Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Dosen Fisipol UGM Soal Komposisi Parpol di DPR Nyaris Tanpa Oposisi: Potensi Mematikan Demokrasi

Dosen Fisipol UGM Alfath Indonesia menyoroti komposisi DPR saat ini. "Pemimpin dan penguasa yang tidak diawasi, mereka bisa abuse of power," katanya.

7 Oktober 2024 | 18.57 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia atau Alfath Indonesia mengungkapkan tentang fungsi parpol oposisi yang harus terpenuhi dalam komposisi DPR. Namun, menurut Alfath, dalam sistem presidensial, penggunaan kata oposisi kurang tepat. 

“Saya melihat peran oposisi di sini adalah mereka yang berusaha untuk memastikan agar proses penyelenggaraan bisa berjalan dengan baik sehingga pemimpin atau penguasa di kemudian hari ini bisa ada yang mengontrol dari lingkaran pemerintah. Siapa pun yang terpilih dalam Pemilu adalah pemerintah. Tinggal pemerintah ini menunjukkan benar-benar mewakili rakyat atau mengkerdilkan peran dari rakyat,” kata Alfath kepada Tempo.co, pada 7 Oktober 2024.

Alfath menyampaikan, partai politik atau parpol oposisi berperan mengontrol check and balances antar lembaga pemerintahan. Sebab, pemerintahan dengan konsep trias politica membutuhkan fungsi saling mengawasi, menjaga, bersikap, bersuara, dan berpihak pada kepentingan masyarakat. 

Lebih lanjut, Alfath menilai, berdasarkan fungsi tersebut, peran parpol oposisi sangat penting. Jika kekuasaan tidak terkawal dan tidak terkontrol, maka akan ada potensi untuk korup. 

“Pemimpin dan penguasa yang tidak diawasi, mereka bisa abuse of power. Karena mereka merasa digdaya, merasa di atas angin, merasa tidak ada yang mengawasi sehingga bisa berbuat sewenang-wenang, termasuk membuat kebijakan menjauhi kepentingan publik,” kata dia.

Menurut Alfath, ketika semua parpol memiliki suara yang sama tanpa ada suara kritis, sistem pemerintahan legislatif berada dalam situasi bahaya. Pasalnya, parpol hanya akan berjalan menjadi bagian dari kekuasaan dan kedap dari kritik publik serta masukan. 

“Ini yang saya kira akhirnya membuat partai politik menjadi menjauh dari konstituen, menjauh dari masyarakat sehingga laku dan tindaknya tidak merepresentasikan apa kehendak rakyat. Namun, sebagian besar laku dan tindaknya lebih mementingkan kepentingan personal atau individu, kepentingan kelompok, kepentingan bisnis, apalagi kepentingan elite atau oligarki. Ini yang berbahaya,” ujar Alfath. 

Alfath menekankan, imajinasi tentang kerakyatan tidak cukup muncul dalam proses pembuatan kebijakan publik, jika parpol oposisi tidak bekerja dengan baik atau tidak ada. Bahkan, kondisi ini mengarahkan pada demokrasi yang dapat mati. “Ini potensi mematikan demokrasi,” katanya.

Alfath juga mengatakan, parpol oposisi dalam komposisi DPR harus tetap ada dengan jumlah yang seimbang. Dengan kehadiran parpol oposisi, para anggota tetap dapat bersuara kritis, meskipun menjadi bagian dalam pemerintahan. 

“Jumlahnya (parpol oposisi dalam komposisi DPR) tetap harus ada. Jadi, tinggal bagaimana karakteristik tersebut tetap muncul dari parpol yang meskipun berada dalam kekuasaan, tetapi tidak meninggalkan akal sehat dan nalar publik mereka,” ujarnya.

Pilihan Editor: Dosen Filsafat UGM Sebut Pentingnya Partai Oposisi, Jika Tidak Ada Maka Demokrasi Tambah Merosot Jauh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus