PADA Minggu, 27 Desember 1992, di Stadion Uni, Bandung, direncanakan sebuah pentas musik hard-rock. Penonton berduyun sejak pagi hari karena pertunjukan akan dimulai pukul 10.00. Tapi pada jam itu pintu stadion tetap tertutup rapat. Penonton gelisah. Belakangan keluar pengumuman pertunjukan malah dibatalkan. Keruan, massa penonton marah. Kerusuhan meledak. Sekolah Komputer Al Fathonah, yang terletak di sisi Stadion Uni, menjadi sasaran kemarahan massa. Bangunan tiga lantai itu, berikut isinya, dirusak dan dijarah. Massa yang mengamuk kemudian turun ke jalan merusak kendaraan yang melintas dan melempari toko serta rumah yang dilewati. Kericuhan baru bisa diatasi menjelang sore. Berkaitan dengan perusakan itu Mochamad Imam S. Kasiman, pemilik Sekolah Komputer Al Fathonah, dua pekan lalu menuntut ganti rugi Rp 1,3 miliar ke penyelenggara pentas musik keras itu. Masing- masing PT Generasi Muda Radio (tergugat I), Direktur PT Gudang Garam Cabang Jawa Barat (tergugat II), dan Okus Gumilang, ketua panitia (tergugat III). Ketika gugatan itu diproses, Sabtu dua pekan lalu, terjadi keributan serupa di Stadion Lebakbulus, Jakarta. Juga akibat pertunjukan musik keras, kali ini konser Metallica, grup musik dari Amerika Serikat. Warung dan kedai minum di sekitar stadion hancur. Puluhan mobil ringsek, pejalan kaki wanita dipermalukan, dan rumah-rumah dan pertokoan mewah di Pondok Indah dilempari. Peristiwa-peristiwa itu menggugah para ahli hukum untuk mempersoalkan, bisakah penyelenggara dibebani tanggung jawab mengganti kerugian yang ditimbulkan massa yang tidak puas. Yurisprudensi soal itu ternyata belum ada karena selama ini ganti rugi biasanya diselesaikan secara musyawarah. Dalam konteks ini gugatan Mochamad Iman S. Kasiman di Bandung menjadi penting untuk diamati. Sayangnya, persidangan yang baru sekali berjalan itu ditunda. Menanggapi kasus yang di Bandung, Ketua Jurusan Ilmu Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Nyonya Djuhaendah Hasan, berpendapat bahwa penyelenggara wajib bertanggung jawab. Ia menyoroti khususnya pembatalan pertunjukan. ''Seperti orang naik bus kota. Tanpa perlu dituangkan dalam perjanjian tertulis, orang yang membeli karcis harus diantar ke tempat tujuan,'' katanya kepada Taufik Abriansyah dari TEMPO. Karena itu ia menganggap kesalahan ada pada penyelenggara. Maka, kerugian yang ditimbulkan bisa dilihat sebagai akibat kesalahan penyelenggara. Bagaimana dengan konser Mettalica, yang kerusuhannya ditimbulkan oleh pengunjung yang justru tidak membeli karcis? Djuhaendah tetap berpendapat, penyelenggara yang harus bertanggung jawab. ''Kan kerusuhan itu merupakan rangkaian peristiwa konser Metallica?'' katanya. Namun, untuk pastinya, Djuhaendah berharap ada pihak yang dirugikan mau menempuh jalur pengadilan. ''Demi kepastian hukum,'' katanya lagi. Ahli hukum perdata M. Yahya Harahap berpendapat sama. Ia melihat ada unsur conditio sine qua non, hubungan antara kerusuhan dan pertunjukan. ''Kalau tak ada pertunjukan, tak akan terjadi kerusuhan,'' katanya. ''Pertunjukan Metallica itu kan bisnis?'' katanya. ''Dalam bisnis, harusnya ada perhitungan adanya kemungkinan yang bisa menimbulkan kerugian.'' Menurut Yahya, pihak penyelenggara baru bisa lepas dari jerat hukum apabila berhasil membuktikan kericuhan terjadi di luar kemampuan mereka (force majeure). Siti Ismijati Jeni, Ketua Jurusan Kekhususan Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, melihat ada perbedaan antara huru-hara di Bandung dan di Jakarta. Perbedaannya, ikatan perjanjian antara penyelenggara dan penonton dalam bentuk pembelian karcis. ''Sebenarnya, yang paling bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian adalah si perusak,'' kata Jeni. Pelaku dapat dikenai pasal 1365 KUH Perdata. Tapi bila perusak ini pembeli karcis, promotor bisa dituntut dengan dasar pasal 1367 KUH Perdata perbuatan dan perusakan dilakukan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab penyelenggara. ''Penyelenggara pertunjukan harus bertanggung jawab atas keamanan yang berkaitan dengan pertunjukan,'' ujar Ismijati Jeni. Namun Jeni mengungkapkan, bila perusakan dilakukan oleh massa bukan penonton atau pembeli karcis, promotor tidak terkena pasal 1367 itu. Karena tidak terjadinya pembelian karcis, antara promotor dan massa tidak terjadi ikatan perjanjian. Maka, massa ini bukan tanggung jawab penyelenggara. T. Mulya Lubis, pengacara Airo, penyelenggara konser Metallica, berpendapat kurang lebih sama dengan Jeni. Ia menegaskan, pihaknya bertanggung jawab atas kerusakan di dalam stadion. Sedangkan yang di luar itu, katanya, sedang diteliti pihak berwajib. ''Tapi, secara hukum, yang ini sebenarnya tak punya sangkut paut dengan penyelenggara,'' katanya Namun Setiawan Djody, dari Airo, menyatakan bersedia mengganti kerugian yang terjadi di luar stadion. ''Berdasarkan skala prioritas, dan melihat dulu siapa yang dirugikan,'' katanya. Niat yang didasari rasa kemanusiaan ini kembali ke jalan musyawarah, bukan hukum. Aries Margono, Andy Reza Rohadian, dan Faried Cahyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini