Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bawah langit musim bunga, kubah itu menyembul dari masa silam, menyungkup di atap basilika dalam harmoni yang menyedapkan pandang. Basilika Santo Petrus dan kubah setinggi 138 meter rancangan Michelangelo itu menjadi penanda yang masyhur Kota Vatikan selama berabad-abad. Balkon Basilika dirancang begitu rupa sehingga berdiri di sana, konon, bagai mengawang di antara bumi dan langit. Sebagian momen terpenting Gereja Katolik (selanjutnya disebut Gereja) dipatrikan di Basilika. Pemakaman. Konklav. Penabalan. Dari atas balkon itu, para paus baru mengirimkan Urbi et Orbi—berkat kepausan—pertama mereka kepada dunia.
Di situ pula Joseph Ratzinger, 78 tahun, muncul pada Selasa pekan lalu. Kini bergelar Paus Benediktus XVI, Ratzinger menyapa ratusan ribu orang yang menyesaki alun-alun. Yang tak kebagian tempat di ke alun-alun mengikuti seremoni itu dari tepian Sungai Tiber. ”Para kardinal telah memilih saya, seorang pelayan bersahaja, untuk bekerja di kebun anggur Tuhan,” ujar Paus baru dalam pidato pertamanya. Gemuruh sorak pecah. ”Pelataran Santo Petrus seakan meleleh oleh kegembiraan dan sorak-sorai massa,” Pastor Leo Kleden SVD melukiskan suasana itu untuk Tempo dari Vatikan. ”Orang-orang berdansa, menjerit, bertepuk tangan, melambai-lambaikan bendera, topi pet, selempang, atau apa saja untuk menguarkan rasa suka cita.”
Via della Concliazione yang menjulur dari tepian Sungai Tiber ke arah alun-alun penuh sesak. ”Lalu lintas yang padat dari Via dei Verbitti ke Basilika terpaksa diterabas dengan motor.” Pelataran Santo Petrus menggelatar dalam hawa suka cita. ”Di alun-alun ini saya pernah melihat empat paus baru di atas balkon,” ujar Matilda Orsini, 79 tahun, dengan suara gemetar oleh emosi.
Vatikan melahirkan tujuh paus sepanjang abad ke-20. Pius X (1903-1914), Benediktus XV, Pius XI, Pius XII, Yohanes XXIII, Paulus VI, Yohanes Paulus I. Karol Wojtyla atau Yohanes Paulus II naik ke Takhta Suci pada 1978. Dia membawa Gereja Katolik menyeberangi abad (1978-2005). Ratzinger meneruskannya.
Kota Vatikan, Citta del Vaticano, tempat para paus berdiam, adalah negara berdaulat paling mini di muka bumi. Tegak di atas bukit, kota ini menjadi wilayah kepausan sejak abad pertama Masehi. Pada tahun 754, Vatikan beralih menjadi negara-kepausan, papacy state, hingga dibubarkan oleh Italia pada 1870. Lewat setengah abad, Paus Pius XI dan Raja Italia Emanuellle III bersetuju meneken Perjanjian Lateran pada 11 Februari 1929. Maka lahirlah negara-kota Vatikan yang merdeka dan berdaulat yang menganut sistem monarki dengan pemilihan. Sejak itu, setiap paus adalah Kepala Gereja sekaligus kepala negara.
Jantung Vatikan adalah kepausan. Tanpa Takhta Suci, Vatikan—bahkan Roma—kehilangan seluruh ronanya. Hal itu terbukti pada masa Skisma Besar (1378-1417), tatkala terjadi perpecahan di kalangan pemimpin Gereja. Era ini bermula pada 1305, ketika seorang Prancis dipilih menjadi paus dengan nama Clemens V. Dia memindahkan pusat kepausan dari Roma ke Avignon, Prancis. Alasannya, Roma terlalu terlibat dalam percaturan politik pada masa itu. Berturut-turut, dia diganti oleh Paus Yohanes XXII, Benediktus XII, Clemens VI, Inosensius VI, Urbanus V, Gregorius XI.
Atas nasihat sejumlah orang, khususnya St. Katharina dari Siena, Paus Gregorius dan para kardinal pulang ke Roma pada 1377. Tetapi dia keburu meninggal pada 1378. Tiga wilayah mengklaim hak atas takhta kepausan: Roma, Pisa (Italia), dan Avignon (Prancis), dengan pausnya masing-masing. Sejumlah kardinal Prancis lantas memindahkan otoritas Takhta Suci secara paksa ke Avignon. Tiga paus memerintah di Avignon, yakni Clemens VII, Benediktus XIII dan Clemens VIII.
Ketika para kardinal berkumpul untuk konklav, sekelompok orang di Roma mendesak para kardinal memilih seorang kardinal Italia menjadi paus. Ini untuk menjamin bahwa Roma kembali menjadi pusat kepausan. Paus baru orang Italia itu bernama Urbanus VI. Para kardinal asal Prancis tak puas dengan kepemimpinan Urbanus VI. Mereka melarikan diri dari Roma lalu menyatakan, pemilihan Paus Urbanus tidak sah karena mereka berada di bawah tekanan waktu itu. Para kardinal Prancis itu lantas memilih paus baru bernama Clemens VII, yang tinggal kembali di Avignon. Sejak itu ada dua kepausan dalam Gereja: Roma dan Avignon.
Karena banyak orang sama sekali tidak puas dengan situasi Gereja yang terpecah, sejumlah kardinal, uskup, teolog, pemimpin biara berkumpul dalam sebuah pertemuan di Kota Pisa. Peristiwa ini dikenal sebagai Konsili Pisa. Mereka memilih paus baru, Alexander V. Tapi dengan itu keadaan malah bertambah ruwet, karena sekarang ada tiga paus: Roma, Avignon, dan Pisa.
Situasi yang kacau ini baru berakhir dalam Konsili Constance (dari nama Konstanz, sebuah kota di Jerman) yang berlangsung pada 1414-1418. Konsili Constance berhasil memilih paus baru, yang akhirnya diterima oleh seluruh Gereja Katolik: Martinus V (1417-1431). Berakhirlah era Skisma Besar, satu periode paling kacau dalam sejarah Gereja.
Munculnya era ini bukan tanpa latar belakang. Pada masa Paus Inosensius III (1198-1216), dia menentukan, paus bukan hanya wakil Petrus, tapi juga wakil Kristus, Vicarius Cristi, di dunia. Dia mendorong pembentukan ordo-ordo paderi dan dicatat sebagai pemimpin Gereja paling berpengaruh pada Abad Pertengahan. Selang 16 paus, naiklah Bonafesus VIII (1294-1303). Dia mengeluarkan satu Ensiklik (publikasi resmi paus), Unam Sanctam, yang menetapkan primat sebagai berikut: semua orang di dunia hanya bisa selamat jika tunduk pada otoritas paus.
Para pangeran dan raja Eropa kontan menyalak karena amarah. Raja Philip IV yang naik pitam mengirim serdadunya ke Vatikan. Dia menawan Bonafesus VIII dan membebaskannya setelah selama tiga hari. Tapi lambang di balik penawanan itu terpatri dalam sejarah: berakhirnya kekuasaan paus di wilayah dunia. Para pemimpin Gereja didesak agar segera kembali ke khitah mereka sebagai pemimpin iman dan moral.
Kekelaman di era Skisma Besar tak memadamkan posisi Vatikan sebagai kiblat Eropa dan Gereja di belahan lain dunia. Saat Takhta Suci diboyong ke Avignon, wajah Roma yang gilang-gemilang tiba-tiba melempem seperti kerupuk layu. Penduduk kota itu menyusut dari sejuta lebih ke beberapa ratus ribu saja. Kota itu ditinggalkan. Perniagaan suram. Para peziarah menghilang. Kriminalitas merajalela. Wajah Roma berseri lagi kala Takhta Suci kembali ke Vatikan selepas Konsili Constance.
Seabad lebih setelah Skisma Besar, Vatikan mempersolek diri dan mengukuhkan posisinya sebagai pusat ziarah bagi umat Katolik sedunia—kini hampir 17 juta manusia berziarah, berdoa, dan bertamasya ke Vatikan saban tahun. Mereka menyaksikan Piazza San Pietro yang masyhur dan menelisik setiap sudut Basilika yang penuh dengan mahakarya seni dari masa lampau. Wartawan Tempo Wahyu Muryadi ketika memasuki Piazza San Pietro saat melayat jenazah Yohanes Paulus II, pada awal April lalu, melukiskannya sebagai ”suatu teater panggung kolosal yang menggetarkan hati” (lihat Sejumput Doa di Piazza Keramat).
Piazza dan Basilika adalah dua bangunan yang paling banyak dikunjungi turis di Vatikan. Basilika didirikan Paus Yulius II pada 1506. Di sini tersimpan koleksi lukisan, patung, dan sejumlah karya seni paling masyhur. Donato Bramante, yang pertama menggarap Basilika, diteruskan oleh Michaelangelo. Seniman besar ini tak lupa mentakhtakan patung Pieta, mahakaryanya yang sohor di sana. Altar utama kepausan dirancang oleh Bernini.
Di alun-alun Santo Petrus, kita juga menyaksikan peninggalan lain Bernini: ”dinding” kolosal dengan tiang-tiang raksasa yang mengitari alun-alun, persembahan sang arsitek bagi Paus Aleksander VII (1655-1667).
Cikal bakal Basilika adalah sebuah gereja yang didirikan Kaisar Konstantinus pada tahun 364 Masehi. Dia Kaisar Roma pertama yang memeluk agama Nasrani. Konstantinus membangunnya di atas lokasi makam Petrus (48-69) di Bukit Vatikan. Dia dibunuh oleh para algojo Kaisar Nero yang amat memusuhi agama Kristen. Maklumatnya, setiap pemeluk Kristen adalah musuh Roma yang harus dibunuh. Petrus dan Paulus, dua rasul terbesar dalam sejarah Gereja, adalah musuh utama Nero. Keduanya dicari, dikejar, di seluruh sudut Roma. Perintah Nero: tangkap dan bunuh.
Fulton Oursler dalam bukunya (penulisan buku ini diteruskan putrinya, April Oursler Amstrong), The Greatest Faith Ever Known, melukiskan pengalaman ilahiah yang melanda Petrus menjelang hari akhirnya di Bukit Vatikan. Dini hari suatu musim semi, Petrus berjalan kaki ke luar Kota Roma. Dia meninggalkan kota itu setelah berbulan-bulan menghindari kejaran kaki tangan Nero. Petrus tadinya berkukuh bertahan di Roma, memimpin penyebaran agama Kristen di sana. Tapi warga Kristen mendesaknya pergi ketika situasi kian berbahaya.
Tengah Petrus melewati sebuah jalan kecil, seberkas cahaya berpendar-pendar di hadapannya. Di pusat sinar yang menyilaukan dia melihat sosok Yesus, Sang Rabbi, berjalan menuju Roma.
Petrus jatuh, menekuk lutut di atas debu.
”Domine. Quo vadis?” Petrus menyapa. Tuhan. Engkau hendak ke mana? ”Aku pergi ke Roma untuk disalibkan.” ”Tuhan, Engkau mau disalibkan lagi?” ”Ya, Petrus. Aku mau disalibkan lagi.” Lalu pijar cahaya itu padam, sosok Yesus menghilang ke dalam ketiadaan.
Petrus bangkit, bergegas kembali ke Roma. Di sana para serdadu Kaisar Nero membekuknya lalu membawanya ke Bukit Vatikan. Melewati taman-taman pribadi Nero yang dibuka untuk umum, dia menyaksikan tiang-tiang kayu bertabur aspal, terpancang di setiap sudut jalan. Panglima algojo berhenti di depan salah satu salib yang disediakan bagi rasul tua itu. Petrus mengucapkan permintaan terakhirnya: ”Aku tak pantas mati secara Junjunganku. Biarkanlah aku disalibkan dengan kepala ke bawah.”
Tiga puluh menit berlalu, Petrus mati tergantung di salib dengan kepala ke bawah. Kakinya yang berkerak karena perjalanan-perjalanan jauh menjulang ke angkasa. Rambutnya riap-riap, jenggotnya seputih asap bagai cadar menutupi wajah yang berlumur darah. Petrus mati sebagai martir iman dan pemimpin pertama Gereja.
Bersama Petrus, Vatikan telah mencatatkan 265 paus, termasuk Ratzinger, yang terpilih pada pekan lalu. Dalam pidato perdananya, paus baru ini menyatakan diri sebagai ”Pelayan bersahaja di kebun anggur Tuhan”. Suara Ratzinger bergetar ketika berpidato. Mengutip The Economist dalam tulisannya, In John Paul’s Footsteps, ”Geletar itu boleh jadi bukan karena usia. Tugas memimpin Gereja terbesar di dunia dapat melahirkan waswas pada pribadi yang kuat sekalipun.”
Tantangan bagi Ratzinger telah mulai diretas oleh Yohanes Paulus II dalam 26 tahun masa baktinya; meneguhkan aspek universal Gereja kepada dunia, mempertalikan Gereja dengan agama-agama lain melalui semangat perdamaian dan kemanusiaan. Wojtyla berkali-kali dihadang amarah dari para pendukung isu kontroversial seperti aborsi, homoseksual, imam wanita, dan non-selibat. Paus asal Polandia itu menjawab: tak ada tawar-menawar dalam perkara iman dan moral. Dia mewariskan semangat ortodoksi itu kepada Ratzinger, penasihat sekaligus sobat dekatnya.
Di bawah Wojtyla, Gereja bergerak dengan dinamis dan mendunia, membikin Vatikan makin populer. Berpenduduk 921 orang (lihat Satu Negara, Berderet Istimewa) Vatikan menarik sekitar 17 juta turis dan peziarah saban tahun. Luasnya 0,44 kilometer persegi, separuh wilayah Kelurahan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. Tanpa sumber alam, Vatikan bukan tanpa penghasilan.
Penjualan cendera mata, prangko, dan dokumen, mengalirkan sekitar US$ 173,5 juta (hampir Rp 1,6 triliun) per tahun. Kekayaan yang jauh lebih besar tersimpan dalam koleksi benda seni dan lukisan yang tak ternilai harganya.
Salah satu sisi Vatikan yang menarik adalah ”peran”-nya di bidang politik internasional. Secara resmi posisi Gereja dalam politik adalah netral. Tugas dasar setiap paus adalah memimpin Gereja, menjadi internal governor of church. Pada abad ke-20, di bawah Karol Wojtyla menerabas tradisi itu. Sudah rahasia umum, Wojtyla ”urun usaha” dalam menjatuhkan komunisme di Soviet dan merestui gerakan Solidaritas melawan tekanan komunisme di Polandia. Dia menentang kebijakan perang Amerika tanpa basi-basi.
Para pengritiknya menyebut Wojtyla melangkah terlalu jauh dari ”garis tradisional” Vatikan. Tapi tak sedikit yang mendukungnya: ”Itulah cara Wojtyla mewartakan iman Kristiani ke jagat yang modern dan universal,” ujar seorang petinggi Vatikan.
Mewartakan iman adalah tugas dasar yang dititipkan Petrus kepada para penerusnya di Vatikan. Barangkali garis takdir, barangkali kebetulan sejarah, nama negara-kota ini mengandung makna tersebut: Mons Vaticanus, bukit para nabi.
Dahulu, bukit itu selalu riuh oleh para peramal yang buka praktek sepanjang hari. Keributan para tukang ramal ini mendatangkan kekesalan dan sindiran dari penduduk setempat. Mereka menjuluki tukang-tukang ramal itu ”para nabi” yang gemar petantang-petenteng seolah-olah yang mereka sampaikan adalah kebenaran. Pada abad ke-14, saat Takhta Suci kembali dari Avignon, kawasan itu menjadi tempat kediaman paus.
Para peramal menghilang. Tapi nama itu tetap ada, Mons Vaticanus. Bukit para nabi. Di bukit ini, hadir suatu paradoks besar yang terus bertahan menembus zaman. Vatikan, negeri kecil yang hampir tanpa penduduk itu, melahirkan dua hal yang paling diperebutkan dalam sejarah manusia selama berabad-abad: takhta dan kekuasaan.
Hermien Y. Kleden
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo