Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ketika Kiai Sepuh Tak Didengar Lagi

Para kiai sepuh ingin NU kembali ke Khitah 1926. Mengapa mereka tak lagi diperhitungkan?

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemilihan Rais Am Syuriah dan Ketua Umum Tanfidziyah pada muktamar Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, tinggal beberapa jam lagi. Tarik-menarik, dukung-mendukung, dan perang kata-kata yang mewarnai muktamar ke-31 organisasi yang berdiri pada 1926 itu rupanya membuat semua peserta capek. Suasana redup terasa di Hotel Lor Inn di Jalan Adi Sucipto, Solo, menjelang isya, Rabu pekan lalu. Di lobi hotel berbintang lima itu, 15 kiai sepuh NU duduk berderet di sofa. Wajah para kiai yang rata-rata berusia di atas 60-an tahun itu tertunduk dengan mata berkaca-kaca, seakan berhadapan dengan beban yang berat. Mereka mengapit mantan Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar NU (PBNU) K.H. Abdurrahman Wahid, dan K.H. Ibnu Ubaidillah Faqih.

Tangan Kiai Ubaidillah, putra Kiai Khos Abdullah Faqih dari Langitan, Tuban, gemetar memegang lembaran kertas bertuliskan huruf arab. Dengan suara bergetar dan mata yang basah, ia membacakan surat keputusan yang ditandatangani 29 kiai. ?Kami, para kiai, menyerahkan sepenuhnya kepada Gus Dur (Abdurrahman Wahid) untuk membentuk PBNU yang benar, berkedudukan di Jalan Kramat Raya nomor 164, Jakarta,? katanya. Para kiai terdiam dan menarik napas panjang.

Belum jelas apa arti ?membentuk PBNU yang benar? itu. Yang pasti, upaya kiai sepuh menghadang Hasyim Muzadi memperpanjang jabatan sebagai Ketua Umum Tanfidziyah NU gagal. Sejumlah calon sudah mereka ajukan, namun tak cukup mendapat sambutan dari pengurus wilayah dan cabang NU yang berhak memberi suara. Ucapan mereka yang selama ini ?bertuah? seperti tak didengar lagi.

Puncaknya, Kamis dini hari pekan lalu, Hasyim Muzadi menang dengan 346 suara, atau hampir empat kali lipat dari suara yang diperoleh K.H. Masdar F. Mas?udi, intelektual NU yang didukung para kiai. Padahal para kiai yang tak ingin Hasyim naik lagi itu selama ini dikenal sebagai kiai karismatik yang disegani.

Sebut saja di antaranya Kiai Abdullah Abbas, pemimpin Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat. Kiai yang telah berusia 82 tahun ini dikenal sebagai ahli hadis. Bersama Kiai Abdullah Faqih (Langitan, Tuban, Jawa Timur), ia bahkan disebut-sebut sebagai ?penyangga masyarakat Jawa?. Mbah Dullah?begitu dia biasa dipanggil?disegani karena sikapnya yang bersahaja dan selalu menjunjung kepentingan umat di atas segalanya.

Kemudian ada juga Kiai Mas Subadar dari Pesantren Raudlatul Ulum, Pasuruan, Jawa Timur. Di usianya yang 62 tahun, kiai bertemperamen keras ini masih sanggup adu argumentasi berjam-jam jika menyangkut fikih yang menjadi keahliannya. Kiai sepuh lainnya Muhaiminan Gunardho, pimpinan Pesantren Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Gus Dur mengagumi kiai ini karena kedalaman ilmu dan kedekatannya dengan umat. Kiai yang kini berusia 81 tahun ini dianggap mampu membaca zaman dan memiliki kemampuan supernatural. ?Ulama itu milik umat,? katanya kepada Tempo.

Masih ada sejumlah kiai sepuh lain yang punya pengaruh besar dan menjadi pendukung Gus Dur, seperti kiai Abdullah Faqih (Langitan, Tuban, Jawa Timur) dan Kiai Kholil As?ad (Situbondo, Jawa Timur). Namun, panitia tak mengundang mereka ke muktamar kali ini. Bahkan mereka yang diundang pun tidak menjadi peserta resmi yang mendapat hak suara atau peninjau sekalipun. ?Ini bukan cara NU,? kata Gus Dur dengan nada tinggi.

Bisa jadi kubu Hasyim, yang didukung Kiai Idris Marzuki (Lirboyo, Kediri, Jawa Timur), Kiai Masduqi Mahfudz (Nurul Ulum, Malang, Jawa Timur), dan Kiai Iskandar S.Q. (Assidiqiyah, Jakarta), khawatir dengan besarnya pengaruh kiai pro-Gus Dur jika mereka semua datang. Sebab, jauh hari sebelumnya kiai sepuh itu sudah menunjukkan sikap tak senang terhadap Hasyim Muzadi.

Menurut mereka, selama memimpin NU, Hasyim menyeret organisasi keagamaan ini ke dalam politik praktis. Mereka ingin NU kembali ke Khitah 1926, NU sebagai lembaga sosial dan keagamaan. Karena itu, mereka mengimbau muktamirin agar menyerahkan pimpinan NU kembali kepada dzurriyat (keturunan) pendiri NU, K.H. Hasyim Asy?ari. Maksudnya jelas, Gus Dur yang merupakan cucu K.H. Hasyim Asy?ari.

Sejak datang ke Solo, kiai pendukung Gus Dur ini berkumpul dan menginap di Hotel Novotel dan Hotel Lor Inn. Seakan tak mempedulikan usia yang sudah lanjut, mereka melakukan rapat setiap hari. Terkadang mulai dari isya hingga lewat subuh keesokan harinya.

Sejak hari pertama muktamar, para kiai sudah melakukan rapat Minggu pekan lalu. Mereka mengajukan pasangan alternatif untuk mengalahkan Hasyim Muzadi bersama K.H. Sahal Mahfudz yang dijagokan sebagai Rais Am Syuriah. Mereka memunculkan nama Gus Dur untuk dicalonkan sebagai Rais Am Syuriah dan K.H. Mustofa Biri (Gus Mus), pemimpin Pesantren Klelet, Rembang, Jawa Tengah, sebagai Ketua Umum Tanfidziyah. ?Pasangan ini untuk menyelamatkan NU dari coro-coro (kecoa-kecoa) yang menghilangkan jejak-jejak NU,? kata Kiai Muhaiminan Gunardho dengan wajah cerah seusai pertemuan.

Setelah lamaran itu disambut Gus Mus, para sesepuh langsung mengadakan rapat lagi malam harinya. Usai rapat yang berlangsung hingga pagi hari itu, Kiai Muhaiminan bersama beberapa kiai lain menggelar jumpa pers di Hotel Novotel. Mereka mewakili 31 kiai menelurkan Resolusi Ulama, yang berisi dukungan kepada Gus Dur dan Gus Mus untuk memimpin NU.

Ternyata dukungan terhadap pasangan ini kurang mendapat sambutan dari muktamirin. Kiai sepuh belum menyerah. Mereka kemudian mencari jalan tengah dan mendatangi rumah K.H. Sahal Mahfudz (Maslakhul Huda, Pati, Jawa Tengah) di Jalan Adi Sucipto 17, Solo, Senin malam pekan lalu. Kiai Sahal diminta menggantikan posisi Gus Dur untuk berpasangan dengan Gus Mus. Menurut salah seorang kiai yang hadir, Kiai Sahal menerima permintaan itu.

Jawaban itu melegakan para kiai. Malam itu mereka bisa membaringkan tubuh senja mereka di kamar hotel dengan lebih tenang. Bahkan Gus Dur, yang mendapat laporan suksesnya lamaran itu, mengucap syukur. ?Kalau Kiai Sahal dan Gus Mus mau, alhamdulillah,? kata Gus Dur, yang mengaku sejak awal tak berniat menjadi rais am. Saat itu juga Gus Dur berencana balik ke Jakarta karena persoalan dianggap telah selesai.

Namun, Gus Dur masih khawatir Hasyim bisa terpilih kembali jika mencalonkan diri. Mantan presiden ini menyempatkan datang ke rumah Kiai Sahal dan meminta Kiai Sahal mencegah Hasyim maju ke pencalonan Ketua Umum Tanfidziyah, Selasa malam. Ternyata Kiai Sahal menolak permintaan itu. Kabar mengejutkan lain datang dari Gus Mus, yang menolak dicalonkan karena Kiai Sahal lebih condong bergandengan dengan Hasyim.

Belum habis penat tubuh dan pikiran, para sesepuh NU ini langsung menggelar rapat bersama Gus Dur di Hotel Novotel. Akhirnya, Kiai Muhaiminan bersama Kiai Subadar dan belasan kiai pendukung Gus Dur kembali mendatangi rumah Kiai Sahal, Rabu siang. Di rumah itu hadir pula beberapa kiai dari kubu Hasyim Muzadi. Hasil pertemuan itu di antaranya menyerahkan pemilihan pimpinan NU pada muktamirin.

Habis sudah harapan para sesepuh pendukung Gus Dur. Malam menjelang pemilihan, 15 kiai sepuh kembali menemui Gus Dur di Hotel Lor Inn. Dengan berlinang air mata melihat perpecahan di tubuh NU, mereka mengeluarkan surat mandat agar Gus Dur membentuk PBNU yang benar.

Keputusan ini sempat membuat gundah Kiai Sahal. Dia mengirim utusan menemui Gus Dur dan para kiai yang sudah bersiap berangkat ke arena muktamar, pukul 21.30. Kiai Sahal meminta para kiai sepuh untuk bertemu kembali dan menawari Gus Dur jabatan wakil rais am. Utusan itu pulang dengan membawa kabar bahwa para kiai bersedia berdialog dengan Kiai Sahal tanpa kehadiran kubu Hasyim. Selain itu, Kiai Sahal harus menjamin bahwa Hasyim membatalkan pencalonannya sebagai Ketua Umum Tanfidziyah. Sedangkan Gus Dur menolak tawaran jabatan wakil rais am.

Namun, hingga pemilihan berlangsung, pertemuan itu tak pernah terjadi dan utusan kiai Sahal pun tidak kembali lagi. Maka, NU memasuki babak baru: perjalanan tanpa Abdurrahman Wahid.

Agung Rulianto, Adi Mawardi (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus