saya (Mangkunegara IX) adalah Pak Suwardi ini,” tutur GPH Herwasto Kusumo yang akrab dipanggil Gusti Heru.

Bambangan-Cakil adalah tari perkelahian satu lawan satu. ”Gusti Mangkunegara IX menjadi Bambangan, saya jadi Buto Cakil,” kenang R. Suwardi. Menarikan Cakil sulit karena harus pintar jumpalitan. Hubungan mereka secara pribadi pun dekat. Pada 1939–1940, ketika Mangkunegara IX belajar di AMS Jakarta, R. Suwardi sampai disuruh oleh Mangkunegara VII menemani sang putra mahkota di Jakarta. Mereka tinggal di daerah Mampang.

”Era Mangkunegara VII adalah era keemasan tari Mangkunegaran,” kata GPH Herwasto. Menurut R. Suwardi, beksan Mangkunegaran atau tari gaya Mangkunegaran sebetulnya berkembang pada masa Mangkunegara IV dan V. Untuk membuat Mangkunegaran memiliki gaya yang khas, Mangkunegara VII selanjutnya memanggil para empu tari dari Bali, Cirebon, dan Madura. Kemudian menyuntikkan hasil pengamatannya atas berbagai karakter itu untuk menemukan ciri Mangkunegaran. ”Tapi saya tak tahu mana unsur Bali-Maduranya kini,” kata R. Suwardi.

Ia ingat betapa Mangkunegara VII sendiri yang mengawasi mereka berlatih dulu. Suasana disiplin saat itu luar biasa. Murid-murid selalu sungguh-sungguh belajar, tak berani sembrono. Mangkunegara VII, kenang R. Suwardi, selalu duduk dekat saka guru pendapa. Sang Raja menunggu sampai habis. Apabila ada murid yang bergerak salah, sang Raja akan beranjak dari duduknya dan memukul kaki murid itu dengan tongkat. ”Semua takut, wong yang nunggoni (menunggu) ’macan’,” katanya seraya tergelak.

Wawasan R. Suwardi yang dalam membuatnya dibutuhkan untuk menjaga proses penggalian kembali Dirodo Meto. ”Gaya Mangkunegaran itu selalu simetris.” Prinsip itu yang selalu ditekankan pada para penari Dirodo Meto yang rata-rata berasal dari ISI Surakarta. Gaya Mangkunegaran, menurut dia, berbeda dengan gaya Kasultanan Surakarta.

Prinsip tari Keraton Solo, menurut dia, adalah Doran Tinangi. Doran adalah cangkul, tinangi artinya bangun. Dalam pandangan Keraton Solo, posisi badan penari yang ideal adalah seperti cangkul, agak condong ke depan. ”Sementara badan gaya Mangkunegaraan harus memiliki sifat kelir yang tegak lurus,” tuturnya. Ia mencontohkan: bila menampilkan gerak mirong sampur dengan lengan ditekuk ke muka tubuh, ujung jari harus sejajar bahu atau ujung jari harus sejajar dengan pinggang.

Menurut R. Suwardi, para penari Dirodo Meto pada awal latihan sering lupa prinsip itu. Posisi antara tangan dan badan penari sering tidak simetris lagi. Ada yang sudah simetris, ada yang tidak, dan itu menjadikan keseluruhan tari kurang serempak. Ia mengakui, memang sulit meninggalkan kebiasaan lama untuk sepenuhnya masuk dalam gaya tubuh ideal Mangkunegaran.

Betapapun demikian, saat malam pementasan ia tampak sumringah. Berkali-kali ia mengumbar senyum. Ketika ditanya apakah ia puas dengan penampilan ”murid-muridnya”, ia menjawab: ”Yo harus dipuji, wong garapan-garapan sendiri .”

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus