Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebuah revolusi yang letih

Fidel castro terpilih kembali sebagai presiden kuba. kondisi ekonomi ambruk akibat soviet bubar. rakyat mengahadapi krisis besar. pemilu tak memunculkan demokrasi.

24 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk pertama kalinya, Kuba, satu dari empat negeri sosialis yang tersisa, melangsungkan pemilihan umum, Februari lalu. Negeri di Amerika Tengah itu berusaha menyesuaikan diri dengan arus baru, keruntuhan sosialisme universal, menyusul perubahan besar di Uni Soviet. Namun pemilihan umum itu tak menandakan terbitnya demokrasi di sana. Sekali lagi, untuk lima tahun mendatang, negeri berpenduduk 10,4 juta itu memilih tokoh revolusioner Fidel Castro sebagai pemimpin. Penguasa Kuba selama 34 tahun ini bisa bertahan walau rakyatnya sedang menghadapi krisis besar. Kuba, yang membangun ekonominya melalui revolusi dan bantuan Uni Soviet, kini sedang menghadapi kebangkrutan ekonomi. Wartawan Jo Thomas, yang juga pengajar Universitas Illinois, AS, berkunjung ke sana untuk menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi. Laporannya yang dimuat di The New York Times Magazine edisi Maret lalu diterjemahkan Bunga Surawijaya untuk Selingan nomor ini. Tulisan ini dilengkapi hasil studi Liston P. Siregar tentang profil Fidel Castro yang bertekad mempertahankan sosialisme. Kuba dengan Krisis Sesudah Revolusi Penerbangan ke Kuba, check in pukul 5.30 pagi. Meja layanan Haiti Transair sepi di Bandara Internasional Miami. Letak gerai (counter) itu di lantai bawah, jauh dari tempat penjualan tiket lainnya. Perlu tiga jam untuk bisa menumpang pesawat carter selama 30 menit itu. Saya lihat penumpang di sekitar saya membawa kantong plastik penuh dengan antibiotik, aspirin, vitamin, susu dan obat-obat pertolongan pertama. Dan saya tiba-tiba merasa seperti akan menjalankan misi penyelamatan bencana. Di seberang tempat saya, ada pasangan tua berasal dari Matanzas, sebuah kota 63 mil timur Havana. Mereka baru saja mengunjungi keluarga mereka di Tampa, Florida. Berlibur dua bulan di sana. Oleh-oleh yang mereka bawa berdesakan di kantong-kantong plastik, sehingga sulit menutup tempat bagasi di atas kursi. Kuba, yang pernah saya kunjungi dua belas tahun lalu, adalah negeri tempat semua orang ingin hengkang. Pada musim panas 1980, sekitar 125.000 orang lari dengan kapal kecil dari Pelabuhan Mariel. Karena drama seru ini orang seperti lupa, ternyata lebih banyak penduduk Kuba yang tinggal daripada yang mencoba meninggalkan negerinya. Orang-orang Kuba yang tinggal dengan Castro menyebut mereka yang pergi sebagai gusanos, cacing- cacing. Mereka tak keberatan karena ini seleksi yang baik, katanya. Sejak 1980, dunia berubah. Uni Soviet tersingkir dan Washington terus membicarakan kejatuhan Castro. Rontoknya Uni Soviet membuat negeri ini kehilangan 85 persen sumber penghasilan perdagangan luar negerinya dan perekonomiannya pun merosot dalam sekejap. Kelompok sayap kanan di pengasingan, menurut kongres Oktober lalu, memperkuat restu mereka pada Pakta Demokrasi Kuba (Cuban Democracy Act), dan mengimbau agar embargo perdagangan AS yang telah berjalan selama 32 tahun dilanjutkan. Termasuk mengeblok semua bantuan asing dari perusahaan Amerika dan melarang kapal dari pelabuhan Amerika berhenti di Kuba. Toh Castro masih berkuasa. Pemerintahan Castro menyebut tahun-tahun krisis ini sebagai Periode Khusus, seakan ada batasnya meski tak seorang pun tahu kapan itu akan berakhir. Dan saya mengalami sebuah senja di Havana. Orang-orang yang kembali ke rumah dari tempat kerjanya membentuk antrean panjang untuk menumpang bus butut Hungaria yang mengeluarkan asap hitam di kegelapan musim dingin. Penumpang bus berimpitan, luber ke pintu. Ada yang menggayut di pintu atau menggantung bagai laba- laba di badan kendaraan, sementara kakinya mencari celah yang bisa diinjak -- bahkan lubang bensin. Lelaki-lelaki dengan seragam kuning mustard di halte bus mengacungkan potongan papan menghentikan kendaraan milik pemerintah yang lewat, tak peduli ambulans, truk sampah, truk barang, mobil tentara. Tak satu pun terlewati. Mereka memaksa pengemudi mengangkut penumpang yang berjubel di halte. Bensin seret, suku cadang susah didapat, dan bus yang berkeliaran menjadi kurang. Bahkan minyak tak cukup untuk membuat lampu-lampu menyala. Seluruh negeri terpaksa gelap-gulita pada jam-jam tertentu. Tiap hari, kecuali hari Minggu. Mesin pabrik bergantung pada matahari. Dibuka pukul 7 pagi dan tutup pukul 3 siang. Rumah sakit, tempat penitipan anak, sekolah tetap dibuka, tapi kelas malam ditunda. Tangga jalan tak berfungsi. Jam tidak menunjukkan waktu yang tepat. Di gerbang menuju kawasan Malecon, jalan besar sejajar pantai, seorang wanita muda mencoba mencari tumpangan. Saya menghentikan kendaraan saya dan menawarkannya untuk ikut ke tujuanku, tapi ia mau pergi ke tampat yang lebih jauh, ke timur menuju Alamar. Saya bilang okelah, saya akan mengantarnya. Alamar adalah salah satu daerah pinggiran yang berkembang. Kawasan itu dibangun untuk menampung orang-orang desa yang pindah ke Havana. Apartemen-apartemennya lumayan, kata penumpang di mobil saya. Namun dalam Periode Khusus ini sulit untuk bepergian. Ia belajar akunting paruh waktu. Ia pengantin baru, dan tinggal dengan keluarga suaminya. Saat itu gelap, tanpa bulan, dan hari Kamis, saat jam mati lampu berlaku mulai pukul 5 malam sampai 8 malam. Ketika kami mencapai Alamar, mata saya seperti rabun. Di jalan empat jalur itu, mobil saya satu-satunya yang melaju. Yang lain ada gerombolan orang bersepeda, orang berjalan kaki sendirian atau berduaan. Ada yang bersama satu dua anak. Mereka mondar-mandir sepanjang jalan yang gelap. Kami lalu memasuki jalan kecil. ''Gelap di sini,'' kata saya sambil mengerem karena ada sepeda lewat. ''Ini memalukan,'' jawab wanita itu. Ia mengarahkan mobil melalui jalan bercabang-cabang lalu menyuruh saya berhenti di jalanan sepi. Hanya ada dua mobil yang parkir. Kami keluar. Tidak ada lampu jalan dan saya hampir tak dapat melihat gedung di hadapan saya. Penumpang mobil saya itu bertanya apakah saya mau masuk untuk menemui keluarganya. Di lobi apartemen itu ada beberapa orang, tapi tak ada sinar lampu, bahkan tak sebuah lilin pun. Ibu mertua wanita itu sedang memasak makan malam dengan bantuan nyala api dari oven di dapurnya. Menunya semangkuk kentang dan satu mangkuk nasi. Kami berbicara sebentar di dapur, tapi tak ada ruang untuk duduk, jadi kami pindah ke ruang keluarga dan duduk dalam kegelapan. Ayah mertua gadis muda ini seorang dokter spesialis penyakit dalam di klinik bedah terbesar di Alamar. Dalam gelap, saya tak bisa melihat wajahnya, tapi suaranya kedengaran letih. ''Saya bangun pagi pukul 4.45,'' katanya. ''Supaya bisa masuk pukul 8.'' Memang, bila naik mobil, cuma 20 menit. Dan ia punya mobil -- satu di antara dua mobil yang parkir di jalan. Tapi sudah lebih dari sebulan, susah mencari bensin. ''Saya ganti bus tiga kali,'' katanya, ''tapi menunggu satu bus saja bisa berjam-jam.'' Dokter itu berumur 49 tahun, seorang Kuba dari Afrika. Ia pernah menjadi dokter di Etiopia tahun 1977, ketika negeri itu berperang melawan Somalia. Ia ingat kemelaratan di sana, penyakit- penyakitnya. Ia bangga, orang Kuba tidak mengenal penyakit seperti itu lagi. Kami berbicara tentang perbedaan antara perawatan kesehatan di Kuba dan AS karena dokter tahu banyak tentang ini. Ia membandingkan tingkat kematian bayi yang rendah di Kuba dengan tingkat kematian bayi yang tinggi di beberapa kota di Amerika. Ia tahu berapa banyak orang Amerika yang tidak mendapatkan perawatan kesehatan, sementara di Kuba layanan kesehatan bagi wanita hamil diberikan gratis, hampir sejak pertama mereka mulai hamil. Kuba juga salah satu dari sedikit negeri yang menjaga wabah AIDS di bawah kontrol. Namun, kebijaksanaan pemerintah untuk mengetes sebanyak mungkin orang dari HIV dan mengarantina orang yang terinfeksi virus. Tiba-tiba lampu menyala, dan saya dapat melihat wajah-wajah di dalam ruangan. Kebisingan muncul suara radio, televisi. Saya dapat melihat sosok gedung di seberang, dan saya baru sadar kami berada di tengah kompleks apartemen yang luas. Rasanya seperti dalam dongeng: kutukan berakhir dan sebuah kota siluman tibatiba muncul. Coretan-coretan di dinding telah berubah. Bayang-bayang perang telah berganti dengan slogan Si Por Cuba (Yes for Cuba). Salah satu dari pemimpin kampanye ini adalah Roberto Robaina, 36 tahun, pemimpin Persatuan Kawula Muda Komunis (Union of Young Comunists). Ia kerap disebut pengamat Kuba sebagai calon kuat pengganti Castro (ditunjuk sebagai menteri luar negeri dua pekan lalu). Mereka menyebutnya dengan nama kecilnya, Robertico. Saya berjumpa dengannya Sabtu pagi di kantornya, ruangan yang benderang oleh matahari dengan arah pandangan ke laut. Di salah satu dindingnya tergantung foto berwarna Fidel Castro ukuran besar, dan abangnya, Raul, Menteri Angkatan Bersenjata Revolusioner. Robaina, anak sopir bus dan berasal dari kota Pinar del Rio, 100 mil barat daya Havana. Lelaki bertubuh pendek itu amat bersemangat. Bicaranya cepat dan mengucapkan kata ''look'' berkali-kali untuk menekankan kalimatnya. Ia berumur tiga tahun ketika terjadi revolusi di Kuba. (Kenyataannya lebih dari separuh penduduk Kuba, yang 10,4 juta sekarang ini, lahir setelah revolusi.) Pekerjaan Robiana adalah memotivasi kelompok Komunis Muda agar merasa terlibat dengan kehidupan publik. ''Benar kami kekurangan bensin,'' katanya, ''tapi sumber energi yang terbaik adalah para lelaki dan perempuan yang lahir di sini, yang besar di sini,'' katanya. Kampanye Si Por Cuba, katanya, dirancang untuk meningkatkan ''perasaan cinta, sayang, menghargai diri sebagai orang Kuba''. Waktu yang lain kamu dapat melihat satu slogan ''mati untuk Kuba''. Bagaimana dengan Periode Khusus ini? ''Rakyat di dunia telah menunggu tenggelamnya Kuba dalam tiga atau empat tahun. Beberapa tahun lalu mereka mengatakan, negeri itu akan lenyap bulan Januari, akan tumbang bulan Juli, akan jatuh Desember. Kini sudah tiga Januari, tiga Juli, tiga Desember, hari demi hari Kuba ternyata tetap meningkatkan diri. Saya yakin, kami belum sampai menyentuh tombol. Kami berada dalam titik hendak menyentuhnya, dan begitu kami sentuh, kami tinggal landas.'' Apakah Robaina berhasil mencapai targetnya bisa dilihat. Suatu pagi, saya berdiri di lobi hotel yang saya tinggali. Seorang anak muda mendekati saya dan bertanya apakah saya dari Amerika. Ceweknya tinggal di New York, katanya. Ketika ia mengetahui saya wartawan, ia mengatakan ia seorang petinju dan mengundang saya untuk bertemu dengan beberapa kawan petinjunya. Saya berjanji untuk bertemu mereka di sebuah pantai di sisi timur Havana. Saya percaya, mereka memang petinju setelah saya melihat mereka berlatih di pasir pada hari yang panas dan bermain-main dengan ombak. Manuel Lopez, 32 tahun, bekas juara nasional karate Kuba. Dari 1982 sampai 1988 ia tercatat sebagai anggota tim nasional Tae Kwondo. Namun, setelah ia menolak memutuskan hubungan asmaranya dengan seorang wanita bersuami, ia tidak mendapat izin untuk ke luar negeri dan ia akhirnya meninggalkan timnya. Semua ini menyebabkan ia bergabung dengan dua kelompok pembangkang politik, Democratic Sosialists dan Civic Current. Petinju Guillermo Fernandez, 34 tahun, juga bergabung dengan kelompok pembangkang. Ia mengatakan telah menjalani wajib militer, dua tahun setelah mendapat gelar insinyur sipil. Ia kemudian bekerja sebagai insinyur di beberapa proyek pembangunan, termasuk stadion untuk Pertandingan Pan Amerika 1991. ''Tapi saya salah seorang yang tidak ingin pergi dari negeri ini,'' katanya. ''Saya punya posisi bebas dan alasan moral. Saya tak akan pernah pergi. Saya seorang pejuang. Saya menentang orang-orang Amerika. Saya menentang blokade AS terhadap pemerintah Kuba.'' Yang diinginkannya adalah kesempatan untuk menentang pemerintah. Ia juga menginginkan masa depan yang lebih baik. ''Kami tidak menggunakan uang untuk membangun masa depan. Kami menjadi sebuah negeri yang menciptakan citra lewat olah raga, seni, kesadaran, pergaulan internasional, dan rangkaian hal-hal sinting untuk sebuah negeri yang sangat terbelakang. Kini kami bahkan tak punya kertas toilet. Dan mengapa kita tidak memilikinya? Kenapa? Salah siapa? Bagaimana mungkin sekarang ini kita tak punya apa-apa.'' Tanpa bermaksud menjawabnya, pemerintah menunjuk panen tebu. Di bawah perjanjian lama dengan Uni Soviet, Kuba membarter gula dengan minyak yang dibutuhkan. Dan dengan surplus gula, bersama nikel dan ekspor lainnya seperti anggur tebu dan cerutu, mengalirlah impor besar-besaran mulai dari bus, terigu, minyak goreng, sampai kertas toilet. Pemerintah Kuba setuju untuk menjual panen tebu tahun ini ke Rusia, tapi transaksinya sesuai dengan harga pasar. Artinya, hampir seluruh hasil panen hanya untuk membeli minyak. ''Waktu berada di pihak kita,'' ujar Castro dalam sebuah pidato televisi nasional sebelum panen musim dingin. ''Kita butuh waktu.'' Meskipun gula adalah sumber kehidupan di Kuba, dua tahun belakangan tidak ada pupuk untuk menghidupkannya. Juga tak ada penyemprot hama dan bahan bakar untuk irigasi. Dan kini, petani tambah bingung karena hasil panennya tak mungkin diangkut kendaraan tanpa bahan bakar. ''Tawarkan ke bangsa kita lebih banyak waktu untuk melangkah dan menjadi pemenang,'' ujar Castro dengan agak ngotot. Sementara itu, yang menjadi pembicaraan di mana-mana adalah soal pangan. Tak ada desas-desus yang menjalar lebih cepat dari isu orang Kuba kelaparan. Dan para pejabat berusaha keras menyangkalnya. ''Tidak seorang pun yang kelaparan,'' ujar mereka. Namun pernyataan ini memang ada benarnya. Kali terakhir saya mengunjungi Kuba, para petani bisa menjual surplus pangannya di pasar gelap. Sebagian petani menjadi sangat makmur. Namun yang ketahuan didakwa menggelapkan sumber penghasilan pemerintah. Untuk amannya, ''jalan belakang'' ini dimatikan. Kini buruh harian disebar untuk bertani di bekas tanah tandus yang luasnya berhektare-hektare. Para dokter dan guru-guru besar, anak-anak petani, ikut turun menggarap tanah harapan ini. Seorang ahli bedah saraf mengatakan ia tidak khawatir tangannya lecet. Beberapa wanita mengatakan mereka kendati turun ke sawah malamnya tetap mengecat kuku jarinya. Ratusan orang kota bahu-membahu memunguti batu cadas dan menyebarkan benih tanaman yang cepat tumbuh. Ketika melewati Batabano, 30 mil selatan Havana, pada suatu siang yang terik, saya melihat gundukan buah-buahan menunggu diangkut truk-truk yang akan membawanya ke berbagai penjuru Kuba. Pisang raja punya waktu empat sampai lima hari sebelum busuk. Seorang lelaki yang duduk di gerbang Havana pada suatu sore mengatakan ia punya pekerjaan tapi tidak bisa membeli makanan yang cukup. Dengan kartu catu, keluarganya bisa membeli beras (2,25 kg per orang per bulan), kacang-kacangan (2 kg), gula (sekitar 3 kg), dan telur (4 butir per orang tiap minggu), seporsi kecil ikan dua kali sebulan, dan kopi (400 gram). Namun ini tidak bertahan satu bulan. Ia dan istrinya keluar rumah tanpa makan, agar jatahnya bisa dimakan ketiga anaknya. Ketika malam hampir tiba, laki-laki itu, di hadapan, saya cuma makan satu potong roti. ''Ini bikin sinting,'' katanya. Seorang wanita di seberang jalan sedang mengambil air dari pipa ledeng di jalanan. Ia mengatakan kepada saya ledeng di rumahnya bocor, tak berfungsi seperti halnya perabot rumah tangga lain di rumahnya. Saya ingin melihat apartemennya. Ketika saya masuk, ia menunjuk kabel-kabel listrik yang copot. ''Tidak bisa terus- terusan begini,'' katanya. ''Fidel pasti jatuh. Fidel pasti jatuh,'' umpatnya. Bulan lalu, katanya, keluarganya kehabisan makanan. Jatah sebulan habis dalam waktu seminggu. Mereka juga tak melihat daging selama empat bulan. Ia seorang janda, punya dua putri remaja yang bekerja di kantin sekolah. Yang bisa membuat mereka tetap hidup, katanya, adalah pasar gelap. Wanita ini datang ke Havana setahun lalu karena segalanya memburuk di desa. Di kampung, menurut anaknya, ''seperti di Afrika, tidak ada apa-apa.'' Namun sebenarnya di daerah-daerah pedalaman itu pemerintah Kuba membangun dan memperbaiki ribuan rumah setelah revolusi 1959. Itu adalah usaha untuk memperbaiki keadaan perumahan yang menyedihkan di desa-desa -- 74 persen di antaranya buruk. Itu juga upaya yang berhasil untuk mencegah petani berbondong ke ibu kota, seperti yang terjadi di banyak negeri yang punya pedesaan miskin. Namun Havana, yang punya rumah-rumah terbaik, sekarang sedang memburuk. Pada 1990, ketika orang Kuba mulai memperhatikannya, Periode Khusus datang dan uang habis. Pada suatu Minggu siang, saya melaju di jalan utama di sebelah barat Havana, melewati truk-truk, sepeda, kereta lembu, lusinan orang yang hendak menumpang, dan ratusan orang yang sedang menunggu bus. Kendati orang-orang dewasanya kelihatan lebih kurus daripada yang saya ingat, anak-anak kelihatan sehat. Saya tidak melihat kemelaratan seperti yang saya lihat di mana-mana di Karibia dan negara Amerika Latin lain -- sulit air bersih, sanitasi buruk, dan banyak tunawisma. Bahkan di desa-desa Kuba, anak-anak memakai sepatu, dan saya melihat kabel listrik sampai ke gubuk-gubuk. Saya mendapat tiga pembonceng, semuanya tiga wanita muda. Salah satu dari mereka menawarkan saya untuk menemui keluarganya. Kami ke luar dari jalan besar dan berjalan beberapa mil lagi sampai kami mencapai jalanan berpasir ke arah perkebunan tebu. Bibinya tinggal di situ, di batey, sekumpulan rumah kecil dari kayu di areal perkebunan itu. Sudah lebih dari setahun, traktor tak pernah digunakan. Tak ada bahan bakar. Fungsinya digantikan lembu dan kuda. Wanita di perkebunan itu juga sudah lama mencuci tanpa deterjen dan sabun. Tapi yang membuat mereka benar-benar kecewa, mereka harus memasak tanpa minyak goreng. Dan lucunya, kendati mereka hidup di tengah kebun tebu, tak ada gula di atas meja, tak ada minuman anggur tebu. Kata para petani, seluruh produksi gula diekspor. Anak- anak mendapat segelas minuman manis di sekolah. Tapi mereka sudah lama tidak diberi susu. Yang paling mengganggu para lelaki, mereka tidak punya kaus kaki. Mereka membuka sepatu butnya dan memperlihatkan kaki mereka yang luka-luka. Tak seorang pun punya mobil. Yang ada hanya sepeda, yang aslinya berharga 125 peso. Kini harganya 10 kali lipat. Gaji per bulan para petani 300 peso. (Nilai tukar resmi satu peso sama dengan US$ 1 di pasar gelap, 40 peso sama dengan US$ 1). Penduduk yang tinggal dekat pantai mencoba meninggalkan negerinya. Sebagian berhasil. Yang lainnya, masuk penjara. Penguasa datang dan menyita perahu yang biasanya digunakan untuk memancing, karena khawatir ada orang yang memakainya untuk kabur dari Kuba. Masa depan apa yang mereka ramalkan? Apa yang mereka pikir akan dilakukan Fidel? ''Kami ada dalam genggamannya,'' kata seorang wanita. ''Kami tidak tahu apa ini akan menjadi lebih buruk. Apakah ia akan mati atau hidup, apa bedanya. Kami sudah tak punya apa-apa.'' Karena tahu bahwa beberapa anggota keluarga mereka mencoba lari, saya bertanya apa yang mereka pikir tentang gerakan anti-Castro yang dilancarkan orang-orang Kuba di pengasingan di Miami. Khususnya Jorge Mas Canosa (ketua Yayasan Nasional orang-orang Kuba di Amerika, kelompok orang-orang Kuba di pengasingan yang paling berpengaruh). Mereka mengernyitkan alis dan mengatakan tidak tahu siapa Mas Canosa. Namun mereka takut bila orangorang Kuba di Miami berkuasa. Ini yang dikatakan berulang-ulang ketika saya menyusuri Kuba dalam 19 hari. Bahkan mereka yang membenci Castro tak ingin orang-orang Kuba di Miami itu kembali. Kalau mereka harus berpikir tentang pengganti Castro, mereka akan mencari orang Kuba yang berada di Kuba. Tapi siapa? ''Apa akan ada bedanya bila Ochoa berkuasa,'' kata seorang wanita. Jenderal Arnaldo Ochoa Sanchez adalah pejabat yang banyak mendapat tanda penghargaan. Ia populer. Tapi ia dihadapkan ke depan regu tembak pada 1989 karena dakwaan mengatur penyelundupan kokain. Suatu hari dalam perjalanan menunju ke timur, saya bertemu dengan seorang wanita muda yang sedang mencari tumpangan ke rumahnya, di Provinsi Cienfuegos. Ketika saya menawarkan untuk menumpang mobil saya dan ia tahu saya dari AS, ia mengundang saya mengunjungi keluarganya. Mereka tinggal di kawasan pabrik gula Primero de Mayo. Ivetty Curbelo mahasiswi sastra Inggris. Penulis favoritnya William Shakespeare. Di perjalanan ia mengaku suka musik rock and roll dan penyanyi favoritnya Pablo Milanes. Ia fans aktor Mel Gibson dan senang film detektif, khususnya Lethal Weapon. Ia anggota fanatik Persatuan Komunis Muda dan ayahnya, seorang polisi. ''Ia bekerja, siang malam. Ia sekarang mungkin sedang kerja.'' Cerobong asap pabrik gula dari pabrik gula raksasa menjulang di atas ladang tebu yang menghijau. Kantong Primero de Mayo, yang berdampingan dengan pabrik itu, terletak di ujung jalan besar yang di pinggirnya berbaris pohon nyiur. Kami melewati stasiun kereta api berdinding kayu tua yang dicat kuning. Ada papan bertuliskan ''Perseverance'' (keteguhan hati). Zaman dulu, ini akan menjadi waktu kematian, ketika panen tak berbuah, dan tak ada pekerjaan, para buruh hidup dari utang atau harus mati kelaparan. Kota ini kecil, dengan jalanan berdebu merah. Permukiman di situ kebanyakan rumah kayu atau batu bata. Beberapa di antaranya bar yang dibuat sendiri oleh pemiliknya. Ada sebuah sekolah, satu klinik, dan satu gedung bioskop. Ingat selera Ivetty dalam film-film action, saya menduga jangan-jangan ayahnya bertubuh Arnold Schwarzenegger. Ternyata, ketika Eusebio Curbelo muncul dengan seragam polisinya, ia tidak seangker yang saya bayangkan. Ia seorang periang, bertubuh kecil. ''Ya Tuhan, panasnya bukan main!'' katanya sambil melempar senyum lebar. Keringatnya membasahi baju. Curbelo, 55 tahun, kini bekerja sebagai polisi pembantu (auxiliary policeman). Sebagai anak bersaudara sembilan, ia harus membantu keluarganya bekerja sejak umur sembilan tahun. ''Saya tak pernah bersekolah dan berjuang sebagai tentara pemberontak.'' Kenapa bergabung? ''Saya sendiri tak mengerti. Saya tidak tahu apa-apa. Ibu saya pikir saya gila. Saya satu-satunya dalam keluarga yang masuk tentara,'' katanya. Ia antara lain pernah bergerilya di Pegunungan Escambry. ''Setelah revolusi, kami semua yang buta huruf masuk sekolah. Saya sekarang sudah bisa membaca.'' Bagaimana hidup selama Periode Khusus ini? ''Tiap hari bertambah buruk,'' katanya. ''Tapi kita harus berusaha dalam keadaan seperti ini, menanam padi dan sayuran. Di Kuba, tak seorang pun sekarat karena kelaparan. Yang harus dilakukan adalah bekerja, bekerja keras. Pada masa sebelum revolusi, sebagian orang makmur, sisanya melarat. Kami tidak bisa membaca, tak punya radio atau koran. Ketika itu hidup seperti malam yang gelap. Kini sebagai hari yang cerah. Lagi dan lagi, Castro dan pejabat Kuba lainnya muncul di televisi untuk meyakinkan rakyat bahwa rencana telah dibuat untuk menanggulangi Periode Khusus ini. Lagi dan lagi, mereka mendesak agar rakyat bekerja keras dan bersabar. Ketika saya di Kuba, Carlos Lage, yang mengkoordinir restrukurisasi ekonomi Kuba, mengadakan konperensi pers selama tiga jam -- disiarkan di televisi terus-menerus selama dua hari. Tujuan jangka panjang terpenting Kuba adalah menjadi paling unggul di dunia dalam bidang bioteknologi, meskipun ada kesulitan memecahkan waktu untuk masuk ke pasar internasional untuk bidang farmasi. Industri akan didominasi oleh perusahaan multinasional yang akan mengucurkan dana jutaan dolar untuk membangun dan memasarkan hanya kendati satu obat. Saya menghabiskan suatu pagi meninjau Pusat Bioteknologi dan Rekayasa Genetik di pinggiran Havana. Lembaga itu dibuka tahun 1986. Dengan dukungan dana sepenuhnya dari pemerintah, ilmuwan Kuba telah membuat interferon rekombinan yang telah dipasarkan ke Swedia, Finlandia, Meksiko, Peru, Cili, Panama, dan Kosta Rika. Mereka juga telah memproduksi sejenis krim yang bisa menghilangkan carut ketuaan. Begitu juga obat, PPG, pencuci kolesterol dari darah. Vaksin hepatitis B produksi mereka digunakan di Brazil. Namun cara tercepat untuk mendapat jalan ke luar bagi minimnya devisa adalah turisme. Investor swasta dari Spanyol, Jerman, Jamaika masuk untuk mengusahakan hotel. Industri pariwisata telah berubah total mulai sepuluh tahun lalu. Wisatawan dari blok Soviet tidak ada lagi. Tahun lalu, setengah juta turis datang dari Kanada, Spanyol, Italia, dan Amerika Latin. Di Varadero, 90 mil timur Havana, di bawah kaki langit terhampar pantai mahapanjang, berpasir putih dengan hiasan burung-burung bangau dan hotel-hotel baru. Pada suatu hari Minggu, saya berhenti di Tuxpan, yang dibangun dengan gaya piramid Meksiko dan dipenuhi dengan kembang, tanaman tropis, dan sejumlah pelancong dari Kanada. Eamonn Donnelly, seorang berkebangsaan Irlandia yang menjabat direktur umum perusahaan Jerman LTI, adalah seorang manajer kontrak untuk Tuxpan. Ia berkulit cokelat dan ramah, pernah bekerja di Jerman, Spanyol, Pulau Canary, dan Brazil. Menurut Donnelly, mengurus hotel baru di Kuba lebih mudah daripada yang dikiranya. ''Kami menyelesaikan tahun pertama dengan tingkat pengisian kamar rata-rata 68%, dan sekarang lebih dari 86%, dengan keuntungan kotor sekitar 48%.'' Kembali ke Havana, saya bertemu Rafael Sed, Presiden Institut Pariwisata Nasional. Kami berbincang di sebuah ruangan dekat lobi gemerlap Hotel Nacional. Hotel itu baru direnovasi pemerintah Kuba dengan biaya US$ 15 juta. Saya bertanya tentang kemungkinan pengaruh buruk bila turis kaya makan di restoran yang sebagian besar terlarang untuk orang-orang Kuba (yang tidak diizinkan memiliki dolar Amerika) dan berbelanja di toko yang pembayarannya dengan dolar. ''Saya rasa sebagian besar penduduk tidak mengerti dan tidak ingin mengerti,'' katanya, ''bahwa itu adalah sumber pemasukan yang perlu pengorbanan mereka. Barang-barang dari luar negeri harus dibayar dengan dolar, dan jika mereka menjualnya dengan harga peso, persediannya akan cepat habis. Keuntungan dari turisme, tambahnya, bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan.'' Kedengarannya baik secara teoretis, tapi keseleo dalam prakteknya. Anak-anak meminta sabun di jalanan. Direktur teater bertanya apa saya bisa mencari sebotol sampo untuknya. Beberapa cewek minta dibelikan sepatu. Saya bertemu dengan Carlos Garcia, Wakil Presiden Cubanacan -- perusahaan pariwisata yang berkongsi dengan investor Eropa dan Amerika Latin. Saya bertanya padanya apa yang akan terjadi jika bila embargo AS dihentikan, dan hubungan diplomatik dipulihkan. Apakah hotelnya akan dipenuhi dengan turis yang membawa dolar dan gagasan Amerika? ''Itu tantangan besar buat kami,'' katanya. ''Soalnya kami disiapkan selama 30 tahun untuk bertemu dengan tentara Amerika, bukan dengan para pelancong.'' Televisi Kuba telah membawa gagasan dari luar, dan sudah memungkinkan orang-orang Kuba mulai memahami fiksi ilmiah Ray Bradbury dan konser Ray Charles. Kesukaan orang Kuba kini serial opera sabun Brazil dengan tokoh utamanya, Fatima, wanita profesional muda yang mencari hidupnya sendiri. Pemilihan umum yang baru lewat adalah upaya pemerintah untuk mendapatkan darah baru dan mandat rakyat. Tapi masih jauh dari memberi kesempatan pada orang seperti Elizardo Sanchez, bekas guru besar filsafat yang kini pemimpin Partai Sosial Demokrat. Ia juga Presiden Komisi Kuba untuk Hak-Hak Asasi Manusia dan Rekonsiliasi Nasional. Ketika saya mencoba menemuinya di rumahnya, ia tak ada di tempat. Keluarganya kelihatan ketakutan, tapi sempat memberi alamat lain. Ia berada di apartemen seorang temannya. Sanchez berumur 48 tahun. Pria berambut kelabu mencerminkan sikap seorang yang serius dan sopan. ''Rumah saya yang kau datangi, sudah delapan kali diserang polisi politik. Saya rasa itu rumah yang paling banyak diganggu di negeri ini. Keluarga saya amat terteror.'' Kami bicara tentang pelanggaran hak-hak asasi yang dilakukan pemerintah Kuba. ''Di Kuba terlalu banyak polisi, terlalu banyak tahanan, dan terlalu banyak tawanan politik,'' kata Sanchez. Selain pemerintah, tak ada yang tahu berapa banyak jumlah mereka persisnya, mungkin 2.000 atau mungkin 5.000. Tawanan politik ini adalah rakyat biasa. ''Sebenarnya kebanyakan orang sudah memiliki perasaan takut yang lekat. Mereka sudah tahu apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan. Namun kini orang mulai mengatakan sesuatu yang tidak terpikirkan dua atau tiga tahun lalu. Dalam banyak kesempatan, pemerintah membiarkannya, tapi ketika protes meluas, dan makin banyak orang terlibat, polisi segera datang,'' kata Sanchez. Sanchez menyebut pemilihan umum cuma ''perubahan kosmetik'' dan pemerintah mencoba memperpanjang waktu berkuasa. ''Padahal mereka tak punya jalan keluar yang nyata dari krisis nasional yang berat ini''. Pemilu adalah taktik pasif untuk menunggu dan melihat adanya keajaiban datang. ''Menurut saya rakyat kehilangan waktu, karena saat terbaik untuk mendapat perubahan bisa lewat.'' Sanchez, salah satu dari sejumlah pembangkang yang juga menentang embargo AS. Embargo itu hanya membuat keadaan makin buruk di dalam negeri Kuba. Sikap agresif Washington memberi peluang pemerintah Kuba untuk mengawasi keras rakyatnya sendiri. Ia menyebut Pakta Demokrasi Kuba (di AS) sebagai demonstrasi kurangnya imajinasi dan pemahaman intelijen. Kelompok politiknya, Sosialis Demokrat, menginginkan dialog dengan pemerintah dan kelompok lain di Kuba termasuk orang- orang Kuba di Miami. Tapi, menurut Sanchez, Castro tidak akan jatuh dalam waktu dekat. ''Pemimpin totaliter ini pengikut neo-Stalin yang relatif stabil. Mereka memiliki stabilitas internal yang besar, ditambah kapasitas yang tak terbatas untuk menindas. Meski dalam situasi sangat kritis ini mereka bisa bertahan beberapa tahun lagi. Tragedi Kuba sekarang ini mungkin menjadi penderitaan yang berkepanjangan. Ketika saya akhirnya bertemu Castro, ia sedang mengadakan pertemuan dengan kelompok gereja Amerika, ''Para Rahib untuk Perdamaian.'' Mereka datang ke Kuba untuk memprotes embargo AS. Mereka berkumpul di Gereja Baptis Ebenezer di Havana. Castro berbicara di muka potret raksasa Martin Luther King Jr. Orang- orang AS itu membawa makanan, pakaian, obat-obatan dan barang- barang lain melalui Meksiko, menyeberang perbatasan Texas. Mereka dengan diam-diam melanggar embargo masuknya barang Amerika ke Kuba. Saya diberi tahu di perbatasan Texas seorang rahib Katolik yang membawa injil dihantam agen departemen keuangan yang mencoba merebut barang-barang itu darinya. Castro menghampiri tamu-tamunya dan memeluk mereka. Kelompok itu menghadiahinya sebuah Injil. Seperti biasa, Castro, 66 tahun, memakai baju seragam militer. Saya lihat wajahnya yang jauh lebih tua dari yang saya lihat terakhir kali. Bukan hanya janggutnya yang sudah abu-abu, tapi ia kelihatan letih dan tegang. Namun, ketika ia mulai bicara, ia tetap Castro yang karismatik seperti dulu. ''Blokade itu bertujuan untuk menghambat seluruh perdagangan ke Kuba,'' kata Castro pada kelompok itu. ''Agar Kuba kehilangan sumber kebutuhan pokoknya. Blokade itu sebuah penganiayaan terhadap seluruh rakyat Kuba, penyiksaan yang terus- menerus. Pada akhir pidatonya, Castro mengatakan kepada para tamunya, ''Injil belum selesai ditulis, dan kalian adalah halaman lain dalam buku itu. Beribu-ribu terima kasih.'' Untuk kebanyakan orang Amerika, kisah invasi Teluk Babi -- serangan AS ke Kuba -- sudah menjadi bagian sejarah, namun tidak untuk orang Kuba. Embargo AS memperpanjang ingatan adanya musuh 90 mil di seberang Selat Florida. Satu blok dari pantai, tempat tentara asing dulu mendarat, berdiri sebuah museum. Di bagian luarnya tergeletak runtuhan baling-baling pesawat penyerbu. Di dalam museum dipajang penjelasan detail tentang invasi Teluk Babi. Di balik kaca tergantung foto-foto orang Kuba yang tewas di situ. Di sampingnya sepasang jins berlubang digantung. Ini milik seorang pemuda yang menulis ''Fidel'' di pintu dengan darahnya sebelum mati. Namun, setelah revolusi, pemerintah Kuba berusaha mendekati AS. Ricardo Alarcon, Menteri Luar Negeri Kuba, bukan orang asing dalam situasi sulit seperti ini. Veteran diplomat yang mewakili Kuba di PBB ini membantu negosiasi mundurnya pasukan Kuba dari Angola. Alarcon punya kantor di mansion Havana yang direnovasi untuk mencerminkan kebesaran masa sebelum revolusi. Kami bertemu di ruangan berdinding kayu mahoni dan dipenuhi barang antik. Kami bicara tentang pemungutan suara di Sidang Umum PBB, tempat banyak sekutu AS mendukung Kuba dalam resolusi tak mengikat yang mengutuk Pakta Demokrasi Kuba. Pakta ini, katanya, memang dimaksud untuk memberi kekuatan hukum bagi paktek lama Washington dalam menekan negeri lain agar tak melakukan perdagangan dengan Havana. Setahun lalu, beberapa pejabat luar negeri AS mengatakan kepada Alarcon bahwa mereka pikir undang-undang adalah satu kesalahan. Ia belum tahu bagaimana sikap pemerintahan Clinton terhdap Kuba. ''Untuk Kuba,'' katanya, ''akan benar-benar memuaskan bila mereka membiarkan kami dalam kedamaian, jika mereka tidak aktif seperti pemerintah Partai Republik yang terus menjegal Kuba di seluruh dunia.'' Sikap itu atas dasar seakan-akan Kuba hendak melakukan revolusi, katanya, padahal kalau dilihat dengan mata jernih, tidak ada bukti ke arah itu. Namun, kata Alarcon, ia mengira suatu saat situasi akan berubah. ''Hanya dua keadaan yang dapat terjadi. Kami lenyap, atau tidak. Kami bertahan, atau tidak. Jika kami tidak menghilang, kami bertahan, jika masyarakat sosialis Kuba tetap hidup di sini setelah berakhirnya perang dingin, setelah tidak ada ancaman komunis bagi Amerika Serikat, tidak ada lagi alasan politik yang mengharuskan Amerika mengambil sikap bermusuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus