Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku diari” itu disimpan di antara buku-buku kuno koleksi Rekso Poestoko, perpustakaan Mangkunegaran. Tebalnya 463 halaman, ditulis dengan huruf Jawa gagrak anyar. Semua hanya kertas fotokopi, dan kondisinya seperti kertas bekas yang tak terpakai. Fotokopiannya pun tak jelas, banyak warna hitam yang menutupi aksara Jawa baru itu. Tumpukan kertas itu dibundel hanya dengan tali rafia. Bahkan empat lembar pertamanya tercerai di luar bundelan. ”Pusaka” itu diletakkan dalam sebuah kotak karton.
Itulah nasib catatan harian Mangkunegara I. Ditulis berbentuk tembang macapat dengan banyak pupuh. Ditulis ketika Pangeran Samber Nyawa berusia 53 tahun. Isinya menceritakan kehidupan dirinya sejak usia 16 tahun hingga 32 tahun ke depan. Catatan itu mendeskripsikan bagaimana awan hitam bergayut saat peperangan di Ponorogo, perasaan-perasaan Mangkunegoro I tatkala mengambil keputusan menyerang mertuanya sendiri. Tentang pengkhianatan Keraton Solo dan Yogya sampai perjanjian-perjanjiannya dengan Belanda.
Pihak pengelola Rekso Poestoko memberi bundel foto kopi itu nomor 753 atau B 29 A. KRNgtT Koestini Soemardi, pengageng Rekso Pustoko, mengatakan perpustakaan tak memiliki naskah yang asli. Yang asli tersimpan di perpustakaan Leiden KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land, en Volkenkunde Oriental) dengan nomor penyimpanan 231, dengan judul Dagboek van KGPAA Mangkoenegoro I. Naskah itu berada di negeri itu karena pada 1930 di era Mangkunegara VII diberikan sebagai hadiah kepada Belanda.
Bisa disebut catatan harian itu merupakan sumber untuk mengetahui riwayat Mangkunegara I. Sosok Mangkunegara yang misterius, tidak pernah digambar sehingga tak ada lukisan yang merekam sosoknya. Bila memasuki ndalem Mangkunegaran, pengunjung bisa melihat foto-foto silsilah raja-raja Mangkunegara. Di posisi paling atas sendiri, yakni posisi Mangkunegara I, tidak ada gambarnya—digantikan dengan lambang kerajaan.
Menurut budayawan M.T. Arifin, Mangkunegara I memang tidak boleh dibuatkan gambar karena pengaruh dari mertuanya, Kiai Kasan Nuriman yang mempunyai keyakinan kuat pembuatan gambar itu haram. Berdasarkan cerita lisan, M.T. Arifin bisa melukiskan sosok Mangkunegara I. ”Dia memiliki perawakan gagah, tubuhnya tidak terlalu tinggi. Wajahnya tampan tetapi pipinya agak sedikit bopeng karena bekas terkena cacar,” ujarnya.
Yosodipura, pujangga Keraton Solo, pernah mendeskripsikan sosok Mangkunegara I. Menurut dia, tubuh Mangkunegara I kecil, tak ubahnya anak-anak, tapi sorotnya tajam memancarkan semangat menyala-menyala. Melihat potongan tubuhnya, Nicolas Hartingh, penguasa Belanda, kaget. Sebagaimana digambarkan Yosodipura, Nicolas menyaksikan bahwa pemberontak yang selama ini merepotkannya ternyata perawakannya kecil, pendek.
Karena jasa salah satu cucu Mangkunegara VII yang bernama Ray Hilmiyah Darmawan catatan harian itu bisa didatangkan kembali ke Solo. Berdasarkan keterangan dalam kotak kardus pembungkus, buku harian Mangkunegara I itu pulang pada Desember 1991.
Bungkus berwarna cokelat itu juga menjelaskan bahwa babad tersebut ditranskrip pertama kali ke dalam huruf latin oleh ahli sastra Jawa Dr Th.G.Th. Pigeaud atas perintah Mangkunegara VII pada Desember 1929. Kondisi naskah mulanya tidak terjilid rapi. Pigeaud kemudian yang mengurutkan dan membuatkan halaman naskah. Judul terjemahan latin Pigeaud adalah Serat Babad Nitik Mangkunegara I.
Kini, atas bantuan Bank Dunia, babad itu juga sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh MNg Supardi dan RNgtNg Darweni. Proyek ini selesai pada Mei 1998. Dalam bahasa Indonesia berjudul Babad Nitik Mangkunegara I (Catatan Harian Prajurit Estri Mangkunegaran).
Babad yang juga kerap disebut Babad Tutur ini penulisnya bukan Mangkunegara I sendiri. Hal itu bisa terlihat dari pembuka catatan sebelum masuk ke pupuh 1 dalam bentuk mijil. Dalam pembuka tulisan tertera kalimat: ”serat lajeng kang sekar pamijil, papanipun sehos, nurut cerita carita sehos papane, saking panjang carita tinulis, maksih carik estri kang nyerat nunuruh.”
Kalimat ini menjelaskan bahwa penulis biografi itu seorang juru tulis perempuan. Syahdan, memang terdapat juru tulis perempuan yang mengikuti terus perjalanan Pangeran Samber Nyawa. Almarhum Zainuddin Fananie, peneliti dari Universitas Muhammadiyah, yang pernah membahas Babad Tutur, juga menyinggung soal adanya carik perempuan ini.
Menurut Fananie, isi catatan harian terentang dari masalah ekonomi sampai sosial. Secara terperinci, dalam catatan harian itu misalnya diketahui Mangkunegara I mampu menekan Belanda agar setiap tahun membayar kepadanya 400 real. Uang itu digunakan untuk memberi gaji para prajuritnya dan lain-lain.
Fananie menunjukkan bagian dari catatan harian yang mendeskripsikan bagaimana muaknya RM Said melihat Pangeran Mangkubumi setelah Perjanjian Giyanti. Sebagai balas budinya kepada Belanda karena ia dinobatkan sebagai raja Keraton Yogya, Mangkubumi menghadiahkan istrinya sendiri, Raden Retnasari, kepada Belanda. Tembang itu berbunyi demikian:
Kang anama Raden Retnasari, ingkang sangking Pingkol Sukawatya, sareng dipun angkate, marang deler tinandu, Sultan datan saged ningali, sanget ngungun tur merang lan tansah sinamur, Den Retnosari semana sareng mangkat anangis tur niba-tangi....
Terjemahannya:
Dia bernama Raden Retnosari berasal dari Desa Pingkol Sukawati, Deler segera memondongnya memasukkan dalam tandu. Ketika menyaksikan Sultan hanya berpaling muka saja, agaknya tak tahan untuk melihatnya, dalam hati teramat kecewa dan malu, tapi perasaan tersebut ditutup-tutupinya, ketika tandu diusung, Raden Retnowati menjerit, menangis seakan-akan berusaha melepaskan diri....
Yang memang paling menarik adalah soal legiun perempuan. Selain oleh prajurit pria, RM Said juga dikawal prajurit wanita. Menurut Fananie, peranan prajurit perempuan yang semenjak Sultan Agung lebih merupakan hiasan, kini dirombak total. Prajurit perempuan RM Said ini dikedepankan sebagai combat corps atau pasukan tempur. Dilukiskan dalam catatan harian itu, pasukan perempuan tersebut berbusana putih, berkain corak parang rusak, dan menyandang keris seperti orang Bali.
Prajurit perempuan ini semuanya cantik-cantik dan pandai baca-tulis. Betapapun memiliki ketangkasan sebagaimana prajurit pria, mereka tetap terampil memasak dan membuat baju. Mereka juga pintar menghibur, menyanyi sesindhenan atau menari taledhekan, serimpi.
Masyarakat dilukiskan selalu berdecak kagum melihat mereka. Sebuah tembang melukiskan saat Mangkunegara I naik karbin kuda, ada pasukan perempuan berkuda mengiringinya. Disertai pemukul genderang, peniup terompet, semuanya wanita. Dalam memainkan instrumen gamelan pun mereka sangat piawai:
Tamu-tamu semuanya terheran-heran. Termangu-mangu membisu. Bagaimana wanita bertingkah bagaikan laki, seluruhnya terampil. Demikian pula penabuh-penabuh wanitanya tak ubahnya seperti penabuh lelaki saja....
Agustus nanti, perpustakaan Rekso Poestoko merayakan ulang tahunnya yang ke-140. Meskipun catatan harian itu hanya fotokopian, inilah salah satu koleksi Rekso Poestoko yang paling berharga.
Seno Joko Suyono dan Imron Rosyid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo