Setelah melewati beting-beting Pelabuhan Sunda Kelapa, pada 1815, Couperus, sang pendatang, merasakan Batavia tua sebagai kota hantu:
"...siapa yang mengira kota ini dahulu keindahannya dirayakan melebihi segala-galanya di Holland. Sepanjang Heerengracht di Amsterdam bisa dijumpai istana-istana indah, tetapi semuanya tidak menyamai kenikmatan, kepuasan keindahan pemandangan yang dihamparkan oleh parit-parit lurus yang berpagar tanaman rapi Batavia...."
Sejarawan Leonard Blusse melukiskan catatan di dalam bukunya, Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and the Dutch in VOC Batavia. Pada 1730, Batavia menjadi kuburan bagi orang Eropa. Banyak warga tewas terbunuh penyakit.
Sekitar 100 tahun sebelumnya, Batavia dibangun Jan Pieterszoon Coen (tahun 1619). Kota kecil ini mendapat julukan Ratu Timur karena keindahan belasan kanalnya. Untuk menjaga dari serangan Mataram atau Banten, pemerintah kolonial membangun benteng-benteng di sekeliling kota. Kira-kira sekarang bagian barat benteng itu terletak di sepanjang Jalan Gedung Panjang dan Jalan Pejagalan, bagian selatannya di Jalan Jembatan Batu-Jalan Asemka, bagian timurnya Kampung Muka Timur, dan bagian utaranya Museum Bahari. Sisa-sisa tembok itu kini sudah tak ada.
Ketika Coen membangun Batavia, ia tidak memiliki visi menjadikan Batavia sebagai sebuah kota besar. Batavia dalam bayangannya hanya sebuah pelabuhan persinggahan, tempat kapal-kapal dari Eropa yang menuju pulau rempah Ambon mendapat suplai makanan, air segar, dan transaksi.
Dari Sunda Kelapa, kapal-kapal ke Kali Besar menurunkan barang, dan barang diedarkan oleh jung-jung kecil melalui kanal-kanal lain untuk dipasok ke pelbagai firma perdagangan. Ketika wabah penyakit menyerang, warga Batavia mengalir keluar dari benteng. Mereka mulai mencari lingkungan yang lebih sehat di pedesaan. Orang-orang kaya mendirikan buiten verblijven, rumah peristirahatan mewah dengan kebun luas, di luar benteng. Di sinilah lahirnya benih cikal bakal poros yang kini kita sebut sebagai Kota-Kebayoran Baru.
Gedung Arsip Nasional—kini di Jalan Gajah Mada—sebelumnya adalah kediaman Reiner de Klerk, seorang pengusaha, yang dibangun pada 1760. Pada waktu itu, lokasi tersebut letaknya di luar kota. Klerk sendiri pada 1777 menjadi Gubernur Jenderal Batavia. Wilayah elite yang dibelah kanal bernama Molenvliet itu kini adalah Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Banyak litografi lama menggambarkan sampan-sampan kecil Cina yang disebut wangkang—sebagai alat transportasi rakyat kecil—melintas di depan rumah Klerk.
Ketika Willem Daendels menjadi gubernur pada 1808-1811, Batavia diperluas. Ambisi Daendels adalah mengembalikan Batavia menjadi Ratu Timur. Ia tak hanya meneciskan Molenvliet, tapi juga meluaskan permukiman elite ke arah yang kita sebut sekarang Harmoni. Daendels menciptakan Batavia baru: Koningsplein (Lapangan Monas) dan Weltvreden (Gambir). Di Harmonilah mungkin pertama kali muncul apa yang disebut department store. Di situ berdiri toko permata, toko sepatu, toko jam tangan, butik, penjahit, restoran, dan hotel-hotel berkelas—sebuah kawasam untuk rileks. Raffles, yang berada di Batavia pada 1811-1816, berdiam di daerah ini.
Daendels meruntuhkan tembok-tembok benteng yang dibangun Jan Pieterszoon Coen—suatu tindakan simbolis untuk memindahkan pemerintahan politik dari Batavia lama ke Batavia baru. Saat inilah poros lurus dari Fatahillah ke Harmoni dimulai.
Jika kita menjenguk foto-foto lama karya Woodbury & Page yang menampilkan kawasan Harmoni pada 1810-an, pusat aktivitas itu masih terlihat lengang meski foto tersebut direkam pada siang hari. Gurat-gurat bekas pedati atau bayangan bangunan di bawah terik matahari tampak kuat. Pada 1810, Daendels membangun sebuah club house bernama Harmoni, yang direnovasi oleh Raffles dua tahun kemudian. Club house yang dilengkapi perpustakaan, ruang dansa, ruang biliar yang mewah, dan ruang makan gala evening itu menjadi pusat kegiatan sosial dan artistik kaum elite Belanda.
Lalu bagaimana dengan Menteng? Menjadi daerah baru yang rimbun dan asri, Menteng adalah contoh praktek tata kota modern, suatu real estate komersial yang pertama menandai liberalisasi ekonomi dan otonomi pemerintahan kota. Tidak mengherankan jika Menteng disebut sebagai kawasan kota Jakarta yang paling bagus dan terencana. Warga Belanda yang berdiam di Batavia baru ini masih banyak bekerja di Batavia lama. Itu karena kantor agen perkapalan dan asuransi firma perdagangan di Batavia lama tidak semuanya bubar.
Para pegawai itu pagi hari berangkat naik kereta kuda menuju Batavia lama, melewati Molenvliet, lalu sore hari mereka pulang ke Batavia baru, bolak-balik dari uptown menuju downtown. Pada 1869, mereka mulai menggunakan trem yang ditarik kuda. Tiga belas tahun kemudian, Batavia mulai menggunakan kereta uap. Trem listrik mulai digunakan pada 1900. Pada waktu mobil mulai muncul, Menteng telah siap. Menteng disebut-sebut sebagai sebuah kota taman yang sepenuhnya mengadopsi mobil dalam tata kota modern.
Saat Indonesia merdeka, Sukarno memimpikan Jakarta memiliki poros utama ibu kota yang sisi-sisinya penuh oleh gedung pencakar langit. Di Koningsplein, ia membangun Monumen Nasional (Monas). Lalu ia memimpikan menghubungkan Monas dengan Kebayoran Baru, yang jaraknya delapan kilometer. Pada 1949, Jakarta mendirikan kota satelit Kebayoran di bawah pimpinan M. Soesilo, seorang insinyur dari Central Planologisch Bureau. Inilah sebuah tata kota modern yang ditandai dengan empat jalan utama yang menyebar dari satu pusat persis ke empat penjuru dan menjadi hunian para pejabat baru pemerintah RI. "Ini adalah karya tata kota pertama seorang Indonesia," kata Marco Kusumawijaya, pengamat tata kota.
Dengan demikian, gagasan Sukarno adalah menghubungkan kawasan Monas dengan Kebayoran Baru, meneruskan poros sebelumnya, Fatahillah (Kota)-Harmoni-Monas, yang telah terbentuk selama era kolonial. Terjadilah kini rangkaian Kota-Harmoni-Monas-Kebayoran Baru. Nama jalan antara Monas dan Kebayoran Baru adalah Thamrin-Sudirman. Dalam bayangan Sukarno, jalan Thamrin-Sudirman menggantikan Harmoni sebagai pusat kegiatan bisnis dan mode. Ini sekaligus mengambil momentum Asian Games IV pada 1962 dan Games of the New Emerging Forces (Ganefo) yang berlangsung di Senayan. Dibangunlah sepanjang Thamrin: Hotel Indonesia, Sarinah, Gedung Nusantara, dan Hotel Presiden (kini Hotel Nikko—Red.).
Di masa lalu, kawasan Thamrin-Sudirman adalah sawah, kebun, dan kampung. Dari pemotretan atas, tampak kawasan ini hijau royo-royo, banyak pohon besar. Entah kenapa, pengerjaan poros itu tidak mempertahankan pohon-pohon besar di pinggir—hingga menjadikan poros itu seperti sebuah boulevard panjang. Susan Abeyasekere, seorang penulis sejarah Jakarta dan pemerhati masalah urban dari Australia, mengatakan poros utama metropolitan Jakarta adalah poros dengan terik. Saat itu, pada 1970-an, menurut Abeyasekere, bila kita berdiri di lantai dua Sarinah, akan terlihat kampung-kampung kumuh Kebon Kacang beserta pohon-pohonnya.
Pada April 1985, akibat keinginan memperluas Jalan Majapahit, bekas Club House Harmonie dibuldoser musnah. Padahal, menurut pemerhati sejarah Jakarta, Adolf Heuken, S.J., Club House Harmonie adalah bangunan club house tertua di seluruh Asia. Harga sebuah poros utama Jakarta memang diwarnai penggusuran kampung-kampung serta destruksi bangunan bersejarah.
Kini sebuah transportasi terpadu yang mahabaru bernama busway akan melewati poros Kota-Kebayoran sepanjang 15 kilometer itu (dengan halte-halte dari aluminium yang terlihat panas). Sebuah perjalanan yang sesungguhnya merangkum empat abad sejarah Jakarta.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini