Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKAN hanya belasan, ratusan sepeda bahkan tersimpan di ruangan itu. Yang mencolok puluhan Brompton tipe CHPT3, yang meringkuk di rak-rak kaca. Namun ada pula kereta angin keluaran Inggris tersebut yang digantung dan disandarkan. Ini bukan sebuah toko, bukan pula museum sepeda—walau tampak seperti itu. Terlebih desain interior ruangan tersebut “sangat Inggris”, dengan dinding bata ekspos dan lemari kaca yang menyimpan pernak-pernik dari merek sepeda ternama: Brompton, Tyrell, dan Alex Moulton. Bukan hanya topi dan kaus, ada juga jaket, kacamata, serta mobil diecast yang berhias bendera Union Jack.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilik ruang simpan tersebut adalah Ramdanus, pengusaha di bidang medis. Di kediamannya di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Banten, Ramdanus menyimpan rapi semua koleksinya. Total ada 45 unit Brompton edisi terbatas CHPT3 yang dimiliki pria kelahiran Jakarta ini. “Saya pemilik Brompton CHPT3 terbanyak di dunia,” ujarnya, Rabu, 14 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak mengherankan bila David Millar, pesepeda yang juga perancang CHPT3, sampai memberinya penghargaan khusus saat datang ke Jakarta, akhir Mei 2019. Ramdanus mendapat plakat sebagai orang dengan koleksi CHPT3 terbanyak sejagat. Ketika itu, koleksinya “baru” 33 unit. Saking kesengsemnya pada sepeda jenis tersebut, Ramdanus pun mempermak Mini Cooper-nya dengan stiker CHPT3. Bahkan kap mobilnya ia relakan untuk ditandatangani David Millar.
Kegilaan Ramdanus terhadap CHPT3 bermula pada pertengahan 2018. Saat itu, ia baru saja rutin berolahraga. Tunggangan pertamanya adalah sepeda gunung Mongoose tipe Teocali. Merasa badannya lebih bugar, Ramdanus mulai kecanduan gowes. Sampai kemudian sahabatnya, Brigadir Jenderal Petrus Hardana, meminjaminya sepeda Brompton. Ramdanus pun kepincut. Ia lalu membeli Brompton CHPT3 pertamanya dengan menitip kepada kawan yang sedang bertandang ke Inggris.
“Keracunan” CHPT3, Danus—sapaan akrab Ramdanus—mulai menambah koleksi. Semua tipe, dari 1 hingga 3, lengkap ia miliki. Bukan hanya sejarah penciptaan CHPT3 oleh David Millar yang membuat Danus terpesona. Fisik dan performa sepeda yang hanya diproduksi 1.000 unit ini juga yang menurut dia sempurna. “Bahannya (titanium) beda, enteng sekali digowes. Melipatnya sangat gampang dan saya juga suka sekali warnanya,” tuturnya.
Belakangan, bukan hanya CHPT3 yang Danus koleksi. Ia juga mulai membeli sejumlah sepeda impor. Jumlahnya mencapai ratusan unit dan sebagian besar edisi terbatas. Ada Brompton seri W12 yang hanya dijual di Brompton Junction London, juga sepeda lipat merek lain, seperti Alex Moulton dan Tyrell. Di jajaran sepeda Alex Moulton, Danus mengoleksi seri Land Rover, yang cuma ada 9 unit di dunia. Keranjingannya pada sepeda edisi terbatas ini membuat Danus sering diledek gila oleh kawan-kawannya sesama pegowes.
Pernah satu kali David Millar melelang sebuah sepeda CHPT3 yang hanya ada satu-satunya di dunia untuk disumbangkan kepada sebuah yayasan Down syndrome. Danus memenangi lelang yang diperebutkan penggemar CHPT3 di seluruh dunia itu. “Sampai Indonesia, harga sepedanya jadi tiga kali lipat karena ada pajak dan lainnya. Jadi saya keluar sekitar Rp 300 juta,” ujarnya, lalu tergelak.
Ratusan sepeda itu tak semuanya Danus gowes. Ia mengaku hanya menggunakan segelintir sepeda, sedangkan sisanya disimpan dengan baik. Tiga pekan sekali, sepeda-sepeda itu diturunkan dari rak untuk dibersihkan dan diservis oleh karyawan Danus. Pada awalnya Danus biasa bersepeda sendirian. Namun kemudian dia mulai menggowes bareng anggota komunitas Indonesia CHPT3 Cycling Club (IDC3), yang ia dirikan pada Juni tahun lalu.
Mereka biasa bersepeda ramai-ramai ke luar kota, seperti Bali, Batam (Kepulauan Riau), Anyer (Banten), dan Yogyakarta. Namun, setelah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat diterapkan, semua rencana dan hasrat bersepeda terpaksa dikendurkan. “Sekarang sepedaan di dalam kompleks rumah dulu. Yang penting badan enggak pegal dan kaku,” katanya.
Sementara Ramdanus lebih dulu menggowes baru mengumpulkan sepeda, lain halnya Nandi Wardhana, 37 tahun. Sejak 12 tahun lalu, ia mengoleksi sepeda ontel hingga kini terkumpul 50 unit di rumahnya di Tebet Utara, Jakarta Selatan. Dari jumlah itu, separuhnya berjenis ontel, sedangkan sisanya sepeda jalanan (road bike) vintage. “Baru dua tahun terakhir ini, tak lama sebelum pandemi, saya mulai bersepeda dengan koleksi yang ada di rumah,” ujarnya, Kamis, 15 Juli lalu.
Awalnya Nandi gemar memoles mobil kuno dan sepeda motor Vespa lawas. Baru pada 2010, ia membeli sepeda BSA Sportsman Light Tourist rilisan 1936. Ontel ini melecut Nandi untuk menyelami seluk-beluk sepeda antik. Ia terutama terpikat pada sepeda keluaran Inggris hingga akhirnya mulai berburu satu demi satu. Koleksinya yang paling uzur adalah sepeda Rover kelahiran Coventry, Inggris, 1900. Sepeda itu ia beli seharga sekitar Rp 20 juta.
Nandi mengoleksi sepeda tak sekadar karena tertarik pada fisik dan sejarah kereta angin tua. Dia juga menganggap ini bagian dari investasi. Karena itu, ia tak segan menggelontorkan fulus untuk membeli jenis incarannya. Seperti saat ia menjual mobil Land Rover keluaran tahun 1976 miliknya. Sebagian duit dari penjualan itu dipakai Nandi untuk menebus satu unit sepeda Colnago. Ada kalanya juga Nandi mesti merogoh koceknya untuk merestorasi sepeda retro yang ia beli.
Dalam mengumpulkan sepeda tua, Nandi mengaku tidak ngoyo. Namun sering kali ia justru beruntung karena bersua dengan pemilik sepeda uzur yang melego milik mereka dengan harga terjangkau. “Banyak pemilik sepeda tak terlalu paham bahwa koleksi mereka sejatinya bernilai ekonomi tinggi,” tuturnya. Puluhan sepeda Nandi rutin diservis tiap menempuh jarak 1.000-2.000 kilometer. Adapun tiap pekan ada lima sepeda yang secara bergiliran diurus Nandi. Ruangan tempat menyimpan sepeda juga dipasangi penyejuk udara agar tidak lembap.
Ramdanus, kolektor sepeda Brompton CHPT3 di ruangan koleksi sepedanya di BSD, Tangerang, 14 Juli 2021. Dok. Pribadi
Untuk menunjang hobi gowes sekaligus usahanya ini, Nandi menggandeng kawan-kawannya membentuk komunitas sepeda jadul (zaman dulu) Classissimo Cycling Club. Mereka biasa gowes bareng di Bintaro, Tangerang Selatan, saban Selasa dan Kamis pagi serta akhir pekan. Di kalangan anggota komunitas inilah sepeda-sepeda Nandi kadang terjual. “Sepeda ontel lebih diminati pesepeda usia 40-50 tahun, sementara anak muda lebih suka road bike vintage,” ujarnya.
Lain lagi kegemaran Purnomo alias Ipung, 49 tahun. Mantan vokalis band death metal Morbus Corpse ini lebih suka mengoleksi sepeda gunung dan BMX. Total koleksinya 50 unit, yang tersebar di kediamannya, juga rumah adik dan sang kakak. “Sepeda saya kebanyakan rilisan 2000-an karena periode ini spesial. Bentuk sepeda BMX terbagi untuk free style, balap, atau keliling kota saja,” katanya, Jumat, 16 Juli lalu.
Sepeda BMX favoritnya tergolong jadul, seperti Haro Master dan SkyWay. Harganya ketika dibeli pada 1985 senilai Rp 300-700 ribu. Sedangkan koleksi Ipung dari periode rilis 2000-an seharga Rp 4,5-5 juta. Harga beli koleksinya yang termahal untuk sepeda BMX, yaitu tipe Haro Master, senilai Rp 5 juta dan sepeda downhill bekas merek Specialized Rp 25 juta. Dulu, saat Morbus Corpse eksis pada 1990-an, Ipung sering tampil free style dengan sepeda BMX-nya saat jeda pertunjukan. Kini dia sibuk mengelola bengkel sepeda, selain menekuni usaha mode.
Eri Surahman juga sudah kecanduan sepeda jauh sebelum pandemi. Penghasilannya sebagai dokter dan dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, dipakainya untuk mencicipi sejumlah merek sepeda sejak 2005. Dari sepeda gunung hingga road bike yang sedang ngetren. Koleksinya ada yang ia dapat langsung di toko. Tapi, untuk sepeda impor, ia membelinya via Internet. Saban ada merek anyar yang mencetak hit, Eri sering tergiur membeli. “Paling tidak 6-12 bulan sekali saya membeli sepeda,” ujar pria 74 tahun itu, Kamis, 15 Juli lalu.
Tak semua sepeda ia beli dengan kontan. Beberapa di antaranya ia beli dengan mencicil demi tak kehabisan stok. Misalnya sepeda gunung Scott, juga Specialized S-Works seharga Rp 120 juta, yang menjadi favoritnya di antara 30 unit koleksinya di rumah. Sepeda keluaran Mercedes-Benz yang kini berumur 20 tahun juga menjadi salah satu andalan Eri. Dulu ia membeli rangkanya senilai US$ 3.000, yang dikirim langsung dari Jerman.
Puluhan koleksi sepeda itu tak hanya terparkir di garasi. Tak hanya kolektor sepeda, dokter spesialis anestesi itu rutin memakainya empat hari dalam sepekan untuk berangkat kerja ke Rumah Sakit Santo Borromeus dan Rumah Sakit Limijati, keduanya di Bandung. Terkadang Eri menggowes sepeda bareng komunitas ke sejumlah tempat wisata, seperti Puncak (Bogor, Jawa Barat), Gunung Bromo (Jawa Timur), Bali, juga Lombok (Nusa Tenggara Barat). “Rencananya kami akan tur ke Jepang, tapi gagal karena keburu pandemi,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo