Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Segepok Janji Bermeterai

Hasyim Muzadi berjanji tak akan membawa NU bermain politik praktis. Sejarah berulang dengan aktor yang berbeda.

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH terobosan baru yang muncul dalam muktamar ke-31 organisasi Nahdlatul Ulama yang digelar di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Seorang calon ketua umum Pengurus Besar NU (PBNU) harus meneken kontrak dalam selembar kertas bermeterai Rp 6.000. Isinya? Jika terpilih, ia tidak membawa organisasi kaum nahdliyin itu dalam kegiatan politik praktis. Dia juga tidak boleh mencalonkan diri untuk jabatan di legislatif maupun eksekutif.

Kontrak itu dirancang oleh rais am terpilih, K.H. Sahal Mahfudz, pada Rabu pekan lalu, sehari sebelum pemilihan ketua umum dilakukan. Kedua calon yang bertarung, H.M. Hasyim Muzadi dan Masdar F. Mas?udi, pun bersedia menekennya. Dan akhirnya Hasyimlah yang terpilih menjadi Ketua Umum PBNU.

Akankah janji di atas kertas bermeterai itu ditepati? Melihat sejarah panjang organisasi yang didirikan K.H. Hasyim Asy?ari ini, segalanya bisa terjadi. Janji yang dituangkan dalam kontrak jam?iyyah itu bisa saja suatu saat diingkari. Hanya, sejauh ini Hasyim bertekad melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. ?Saya sudah meneken kontrak jam?iyyah dan saya tidak ragu-ragu,? kata pendiri Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur ini.

Itu berarti roda NU akan digerakkan sesuai dengan Khitah 1926, saat organisasi ini didirikan. Memiliki anggota sekitar 40 juta, NU akan lebih banyak berperan sebagai lembaga sosial dan keagamaan. Kebijakan semacam ini sebenarnya sudah dipatok pada muktamar di Situbondo 1984, tapi tidak dilaksanakan secara konsisten.

Langkah organisasi perlu diluruskan lagi karena sekarang NU cenderung terseret dalam permainan politik. Ini tecermin dari cukup besarnya penolakan terhadap kepemimpinan Hasyim Muzadi. Bersama K.H. Abdurrahman Wahid, sekitar 30 kiai berpengaruh berbagai pesantren berupaya menjegal tampilnya lagi Hasyim. Mereka antara lain berasal dari Pesantren Langitan (Tuban, Jawa Timur), Pesantren Parakan (Temanggung, Jawa Tengah), dan Pesantren Buntet (Cirebon, Jawa Barat). Alasannya, Hasyim dianggap telah membawa NU ke arah politik praktis. Sebagai bukti, ia mencalonkan diri sebagai wakil presiden mendampingi Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati, dalam pemilihan umum lalu.

Hasyim masih berusaha membela diri. ?Saya nyalon, bukan membuka salon, tapi maju sebagai calon, karena itu dimungkinkan oleh aturan NU,? katanya. Meski begitu, setelah meneken kontrak, dia berjanji tak akan melirik jabatan eksekutif maupun legislatif.

Dia akan berkonsentrasi pada program-program untuk kemajuan NU. Salah satunya dengan pembangunan institusi sehingga kultur yang ada di NU bisa diwadahi dalam sistem. Hasyim mencontohkan, langkah sejumlah kiai yang berniat membuat NU tandingan setelah kalah di muktamar. Ini tidak bisa dibenarkan. Siapa pun pengurusnya, semua warga NU harus tunduk pada tatanan. ?Semua tokoh harus ikut NU, bukan NU-nya yang ikut,? ujarnya,

Hasyim juga akan mengukuhkan pemikiran dan posisi keagamaan NU. Organisasi ini merupakan Islam ahlussunnah waljamaah, berpikir moderat tapi juga tak liberal. Ia pun bertekad memperjelas program NU terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi keumatan. Satu lagi, meningkatkan peranan kebangsaan dan internasional. Posisi NU bagi bangsa jadi jelas dan terasa gunanya. ?Posisi NU menjadi garam untuk bangsa ini,? kata Hasyim.

Tekad itu disokong penuh oleh Kiai Idris Marzuki dari Pesantren Lirboyo, Kediri. Menurut dia, sudah waktunya NU kembali ke Khitah 1926 secara murni. Kiai yang menjadi sponsor utama Hasyim Muzadi ini menegaskan agar NU tidak terikat dengan salah satu partai politik mana pun. NU juga harus menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik. Menurut dia, desakan itu paling kuat datang dari pengurus NU luar Jawa. ?Karena di sana tidak ada Partai Kebangkitan Bangsa,? kata Kiai Idris.

Bukan kali ini saja tarik-menarik terjadi di NU. Pergulatan yang berlangsung sekarang seolah mengulang peristiwa serupa 20 tahun silam. Saat itu NU terbelah dalam dua kelompok, kubu Cipete dan kubu Situbondo. Kelompok Cipete dimotori oleh tokoh NU yang bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) seperti Idham Chalid, K.H. Anwar Musaddad, dan Cholid Mawardi. Mereka ingin organisasi NU tetap terlibat dalam politik. Keinginan ini ditentang oleh kubu Situbondo, yang cenderung membawa NU keluar dari politik dan memilih menjadi gerakan kultural. Kelompok ini dimotori para ulama kultural antara lain K.H. As?ad Syamsul Arifin (Salafiyah Syafiiah Situbondo, Jawa Timur), K.H. Achmad Siddiq (Asidiqiyah Jember, Jawa Timur), dan K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Pertarungan kedua kelompok itu mencapai puncaknya pada Muktamar NU ke-27 di Pesantren Salafiyah Syafiiah, Situbondo, Jawa Timur, pada 1984. Kubu Situbondo lebih beruntung karena mendapat sokongan dari pemerintah Presiden Soeharto. Dukungan ini berkaitan dengan kepentingan pemerintah memuluskan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial politik dan kemasyarakatan. Strategi tersebut otomatis juga akan menggembosi suara PPP yang saat itu amat kritis terhadap pemerintah.

Akhirnya muktamar tersebut dimenangi oleh Kelompok Situbondo, yang menyerukan NU kembali ke Khitah 1926. Gus Dur tampil sebagai Ketua Umum PBNU. Kemenangan Gus Dur saat itu disambut suka cita warga NU, khususnya warga Jawa Timur. Sebab NU kembali pada trah Tebuireng, keturunan K.H. Hasyim Asy?ari, pendiri NU.

Jatuhnya pemerintahan Soeharto membuat NU berubah arah. Garis kebijakan untuk tidak berpolitik menurut Khitah 1926 mengalami koreksi. Gus Dur bersama sejumlah elite kiai dan politisi NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Politik menjadi lahan baru yang menarik minat kaum nahdliyin. Puncaknya, Abdurrahman terpilih sebagai Presiden RI. Ketua Umum Tanfidziyah lalu pindah tangan ke Hasyim Muzadi, yang meraih kemenangan melalui Muktamar NU di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pada 1999.

Hanya, hubungan Gus Dur dan Hasyim makin lama makin tidak harmonis. Menjelang pemilihan umum lalu, Hasyim menolak menggiring warga nahdliyin untuk menyalurkan suaranya ke PKB. Namun dia bersafari ke pesantren-pesantren NU untuk mendukung pencalonannya sebagai wakil presiden.

Wajar jika Gus Dur menolak bila hanya dirinya yang dituding melenceng dari Khitah 1926. Dia bahkan justru melarang pengurus organisasi berpolitik praktis. Hanya, bukan berarti orang NU tidak boleh berpolitik sama sekali. Ini bisa dilakukan lewat PKB. ?Kalau tidak begitu, orang NU tak akan ada yang jadi apa-apa,? katanya kepada Adi Mawardi dari Tempo, Rabu pekan lalu.

Pengamat NU asal Prancis, Andree Feilard, menilai perselisihan antar pimpinan nahdliyin kali ini berpengaruh lebih besar dibanding sebelumnya. Pada era Soeharto, siapa pun pemimpin NU hanya berpengaruh di dalam tubuh organisasi ini. Kini situasinya berbeda. NU punya peran penting dan bisa menjadi agen perubahan dalam politik nasional yang lebih luas. ?Dari dulu ulama dipakai dalam politik karena bisa mengumpulkan banyak suara,? kata Feilard, yang hadir pada Muktamar NU pekan lalu. Akibatnya, sering NU sulit melindungi diri dari perpecahan di dalam.

Mungkin karena itulah kini Ketua Umum PBNU perlu menuangkan segepok janji dalam kertas bermeterai.

Agung Rulianto, Imron Rosyid, Anas Syahirul, Adi Mawardi, Sohirin (Boyolali)


Kontrak Jam?iyyah Calon Ketua Umum

Sehubungan dengan pencalonan saya sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Nahdlatul Ulama periode 2004-2009, dengan ini saya menyatakan dan berjanji apabila Allah mentakdirkan saya terpilih. Saya:

  • Akan taat sepenuhnya pada AD/ART NU, keputusan NU, Rais Syuriyah dan keputusan lembaga Syuriyah.
  • Akan bersungguh-sungguh melakukan amanat Muktamar XXXI dan keputusan jam?iyyah yang lain.
  • Tidak akan secara langsung atau tidak langsung mengatasnamakan NU kecuali bersama Rais Am atau berdasarkan rapat PBNU dan tidak akan bertindak atau mengambil kebijakan sendiri tanpa berkonsultasi dengan Rais Am.
  • Tidak akan melaksanakan kebijakan yang bisa diartikan sebagai kegiatan politik praktis.
  • Tidak akan mencalonkan diri untuk jabatan politik, baik di legislatif maupun eksekutif.

Dengan pernyataan janji, saya bisyahadatillah di hadapan Rais Am terpilih, jika di belakang hari saya terbukti melanggar salah satu dari pernyataan dan janji saya di atas, maka saya akan menerima keputusan apa pun yang diambil Rais Am.

(tanda tangan calon di atas meterai Rp 6.000)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus