Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sejumput Doa di Piazza Keramat

Pemakaman Yohanes Paulus II disebut-sebut sebagai pergelaran paling akbar di Vatikan selama seabad terakhir. Wartawan Tempo Wahyu Muryadi melaporkan pengalamannya di Kota Vatikan.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NEGARA mungil itu kusentuh sejengkal lagi. Langkahku gontai diguyur rintik gerimis musim semi yang dinginnya menusuk pori. Beribu pelayat antre mengular beribu meter. Mereka bertengger sampai di ujung jembatan nan jauh di sana, di seberang Kastil Santo Angelo. Di situlah, di atas Bukit Vatikan, di sebelah barat laut Kota Roma, Italia, beberapa ratus meter dari Sungai Tiber, pada awal April lalu, kubenamkan batinku di antara jemaat yang menyimpan berjuta duka. Mereka hendak melayat Paus Yohanes Paulus II, pemimpin semiliar lebih umat Katolik sejagat.

Ring pertama terlampaui sudah. Kami akhirnya tiba di Lapangan Santo Petrus di Kota Vatikan, yang ”dikawal” ratusan pilar raksasa—selain berlapis-lapis polisi dan carabinieri. Detektor metal mulai dipasang dekat gerbang masuk. Empat televisi layar lebar dipajang di pojok lapangan. Setting-nya terasa padu dengan meliuk-liuknya dua air mancur karya Maderno dan Carlo Fontana yang malam itu terus dinyalakan. Di pelataran inilah, di piazza, ratusan ribu umat Katolik biasa disapa Paus, sang pemimpin spiritual sekaligus kepala negara berdaulat ini.

Vatikan memang sebuah kaukus unik. Ia merupakan enklave dan dikelilingi Kota Roma, ibu kota Italia. Batas dengan negeri spaghetti itu mengikuti tembok kota sepanjang sekitar 3 kilometer yang dahulu kala dibangun untuk melindungi paus dari serangan lawan. Penghuninya kebanyakan rohaniwan, tentara sukarela, dan anggota ”Penjaga Swiss”, Swiss Guard. Ini negara mini, terkecil di dunia, baik dari segi jumlah penduduk—tak sampai seribu jiwa—maupun wilayahnya, seluas tak sampai setengah kilometer persegi, atau seperempat ratus luas Depok. Ada paradoks diplomatik di sini: Kedutaan Besar Italia untuk Vatikan, tinggalnya di Roma.

Aku terpekur sendiri, menatap semua keramaian sekeliling, di tengah bundaran tugu yang batunya dikirim dari Mesir itu. Mereka bergerak perlahan di kanan-kiriku, sesekali berlari kecil, dan kubayangkan tak ubahnya para anggota jemaah haji melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah dan sa’i di Masjidil Haram, Mekah, Arab Saudi. Ribuan lilin kecil warna putih dan merah, bergelas gambar Paus, juga Yesus, meleleh di sini. Sobekan kertas dan kliping koran bergambar Sri Paus dan foto diri sang jemaat ditempel dekat tugu setinggi 25 meter itu. Spanduk putih dibentangkan dengan semprotan pilok biru: Karol…. Maksudnya tentu Karol Wojtyla, nama asli Bapa Suci.

Di kejauhan, sebuah bangunan perkasa berdiri megah: Basilika Santo Petrus. Inilah titik keramat nan purba, bahkan masyhur sebelum kedatangan agama Kristen. Pada tahun 326 Masehi, basilika ini pertama kalinya dibangun di atas tempat yang diyakini sebagai makam Santo Petrus, paus pertama, yang disalib terbalik dengan kepala di bawah. Kubah basilika begitu mencolok mata, didesain apik oleh Michelangelo, perupa genius yang hidup di zaman Renaisans pada abad ke-15. Pancaran kubahnya berwarna biru keperakan yang tampak indah kala disorot puluhan lampu tembak.

Bangunan ini digambarkan sebagai gereja terbesar yang pernah dibangun. Dengan areal seluas 23 ribu meter persegi dan berkapasitas lebih dari 60 ribu anggota jemaat, basilika ini merupakan salah satu situs tersuci dalam kekristenan. Pengerjaan konstruksi basilika ini dimulai pada 1506 dan rampung 120 tahun kemudian. Tradisi mengatakan bahwa tempat bangunan ini merupakan tempat Santo Petrus, salah satu rasul Yesus, yang kemudian ditahbiskan sebagai paus pertama. Ia disalib dan dikuburkan di sini, di bawah altar imam. Paus lainnya juga dikubur di basilika ini.

Interior basilika sepanjang 146 meter dengan ketinggian 46 meter itu begitu mempesona, sarat dengan patung dan lukisan dinding dan atap bergaya avant garde. Pelbagai patung Paus dari marmer hingga perunggu ada di sini. Patung Pieta dari marmer mahakriya bikinan Michelangelo, yang menggambarkan Bunda Maria memangku Yesus, banyak mengundang decak. Di tengah, berdiri tegak kanopi Bernini yang diukir detail dengan lapis warna emas. Bernini juga mewariskan masterpiece altar imam tak jauh dari situ. Dua tanaman palem hijau menghias kiri-kanan. Lilin putih setinggi dua meter dinyalakan. Empat garda keamanan Swiss yang jangkung-jangkung siaga dengan tombaknya.

Selain basilika, ada juga Kapel Sistine, yang biasa dipakai para kardinal untuk berembuk memilih paus baru. Di kapel inilah, selama pemilihan berlangsung, 115 kardinal dikunci rapat dari pengaruh luar dalam forum konklav. Kardinal Joseph Ratzinger, 78 tahun, yang kemudian ditahbiskan sebagai Paus Benediktus XVI, dipilih di sini. Di belakang basilika, dibangun penginapan Santa Marta untuk para kardinal dengan biaya $ 20 juta. Vatikan, wilayah paus, juga meliputi beberapa gereja penting, kantor-kantor, dan Kastil Gandolpho. Paus adalah kepala negara, sedangkan keperluannya sehari-hari diurusi oleh seorang gubernur.

Sebuah panggung terbuka dibangun di depan basilika. Di sinilah, di saat prosesi pemakaman, ratusan delegasi pemimpin negara dan pemuka agama menyaksikan dengan khidmat. Panggung yang berkontur, diduduki para tamu penting berbusana serba hitam, tampak kontras dengan jubah para kardinal yang serba berwarna merah mawar. Umat diatur dalam antrean berbatas pagar besi portabel, berjajar rapi, menyemut. Mereka datang dari pelosok Italia dan beratus negeri, berkerumun dengan sesama paroki, sesama asal negara, dengan kibaran pataka warna-warni. Semuanya menyajikan prosesi nan padu, indah, bak pertunjukan teater kolosal.

Dari kejauhan, mereka seperti biji rosario yang berjalan perlahan, berderet-deret. Sejumlah kelompok paroki membawa bendera dan halsduk di leher. Ini mengingatkanku pada prosesi jemaah haji seusai wukuf di Arafah. ”Saya antre sejak pukul 10 pagi tadi, ingin bisa dekat Papa malam ini juga,” kata Mama Ana, 68 tahun. Ia melayat bersama para anggota jemaat paroki dari Florence, Italia. Wajahnya yang berkerut tampak letih, pucat. Ia menahan lapar, kantuk, juga amarah—ia cuma tersenyum ketika kakinya terinjak pelayat lain. ”Tak apa, ini semua demi Papa,” katanya seraya menyelempangkan selimut cokelat pemberian para relawan.

Sekelompok pastor dan kamerawan televisi merangsek. Aku ikut di barisan belakang mereka, dan hup…, bisa masuk akhirnya. Clinton Fernando, seorang periset botani asal Sri Lanka yang khusus datang kemari setelah ambil cuti seminggu, kucoba kugandeng masuk. Tapi petugas melarang karena tanpa kartu identitas. Ia dipersilakan datang esok pagi atau lewat antrean yang semestinya dari Kastil Santo Angelo. Clinton cuma bisa bernapas panjang. ”Saya yakin beliau mendekati santo dan masuk surga. Misi kepausannya sudah terpenuhi,” katanya seraya melambaikan tangan.

Di tengah berbagai keindahan itulah jenazah Paus disemayamkan dalam posisi miring ke depan sekitar 30 derajat. Kepalanya disandarkan pada tiga bantal cokelat bersulam emas di tepiannya. Ia mengenakan sepatu warna mawar merah. Jubah kepausan warna merah masih melekat. Matanya terpejam. Wajahnya kemerahan dengan lapisan bedak tipis. Tangannya bersedekap dan pada jemari tangan kirinya diselipkan rosario berwarna cokelat tua. Sejumlah kardinal betah berjam-jam membaca doa. Musik gerejani mengalun dengan suara sopran yang terasa mengiris hati.

Jemaat yang sudah mendekat berupaya mencuri pandang, melongok barang sejenak, menjepret, duduk bersimpuh bertelekan lutut sambil mengucapkan sejumput doa. Banyak yang tak kuasa menahan air mata. Mereka lalu perlahan digiring petugas keluar basilika dengan sapaan sopan. Sambil merambat keluar, pandangan mereka terus tertancap pada sosok mengagumkan itu. Tak sedikit yang meneruskan doa dari kejauhan, tak ingin segera beranjak, termasuk saya yang berdiri sekitar tiga meter dari jenazah. Ada getaran magnet spiritual yang susah dilukiskan. Tak ada rasa letih itu, walau belum juga rebahan setelah terbang belasan jam dari Jakarta. Dari kejauhan, lamat-lamat terdengar alunan musik gerejani. Syahdu.

Wahyu Muryadi (Kota Vatikan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus