Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sejumlah dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) menolak pemberian gelar profesor kehormatan kepada individu non-akademik termasuk pejabat. Hal itu terungkap dalam draf surat pernyataan dari berbagai dosen UGM yang beredar di media sosial sejak 13 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam surat yang viral itu, tertulis dibuat di Yogyakarta hampir dua bulan silam, persisnya 22 Desember 2022 dan ditujukan kepada rektor UGM serta jajaran senat universitas tersebut. "Kami dosen-dosen UGM menyatakan menolak usulan pemberian gelar guru besar (profesor) kehormatan kepada individu-individu di sektor non-akademik, termasuk kepada pejabat puiblik," bunyi surat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penolakan usulan pemberian gelar guru besar oleh dosen-dosen UGM itu dilatari enam poin. Poin pertama, profesor merupakan jabatan akademik, bukan gelar akademik. Jabatan akademik memberikan tugas kepada pemegangnya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban akademik.
Kewajiban-kewajiban akademik tersebut, dalam surat itu, menyatakan tidak mungkin dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pekerjaan dan atau posisi di sektor non-akademik. Kedua, pemberian gelar honorary professor (guru besar kehormatan) kepada individu yang berasal dari sektor non-akademik tidak sesuai dengan asas kepatutan. "We are selling our dignity (kita sedang menjual harga diri kita)," tertulis dalam surat tersebut.
Ketiga, honorary professor seharusnya diberikan kepada mereka yang telah mendapatkan gelar jabatan akademik profesor. Keempat, jabatan profesor kehormatan tidak memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas dan reputasi UGM. "Justru sebaliknya, pemberian profesor kehormatan akan merendahkan marwah keilmuan UGM," bunyi surat itu.
Kelima, pemberian gelar pofesor kehormatan akan menjadi preseden buruk dalam sejarah UGM dan berpotensi menimbulkan praktik transaksional dalam pemberian gelar dan jabatan akademik.
Keenam, pemberian gelar profesor kehormatan seharusnya diinisiasi oleh departemen yang menaungi bidang ilmu calon profesor kehormatan tersebut berdasarkan pertimbangan pertimbangan akademik sesuai bidang ilmunya.
Guru Besar Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto yang namanya turut tercantum di draf penolakan tersebut tak menampik ihwal adanya draf surat penolakan tersebut.
Melalui penjelasan lewat tulisan opininya berjudul Profesor Kehormatan yang dibagikan ke awak media, Sigit menyatakan, "Pengangkatan profesor kehormatan karena adanya kepentingan pragmatis individu atau kelompok, dapat dianggap diskriminatif," kata dia.
Pemberian gelar profesor kehormatan secara serampangan kepada pihak non-akademik termasuk pejabat puiblik, kata Sigit, jelas mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan. "Bahkan mengkhianati dedikasi para dosen yang berjuang dengan berbagai upaya untuk mencapai posisi guru besar," kata Sigit yang juga bergelar profesor itu.
"Betapa tidak, para dosen di perguruan tinggi harus berjuang keras puluhan tahun untuk mencapai posisi profesor dengan berbagai beban kinerja, belitan regulasi, dan birokrasi," Sigit menambahkan.
Kebijakan pemberian gelar profesor kehormatan tanpa mempertimbangkan proses akademik pihak yang akan menerima gelar itu, menurut Sigit, dikhawatirkan akan menimbulkan demoralisasi bagi para dosen dan akademisi yang ada di perguruan tinggi.
"Kepercayaan dosen terhadap martabat profesi serta institusinya tergerus, tatakelola Pendidikan Tinggi tak bisa diandalkan dan tak memberi harapan," ujarnya.
Akibatnya, semangat pengabdian dan dedikasi dosen terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik dan intelektual bisa merosot.
Saat ditanya siapakah kiranya tokoh yang akan diberi gelar profesor kehormatan oleh UGM dalam waktu dekat, Sigit membocorkan satu nama. "Awalnya Gub BI (Gubernur Bank Indonesia) PJ," kata Sigit yang tak menampik bahwa PJ yang dimaksud tak lain Perry Warjiyo yang saat ini memang masih menjabat Gubernur BI. Perry diketahui merupakan alumnus UGM tahun 1977-1982 dengan gelar sarjana ekonomi.
Terkait viralnya surat penolakan para dosen UGM itu, Kepala Bagian Humas dan Protokol UGM Dina W Kariodimedjo mengatakan bahwa tim UGM tengah menindaklanjuti surat itu. "Sebagai informasi, UGM sudah memiliki tim untuk menindaklanjuti hal tersebut, kami konsultasi terlebih dahulu," kata Dina.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat dan Alumni UGM Arie Sujito menyatakan UGM saat ini tidak sedang memproses usulan guru besar kehormatan pada tokoh siapa pun.
"UGM saat ini justru sedang fokus membentuk tim untuk mengkaji dan mengkritisi peraturan menteri (yang mengatur pemberian gelar) tentang profesor kehormatan itu," kata Arie.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.