Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama peringatan Konferensi Asia-Afrika ke-50 di Bandung, ada sebuah buku yang banyak dilongok wartawan di Hotel Savoy Homann. Sebuah buku tamu kenangan—berwarna cokelat kusam, yang pada 1955 ditandatangani Zhou Enlai dari Cina, Gamal Abdul Nasser (Mesir), Jawaharlal Nehru (India), dan Norodom Sihanouk (Kamboja).
Dalam buku tamu itu, Sihanouk mengisinya dengan membubuhkan tanda tangan sekaligus menuliskan jabatannya dengan huruf sambung rapi, ”Prince of Cambodia”. Adapun Zhou Enlai, Perdana Menteri Cina, tidak demikian. Dia hanya menorehkan tanda tangan, tanpa embel-embel jabatan.
”Waktu itu sebuah suite room sudah disiapkan untuk Zhou Enlai,” kata Dwi Taniapurwati—manajer Hotel Savoy. Tapi sejarah mengatakan lain. Selama di Bandung, Zhou memilih tinggal di sebuah bungalow di Jalan Taman Sari.
Mengapa? Itu terjawab pada film Zhou En Lai wan Long Zhi Xing (Zhou Enlai’s Journey to Bandung) produksi Studio Film Beijing, yang di Cina telah ditayangkan pada tahun 2003 dan diedarkan di Indonesia menjelang Asia-Afrika ini. Zhou memilih menginap di vila lantaran menghindari pembunuh bayaran.
Film yang disutradarai Wei Lan—sutradara yang dikenal sering membuat film epos seperti Mao atau Deng Xiaoping—kali ini memang menonjolkan peranan tokoh Zhou Enlai (diperankan oleh Wang Tie Chen). Digambarkan dalam film itu, bagaimana tokoh ini menjadi sangat penting dalam setting sejarah KAA. Misalnya, apabila Zhou urung datang, pemimpin negara lain pun kemungkinan juga tak hadir.
Adegan dibuka dengan berita jatuhnya pesawat terbang Kashmir Princess yang membawa 8 anggota delegasi Cina ke Bandung di lautan sekitar kepulauan Natuna. Semua tewas. ”Ini sabotase,” kata Zhou Enlai. Dalam film ditampilkan sejak awal Zhou percaya ada yang menghalangi kedatangannya.
Film ini terbilang kolosal. Menurut pendamping produser dari Indonesia, Nurdin Purnomo, 56 tahun, biaya film ini ditaksir mencapai Rp 50 miliar. Syuting dilakukan di dua tempat: Indonesia dan Cina. ”Kita mendapat izin dari Megawati, yang saat itu sebagai presiden, untuk melakukan syuting di Istana Bogor,” ujar Nurdin, yang juga Ketua Umum Partai Bhinneka Tunggal Ika. Bayangkan saja, untuk menampilkan adegan malam perjamuan di istana itu, sampai dibutuhkan listrik 1 juta watt.
Juga saat pengambilan adegan sambutan masyarakat Bandung terhadap Zhou. ”Diperlukan 8.000 figuran, 2.000 anak sekolah, dan 6.000 keturunan Cina di Bandung,” katanya menambahkan. Risetnya pun dilakukan cukup detail. Misalnya, untuk mobil yang dipakai Soekarno, mereka pinjam dari mantan Gubernur Jawa Barat, Solichin G.P., yang mengoleksi kendaraan bekas Soekarno saat KAA. ”Kita sampai wawancara tukang masak Zhou Enlai di Vila Mekar Sari,” ujarnya.
Di Cina, syuting dilakukan di Beijing dan Pulau Heinan—bagian paling selatan dari Cina. Dipilih Pulau Heinan karena iklimnya persis dengan Indonesia. Dan terutama lantaran di sana ada ribuan eks warga keturunan Indonesia. Mereka itu yang pada tahun 1960-an pindah karena menolak PP No. 10/1959, yang mengharuskan asimilasi. Rata-rata mereka masih ingat tentang Bandung, dan antusias sekali.
Karena Gedung Merdeka dianggap terlalu kecil untuk peralatan lampu, akhirnya di Beijing itu mereka membangun interior-dalam Gedung Merdeka. Sementara bangunan eksteriornya dikonstruksi di Heinan. ”Para kru survei ke Bandung dan mengukur 1 banding 1,” tutur Nurdin.
Casting para aktor lumayan. Pemeran Nehru, Indira Gandhi, Gamal Abdul Nasser, bahkan pemeran Zhou Enlai, sangat menggambarkan apa yang direportasekan Richard Wright dalam buku The Color Curtain. Karakternya tenang. Tatkala Dr Muhammad Fadhel Jamali dari Irak naik ke podium berpidato tentang bahaya komunisme, Zhou Enlai mengedarkan kertas ke anggota delegasinya, bertulisan: Tahan diri. Ia, yang mulanya tak ingin pidato, akhirnya tampil dan menjadi bintang konferensi. ”...Kami atheis—tapi kami toleran terhadap agama….”
Yang justru kurang tepat adalah tata rias untuk Sultan Saladin, yang memerankan Soekarno. Soekarno di sini ditampilkan gemuk—pipi tembem melebihi sosok Soekarno menjelang 1965 seperti diperankan Umar Kayam dalam film G30S-PKI. Adapun pemeran Ali Sastroamidjojo secara fisik sebenarnya lumayan cocok. Hanya, sebagai pimpinan sidang yang aktif, aktingnya terkesan kurang meyakinkan.
”Di Cina, film ini wajib ditonton anak-anak sekolah,” kata Nurdin. Harus diakui, menyaksikan film ini, duduk perkara Konferensi Asia-Afrika beserta problemanya menjadi gamblang. Maka, Akademi Asia-Afrika—sebuah lembaga independen yang berminat pada persoalan kebudayaan Asia-Afrika—berinisiatif memutar film ini di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, dengan mengundang murid serta guru sejarah SMA di Bandung.
”Saya kira acara pemerintah terlalu seremonial, tak membuat kita tahu apa inti spirit Asia-Afrika. Film ini penting,” kata Iwan Hernawan, guru sosiologi SMAN 9 Bandung, seraya membagikan pin yang bergambar bendera 29 negara peserta KAA tahun 1955 kepada para koleganya.
Seno Joko Suyono (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo