Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sepeda sebagai kebutuhan transportasi
Sepeda sebagai gerakan politik yang membebaskan perempuan Barat.
SEPEDA adalah temuan yang mendekati mukjizat. Ia satu dari sedikit hal yang menunjukkan bahwa manusia mampu menjalin relasi bermakna dengan teknologi, dan teknologi mampu memperluas pengalaman kehidupan manusia secara serasi dengan alam.
Filsuf pendidikan Ivan Illich bernubuat, “Jika peningkatan kegembiraan mampu melebihi biaya ekologis akibat produksi dan aplikasi teknologi dalam jangka panjang, teknologi itu bisa dibenarkan secara ekologis.” Illich ingin menekankan bahwa, tidak seperti teknologi dan mesin lain, sepeda merupakan kendaraan yang benar-benar ramah secara ekologis. Ia bergerak tanpa biaya energi: sepeda satu-satunya kendaraan yang energinya justru dari penumpangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir dua abad sejak diangankan pertama kali pada 1698, sepeda baru terwujud dalam desain dan mekanik yang lengkap pada 1879. Sepeda bermula dari suatu ide saintifik rekreasional seorang ahli matematika Prancis bernama Jacques Ozanam. Pada 1696, dalam Recreations Mathematiques et Physiques, Ozanam membayangkan “suatu alat yang bisa mengantarkan manusia dari satu tempat ke tempat lain tanpa kuda”.
Angan-angan Ozanam itu sebagian menjadi kenyataan di Kota London pada 1774, ketika orang bernama Ovenden memamerkan sebuah alat beroda empat mirip pedati yang didorong manusia. Jenis yang sama juga muncul pada 1779 dan ditemukan oleh Jean-Pierre Blanchard, yang memamerkan alat itu di alun-alun Louis XV di Kota Paris dan mencuri perhatian khalayak.
Desain sepeda yang lebih efisien ditemukan seorang bangsawan Jerman yang eksentrik, Karl von Drais. Pada 1813, ia merancang sepeda yang desainnya masih mirip dengan kereta kuda ala sepeda Ovenden. Drais sempat memamerkan benda itu di Kota Wina tapi gagal membuat publik terkesan. Drais yang berkukuh akhirnya merevisi desain lama dan pada 1817 ia berhasil merancang sebuah kendaraan beroda dua yang semula ia sebut dengan “laufmaschine” atau mesin berlari.
Disebut begitu karena benda itu dipacu oleh pengendaranya yang berlari-lari. Ia sempat disebut juga Draisine (akronim dari Drais Maschine), tapi akhirnya lebih dikenal dengan nama “velocipede”, dari bahasa Latin, velox dan pedis, yang artinya kaki cekatan (swift foot). Sebagian sejarawan bersepakat menetapkan Drais sebagai penemu velocipede (David V Herlihy, 2004).
Pada 1818, Drais mencoba mempopulerkan velocipede dengan melakukan perjalanan dari Manhheim ke Frankfurt menempuh jarak sekitar 80 kilometer. Meski begitu, sejumlah kritikus di masa itu menganggap alat yang dikendarai Drais tidak lagi istimewa. Praktis Drais hanya menggantikan kuda dengan manusia. Selama dua dekade, inovasi mekanik sepeda seperti berhenti di velocipede Drais. Majalah Mechanics’ Magazine terbitan 1841 sempat mengajukan pertanyaan atas situasi buntu inovasi zaman itu yang kira-kira bunyinya: “Kapan, ya, ada temuan velocipede terbaru?”
Akhirnya 25 tahun kemudian, persisnya pada 1867, muncul sebuah kejutan dari Prancis. Untuk pertama kalinya sebuah sepeda yang dilengkapi crank dan sistem pedal digowes di jalan-jalan Kota Paris. Sepeda baru ini memiliki kecepatan yang bisa digerakkan secara progresif, menggelinding seperti mesin yang hidup.
Orang paling berjasa dalam terobosan ini adalah Ernest Michaux dan Pierre Lallement. Sepeda Michaux-Lallement dengan segera menarik minat banyak pihak dari berbagai negara. Pada musim gugur di tahun yang sama, sebuah perusahaan di Kota Lyon mulai memperbanyak sepeda dengan crank dan pedal. Pada September 1867, sebuah majalah lokal mencatat sekitar 100 orang pesohor Paris di zaman itu pamer gowes bareng memakai sepeda Michaux menuju Versailles.
Penyempurnaan dalam struktur mekanis sepeda baru terjadi pada 1879. Henry J. Lawson, seorang insinyur Inggris, mematenkan sebuah model sepeda terbaru yang dinamakan bicyclette. Bicylette buatan Lawson menggunakan perangkat baru yang menggenapi evolusi sepeda sejak pertama kali diangankan Ozanam pada 1696, yakni rantai dan sproket.
Temuan Lawson boleh dibilang menyempurnakan evolusi sepeda. Semula, karena mahal dan langka, sepeda cuma bisa dimiliki oleh orang-orang kaya yang pamer. Pada akhir 1800-an, sepeda mulai diproduksi secara massal. Sepeda berubah dari yang semula sekadar mainan orang-orang kaya menjadi alat transportasi semua kalangan. Memasuki abad ke-19, sepeda roda dua boleh dibilang telah menjadi kendaraan favorit semua orang.
Sepeda mendorong perubahan sosial yang tak terbayangkan: feminisme. Para ilmuwan dan sejarawan terheran-heran atas banyaknya perempuan yang menyukai velocipede. Salah satu pemicunya adalah desain yang disebut “safety bicycle”, yakni sepeda dengan roda yang lebih kecil, sadel yang pendek, serta desain kerangka berbentuk berlian yang nyaman dan aman untuk perempuan.
Pada masa itu, perempuan di Barat masih dipandang sebagai warga kelas dua dalam masyarakat—kalau bukan bekerja di rumah, ya, bekerja di pabrik. Perempuan zaman itu umumnya memakai korset ketat, gaun panjang, topi, dan sarung tangan. Tubuh perempuan dibelenggu dari kemungkinan beraktivitas di luar rumah. Sepeda mendorong reformasi dan emansipasi atas tubuh perempuan. Perlahan-lahan mereka mengubah gaya berpakaiannya dan meninggalkan busana lama yang mengekang.
Pakaian bawah dipendekkan dan pakaian atas disesuaikan untuk kemudahan kendali dan keseimbangan. Perubahan ini sempat memicu respons keras dari kaum moralis kolot. Dalam bukunya, Bicyling for Ladies (1896), Maria Ward, advokat sepeda Amerika, menggugah perempuan di masanya: “apa pun yang terjadi, biarkan sepedamu melaju, lebih cepat lebih baik, hingga pesimisme musnah, hingga ide kemajuan memenuhi kamu”. Sepeda membuka kemungkinan baru bagi perempuan untuk berpartisipasi di dunia, memperluas horizon geografi, ekonomi, dan politik sekaligus.
Pada awal abad ke-20, sepeda memasuki masa keemasan. Seiring dengan perkembangan kota dan industri, sepeda mengambil tempat sebagai alat transportasi murah bagi kalangan kelas pekerja di berbagai daerah urban dibanding kendaraan lain. Pertumbuhan ini yang menautkan sepeda dengan berbagai gerakan sosial di Eropa, dari sosialisme, anarkisme, hingga gerakan lingkungan. Namun masa keemasan ini tidak panjang. Dengan munculnya mobil dan motorisasi massal, peran sepeda surut.
Ia mulai bangkit kembali di kota-kota besar di dunia sekitar akhir 1960-an dengan menguatnya gerakan lingkungan. Pada awal 1990-an muncul Critical Mass, sebuah gerakan sosial yang longgar dalam upaya memperjuangkan hak-hak pesepeda atas jalan-jalan di kota. Gerakan ini lahir pada September 1992 di San Francisco, dimulai dari pawai sepeda teratur pada Jumat keempat tiap bulan (Ferrel, 2001).
Dalam sebuah pamflet yang terkenal, gerakan ini menyatakan kekesalan dalam pendirian mereka: apa kamu tidak muak dan lelah harus berjibaku demi hidup di jalanan kota? Hukum menyamakan kita dengan mobil tapi lebih membenci kita? Kita dipandang menjengkelkan dan dianggap penghalang oleh mereka yang ada di belakang kaca mobil. Lantas, ke mana kita mesti pergi? Bukankah kita sedang melakukan kebaikan bagi diri kita sendiri dan bagi umat manusia dengan bepergian naik sepeda? Critical Mass mempertanyakan relasi kuasa yang mendominasi di jalan-jalan kota, sekaligus mengajukan praktik demokrasi baru di perkotaan. Sejak saat itu, sepeda menjadi lambang perjuangan dan partisipasi orang dalam politik kewargaan (Dave Horton, 2009).
Di Indonesia, sepeda (fiet dalam bahasa Belanda dan pit kata orang Indonesia) pertama kali muncul pada 1890 di Batavia sebagai kendaraan elite orang Belanda atau saudagar Cina. Setelah kendaraan bermotor masuk, nilai dan gengsi sepeda menurun hingga akhirnya bisa dijangkau orang banyak. Sebagaimana gejala di kota-kota besar lain di dunia, penggunaan sepeda juga rontok di Indonesia sejak 1970-an akibat makin maraknya kendaraan bermotor, membuat jalan makin berbahaya bagi sepeda (Abdul Hakim, 1989).
Reputasi sepeda di Indonesia mengkilat lagi pada masa awal pandemi. Sepeda menerbitkan sensasi, kesenangan, dan petualangan sekaligus kebugaran dan kesehatan. Sekalipun sering dilakukan berkelompok, bersepeda pada dasarnya selalu merupakan aktivitas personal. Barangkali itulah sebabnya orang merasa lebih aman memilih sepeda sebagai sarana olahraga mereka di masa pandemi. Pesepeda rekreasional yang mencari kesehatan dan hiburan mewabah di jalan-jalan kota kita. Reputasi ini sempat nyaris ternoda akibat ulah pesepeda kelas menengah genit yang pamer di jalan-jalan Jakarta, menyerobot jalan publik dengan sepeda balap, atau pesepeda pongah yang meluncur dengan pengawal di kiri-kanan.
Kecongkakan dan kenorakan orang-orang kaya yang secara ganjil selalu muncul dalam sejarah tetap tak mampu menghapus keajaiban sepeda. Seperti yang dikatakan Illich, terlepas dari segala perbedaan kelas, gender, etnis, dan bangsa, sepeda membuat orang menempuh kecepatan tanpa mencuri atau mengurangi kelangkaan energi, alam, ruang, dan waktu.
Setiap pesepeda bisa mendapatkan keuntungan teknologis tanpa mengurangi kekayaan dari semesta. Di atas sepeda, kita menjadi tuan sekaligus pelayan atas gerak dan manuver kita sendiri. Sepeda adalah lambang dari masih adanya dimensi manusiawi dan alamiah dalam lekuk pembangunan. Kota-kota yang memberikan jalan bagi sepeda adalah kota-kota yang menghadirkan kembali keragaman dan keunikan manusia di dalamnya. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang banyak bersepeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo