Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mohammad Amien Rais Putra Nusantara
Pengarang: Irwan Omar
Penerbit: Stamford Press, Singapura,2003
Tebal: 260 halaman
Untuk apa buku dibuat? Jawabannya boleh macam-macam. Tapi, jika ia dimaksudkan untuk dibeli atau dibaca orang lain, sedikitnya buku harus memenuhi syarat berikut: memberikan informasi atau pemahaman baru agar pembaca tak merasa percuma meluangkan waktunya.
Dalam Mohammad Amien Rais Putra Nusantara, Irwan Omar gagal me- menuhi syarat minimal tersebut. Putra Nusantara bukan hanya gagal mem-berikan pemahaman baru terhadap Amien, ia bahkan tak menjawab se- jumlah isu yang bisa menjadi ukuran apakah Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) itu memang pemimpin yang matang dan teruji. Hingga akhir buku, Irwan, yang pernah meraih penghargaan penulisan di Singapura, tak meng- ungkap mengapa para pentolan PAN ramai-ramai pergi meninggalkan Amien. Ia juga tak merasa perlu menelusuri bagaimana hubungan Amien dengan bekas Menteri Keuangan Fuad Bawazier, yang selama ini digosipkan menjadi "kasir" bagi kelompok Poros Tengah.
Putra Nusantara, yang mulai diedarkan pekan depan, sesungguhnya bisa menjadi buku yang penting karena ia bercerita tentang seorang calon presiden. Dan Amien bukan sembarang calon. Ia salah satu kandidat yang menempati peringkat atas dalam setiap jajak pendapat awal pemilihan presiden. Penerbitan Putra Nusantara menjelang pemilu, seperti halnya pembuatan buku Surya Paloh dan Wiranto, tentu di-maksudkan agar ia bisa menjadi alat promosi yang efektif.
Irwan memang menceritakan beberapa babak kehidupan Amien sejak ia dilahirkan di Solo, kegiatannya semasa kuliah, sepak terjangnya sebagai lokomotif reformasi, dan kesibukannya kini sebagai Ketua MPR. Namun, ia justru melewatkan sejumlah fragmen genting, seperti "perseteruan" Amien dengan Gus Dur. Irwan memang mengutip tuduhan yang menuding Amien sebagai oportunis yang mengangkat dan ke-mudian menjatuhkan Presiden Gus Dur, tapi ia tak memberi jawaban apa-apa. Dalam alinea yang sama, Irwan sibuk memberi pernyataan bahwa Amien pemimpin yang dicintai rakyat, yang tak pernah membuang waktunya dengan sia-sia (hlm. 33). Dalam bagian lain, kita bisa membaca jawaban Amien soal perseteruan tersebut, tapi itu pun sebatas "Saya kehilangan kesetiaan terhadap Gus Dur ketika ia tak dapat dijangkau" (hlm. 106).
Irwan juga seperti lupa memaparkan ribut-ribut penambahan kata "iman dan takwa" dalam asas PAN. Dalam buku yang diharapkan bisa memberi konteks sosial, geger asas tambahan ini tak bisa dilewatkan karena sempat membuat publik mempersoalkan ke-tulusan Amien dalam berpolitik: benarkah partai berlambang matahari terbit yang semula terbuka itu akan berubah menjadi partai eksklusif demi perolehan suara lebih besar?
Selain tak menggali beberapa isu terpenting dari kehidupan politik Amien, Putra Nusantara juga gagal memper-lihatkan sosok tokoh yang dikagumi ini sebagai pemikir maupun calon "orang besar". Gambaran Irwan tentang keprihatinan Amien terhadap pedagang kue kecil dan membandingkannya dengan ongkos makan malam di hotel mewah (hlm. 63) malah memberikan kesan seolah-olah Amien kurang rasional dan melankolik-romantik.
Lebih gawat lagi, karya tulis dan pernyataan Amien yang dikutip tak memberi inspirasi atas berbagai persoalan yang kita hadapi. Irwan cukup puas dengan jawaban standar tanpa pendalaman. Dalam hal ancaman kesatuan nasional, misalnya, Amien mengatakan bahwa Jakarta harus mendengar suara daerah, bahwa otonomi daerah di- maksudkan sebagai pendekatan bottom-up dalam mengelola aset nasional (hlm. 131). Pembaca yang sudah terbiasa dengan jawaban klise seperti ini seperti tak punya hak untuk bertanya lebih lanjut: lalu bagaimana implementasinya?
Dalam perekonomian, Amien meng-akui perlunya dukungan internasional (hlm. 135), tapi sekaligus mengingatkan bahaya utang luar negeri (hlm. 129). Amien percaya pertum- buhan ekonomi akan terdorong investasi dan liberalisasi (hlm. 243), namun ia juga ingin mencontoh siasat Mahathir Mohamad mematok nilai tukar (hlm. 242). Jawaban singkat seperti ini niscaya membutuhkan penjelasan lebih lanjut, kalau perlu dengan contoh-contoh kasus, sehingga pembaca bisa diyakinkan bahwa doktor politik lulusan Amerika Serikat ini memang punya back-up pengetahuan yang memadai.
Irwan mencoba "menjual" Amien dengan mengobral jargon-jargon ajaib—begitu banyaknya hingga bisa membuat perut kita mulas. Ia memberikan predikat Amien sebagai pemikir Indonesia, ilmuwan terkemuka dengan perpaduan pendidikan Timur dan Barat. Berulang kali ia menyebut Amien sebagai pemimpin yang dicintai, yang jiwa dan pikirannya menyatu dengan rakyat. Bahkan, "Hanya ada beberapa orang di Indonesia bahkan di dunia yang seperti dirinya" (hlm. 60). Begitu sibuknya Irwan membuat pernyataan, sampai-sampai ia lupa bahwa pembaca lebih membutuhkan deskripsi ke- timbang statement.
Sejak halaman 80, kita disuguhi puluhan foto Amien sebagai selebriti. Ia berdiri di podium, di tengah publik, di depan corong, atau melambaikan tangan kepada khalayak yang memujanya. Memasang foto tokoh sebesar Amien bergaya di atas panggung memang bukan soal haram, tapi apa yang diperlihatkan Putra Nusantara ter-lampau berlebihan, seolah-olah ini buku tentang bintang musik rock.
Pada akhirnya, Putra Nusantara adalah sebuah buku. Kalau diraba, ia juga terasa seperti buku betulan. Namun, jika ditimbang isinya, Putra Nusantara tak lebih dari lembaran pamflet 260 halaman yang kemudian dijilid.
Tentu saja ini tak menjadi soal seandainya buku mewah yang dicetak di Singapura itu dibagikan secara gratis.
Dwi Setyo (pencinta buku)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo