Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK hanya Abdurrahman Wahid yang tertohok oleh hasil muktamar NU di Boyolali, tapi juga kalangan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Bagaimanapun, Gus Dur menjadi figur sentral di partai ini karena posisinya sebagai Ketua Dewan Syuro. Itu sebabnya, kekalahan Gus Dur akan berdampak besar bagi masa depan PKB.
Mantan presiden tersebut telah gagal merebut posisi rais am di Syuriah NU. Jabatan Ketua Umum PBNU pun akhirnya jatuh lagi ke tangan Hasyim Muzadi, yang selama ini berseteru dengannya. Kendati masih mempunyai pengaruh di kalangan kiai sepuh, Gus Dur praktis tidak memiliki tangan yang kuat di dalam NU. Kini, ?Pengaruh Gus Dur di NU secara struktural agak berkurang,? ujar Mahfud Md., Wakil Ketua Umum PKB.
Bisa dibayangkan hubungan NU dengan PKB akan semakin tidak mesra. Apalagi, dalam muktamar yang ditutup Kamis pekan lalu itu, dikeluarkan juga tausyiah (rekomendasi) yang memukul kalangan PKB. Isinya? NU bertekad menjaga jarak yang sama dengan semua partai, tak terkecuali dengan PKB.
Sikap NU semacam itu sebenarnya telah diambil ketika menghadapi pemilu legislatif April lalu. Saat itu Hasyim Muzadi terang-terangan membebaskan warga NU untuk mencoblos partai mana pun. Inilah yang mungkin menyebabkan suara PKB anjlok. Dalam Pemilu 1999, partai ini mampu meraup 13 juta suara lebih atau 12,62 persen. Namun, pada pemilu legislatif 2004, PKB hanya meraup 11,98 juta suara atau 10,6 persen.
Dalam pemilihan presiden pun Hasyim berada di jalur yang berbeda dengan Gus Dur. Hasyim maju sebagai calon wakil presiden, bergandengan dengan Megawati, calon presiden dari PDIP. Sedangkan Gus Dur malah menyokong pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid, yang diusung Golkar.
Buat mengganjal pasangan Mega-Hasyim, kubu Gus Dur yang diwakili K.H. Abdullah Faqih dari Langitan, Tuban, sempat mengeluarkan fatwa yang mengharamkan memilih presiden perempuan. Tak ada hasil yang dipetik dari perseteruan ini. Baik pasangan Mega-Hasyim maupun Wiranto-Salahuddin akhirnya gagal memenangi perlombaan menuju Istana.
Menurut Mahfud, sebenarnya hubungan Gus Dur dengan Hasyim sudah merenggang sejak Gus Dur jatuh dari kursi kepresidenan pada 2001. Menjelang dilengserkan, Gus Dur sempat mendapat serangan gencar lewat kasus dana non-bujeter Bulog. Saat itu Hasyim masih mati-matian membelanya. Namun, setelah jatuh, Gus Dur menganggap Hasyim banting setir menyokong lawan politik yang ikut menjatuhkannya. Apalagi belakangan Hasyim menerima lamaran kubu Megawati untuk dicalonkan menjadi wakil presiden.
Pertikaian Gus dan Hasyim itulah yang membuat PKB dalam posisi terjepit. Pengaruh Gus Dur yang besar di PKB akhirnya membuat partai ini pun berseteru dengan pimpinan NU. Ini sebuah ironi karena PKB, yang didirikan menjelang Pemilu 1999, sebetulnya lahir dari tubuh NU.
Hasyim amat menyadari bahwa PKB dan NU memiliki hubungan darah yang kental. Persoalannya, ?Kalau PKB merasa dilahirkan NU, lalu apa yang telah diperbuat kepada NU?? katanya.
Menurut Hasyim, PKB mestinya yang harus proaktif mendekati NU. Kalau ini tidak dilakukan, tidak tertutup kemungkinan massa NU akan lari ke partai lain. ?Apalagi kalau membentuk NU tandingan,? ujar Hasyim lagi.
Selama ini PKB masih mendapat suara yang lumayan dalam pemilu karena Gus Dur masih berpengaruh di kalangan kiai sepuh NU. Hanya, jika pimpinan NU dan PKB kurang kompak, dan keretakan dua organisasi ini makin menganga, lama-lama bisa menggerogoti kekuatan PKB.
Hal itu disadari oleh Mahfud Md. Warga NU dan PKB pun akan bingung dalam mengambil sikap politik. Itu sebabnya ia berusaha mempertemukan Gus Dur dan Hasyim untuk rekonsiliasi. ?Kalau tidak, kita yang pusing di lapangan nanti,? katanya.
Fajar W.H., Abdi Purnomo (Malang), Sohirin, Imron Rosyid, Syaiful Amin (Boyolali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo