Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hoegeng mengisi masa purnatugasnya sebagai Kepala Polri dengan melukis dan bermusik melalui Hawaiian Seniors
Keterlibatannya dalam Petisi 50 membuat Hoegeng dilarang datang ke Peringatan Hari Bhayangkara dan dicegah ke luar negeri
Hoegeng sudah bersiap dengan semua risiko terburuk, termasuk jika sewaktu-waktu dijemput oleh aparat keamanan
SEDAN Mercy hitam memasuki pekarangan rumah di Jalan Madura (kini Jalan Prof Moh. Yamin) Nomor 8, Menteng, Jakarta Pusat, pada suatu sore di awal 1983. Mengetahui yang datang adalah sahabatnya, begawan ekonomi dan menteri di masa Orde Lama dan Orde Baru, Sumitro Djojohadikusumo, Hoegeng Iman Santoso langsung menghampiri. Tanpa basa-basi, ia menanyakan rencana pernikahan putra pertama Sumitro, Prabowo Subianto, dengan putri Presiden Soeharto, Siti Hediati Harjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumitro tak langsung menjawab. Dengan wajah tampak gundah, ia mengajak Hoegeng berbicara empat mata. Sumitro mengaku seharian itu berada di kediaman calon besannya membahas rencana pernikahan anak mereka. Sumitro mengatakan Soeharto tak menginginkan Hoegeng hadir dalam acara itu. Sumitro juga meminta maaf karena batal menjadikan Hoegeng sebagai saksi pihak keluarganya. Hoegeng menyatakan memaklumi hal tersebut. Keduanya lalu menangis berbarengan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jurnalis senior yang menjadi politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Panda Nababan, menceritakan kejadian itu pada Senin, 9 Agustus lalu. Panda mengaku mendengarnya dari Meriyati Roeslani, istri Hoegeng, beberapa tahun lalu. Peristiwa itu adalah satu dari sejumlah masalah yang dihadapi Hoegeng setelah mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tersebut masuk daftar 50 orang yang menandatangani surat “Ungkapan Keprihatinan” pada 5 Mei 1980 alias kelompok Petisi 50.
Sudah bukan rahasia bahwa Hoegeng tidak disukai Soeharto. Saat berumur 49 tahun, jauh dari usia pensiun, Hoegeng diberhentikan dari jabatan Kepala Kepolisian RI, tak lama setelah ia berhasil membongkar skandal penyelundupan mobil mewah. Hoegeng menolak dijadikan Duta Besar RI untuk Belgia karena menurut dia itu pos yang seharusnya diisi diplomat. Ia mengisi masa purnatugas dengan menekuni hobi lamanya: melukis dan memainkan musik Hawaii.
Hoegeng Iman Santoso saat berobat di Belanda. Dok. TEMPO/Asbari N Krisna
Hoegeng tergabung dalam Hawaiian Seniors, grup musik Hawaii yang dirintis oleh perwira Angkatan Udara Republik Indonesia, Soejoso Karsono, pada 1968. Soejoso juga pendiri perusahaan rekaman Irama dan stasiun radio swasta Elshinta. Di grup itu, Hoegeng menjadi vokalis dan pemain ukulele. Awalnya, kelompok musik itu tampil secara live di Elshinta. Pada 1980, Hawaiian Seniors rutin muncul di stasiun televisi pemerintah, TVRI.
Hoegeng juga mengampu sebuah acara radio di Elshinta bertajuk Little Thing Mean a Lot berupa wawancara dengan sejumlah tokoh mengenai beragam topik. Meski seorang jenderal polisi, Hoegeng hidup pas-pasan. "Mengisi acara radio itu buat tambah-tambah agar dapur ngebul juga," kata Aditya Sutanto Hoegeng, 71 tahun, anak kedua Hoegeng, melalui perbincangan via Zoom, Kamis, 5 Agustus lalu.
Dua tahun sebelum terlibat dalam Petisi 50, Hoegeng bergabung dengan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang didirikan atas inisiatif mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Abdul Haris Nasution, pada 1978. Pada kurun waktu itu, Hoegeng juga kerap menyoroti perkembangan di institusi yang pernah dipimpinnya, yang saat itu masih di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Salah satu aksi Hoegeng, menurut Panda Nababan, adalah mengirimkan surat kepada Kepala Polri Widodo Budidarmo. Dalam surat itu, Hoegeng menyebutkan petinggi kepolisian yang baru membeli rumah mewah dan yang kaya mendadak. Panda salah satu reporter yang mendapatkan info dari Hoegeng dan menelusuri kabar tersebut serta memuat liputannya di Sinar Harapan. Akhirnya, dua petinggi kepolisian, Siswadji dan Prajitno, diadili di Mahkamah Militer Tinggi II Jawa Bagian Barat karena korupsi.
Paspor sekali jalan ke Belanda untuk keperluan berobat HOegeng Iman Santoso di Galeri Hoegeng, Depok, Jawa Barat. TEMPO/Nurdiansah
Aktivitas politik yang justru berdampak besar terhadap Hoegeng adalah keterlibatannya dalam Petisi 50. Panda mengungkapkan, mereka yang bergabung dalam kelompok ini, seperti Ali Sadikin dan M. Nasir, adalah tokoh militer dan figur Islam yang dikenal bersih. "Secara kimiawi, (mereka) ada kesamaan," tutur Panda. Maqdir Ismail, anggota Petisi 50, mengatakan Hoegeng hampir selalu hadir dalam rapat. "Beliau tak pernah berkomentar, kecuali yang sangat prinsipiel," ucapnya, Senin, 9 Agustus lalu.
Maqdir mengatakan surat “Ungkapan Keprihatinan” itu merupakan respons atas pernyataan Presiden Soeharto dalam rapat ABRI di Pekanbaru, 27 Maret 1980, dan peringatan ulang tahun Komando Pasukan Sandi Yudha (kini Komando Pasukan Khusus) di Cijantung, Jakarta Timur, pada 16 April 1980. "Pemicunya kan Presiden dalam pidato itu mempersonifikasikan dirinya dengan Pancasila," kata Maqdir. "Ini kan sebagai warga negara mengingatkan, presiden tak boleh seperti itu dalam bernegara."
Petisi 50 menilai Soeharto memberikan kesan bahwa dia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apa pun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila. Petisi 50 juga menyesalkan sikap Soeharto yang melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa ada usaha mengangkat senjata, subversi, infiltrasi, dan perbuatan jahat lain dalam menghadapi pemilihan umum mendatang. Surat ini juga disampaikan Petisi 50 ke Dewan Perwakilan Rakyat pada 13 Mei 1980.
Soeharto marah kepada Petisi 50 dan menuduh mereka merasa paling benar. "Sampai-sampai apa yang telah kita usulkan lewat Orde Baru dengan kekuatan sosial-politik, dengan kekuatan rakyat, itu dinilainya salah, seolah-olah menyimpang dari UUD 1945 dan Pancasila," ujarnya dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989). Soeharto juga menyamakan kelompok itu dengan gerakan Sawito yang ingin menjatuhkannya.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, menyebut sikap Petisi 50 itu sebagai bentuk kekecewaan terhadap Orde Baru. "Orang berharap ada perbaikan sesudah Pemilu 1971 dan 1977. Tapi yang terjadi malah sebaliknya," tuturnya, Selasa, 3 Agustus lalu. Menurut Asvi, reaksi Soeharto keras karena gerakan kelompok itu dinilai berbahaya. "Ini contoh orang tak boleh mengkritik di masa Orde Baru. Kalau ada yang melakukan, ditindak dengan keras."
Dampak keterlibatan Hoegeng dalam Petisi 50 hampir seketika terasa. Tak lama setelah muncul kehebohan Petisi 50, penanggung jawab Hawaiian Seniors di TVRI meneleponnya dan memberitahukan bahwa acara musiknya tak bisa tayang lagi. Alasannya, lagu grup itu kebarat-baratan. Namun, ketika ditanyai lagi apakah acara itu dihentikan karena keterlibatan Hoegeng dalam Petisi 50, sang penelepon kemudian membenarkan.
Menurut Aditya, ada kabar yang menyebutkan penghentian itu dilatari kekhawatiran bahwa acara tersebut akan dipakai Hoegeng untuk menyuarakan aspirasi Petisi 50. Acara Little Thing Mean a Lot di Elshinta juga disetop. Hoegeng, kata Aditya, pernah menanyakan soal ini kepada Ali Moertopo, Menteri Penerangan yang juga kawan dekat ayahnya. Ali hanya menjawab singkat dalam bahasa Jawa. Intinya: "Sudahlah, Mas, tahu sendiri, lah."
Panda Nababan mengatakan Hoegeng juga pernah menanyakan masalah tersebut kepada Ali saat melayat Fatmawati, istri mantan presiden Sukarno yang wafat pada 14 Mei 1980. Saat Ali keluar dari rumah duka, Hoegeng menyusul. "Ali, kenapa kau bredel aku di TVRI. Begitu kejam kau. Itu saja kesenanganku," ucap Hoegeng seperti ditirukan Panda yang saat itu berada di dekatnya. Ali waktu itu hanya mengatakan, "Nanti, lah, kita bicarakan," sambil memasuki mobil.
Secara ekonomi, ada pula dampak yang dirasakan keluarga Hoegeng karena aktivitasnya dalam Petisi 50. Aditya, yang saat itu bekerja di toko onderdil alat musik Yamaha Music, menghadapi masalah setiap kali berhubungan dengan Departemen Perindustrian. Penyebabnya: ada kata “Hoegeng” dalam namanya. Aditya pernah disarankan menyingkat saja nama belakangnya itu agar tak terus menjadi masalah, tapi ia menolak.
Hoegeng sempat mendengar masalah anaknya yang berkaitan dengan nama itu. Dia membolehkan Aditya memakai nama orang lain. Aditya lantas menenangkan hati ayahnya dengan mengatakan, "Jalankan saja aktivitas Bapak. Saya masih muda. Jangan sampai itu mengganggu idealisme Bapak," ujar Aditya mengulangi perkataannya kepada ayahnya.
Masalah nama juga membuat transaksi lukisan karya Hoegeng batal. Ceritanya, ada seorang pengusaha yang memesan lukisan sebagai hadiah untuk kawan. Hoegeng pun mengerjakan lukisan itu. Sesuai dengan jadwal, si pemesan datang. Namun alangkah terkejutnya dia saat melihat ada nama Hoegeng pada lukisan itu. Si pemesan meminta agar tidak ada nama Hoegeng karena tak ingin orang yang dihadiahi mendapat masalah. Hoegeng tak bersedia dan memilih membatalkan penjualan.
Kebahagiaan lain Hoegeng yang juga terampas lantaran aktivitasnya dalam Petisi 50 adalah kesempatan menghadiri seremoni peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli. Pada 1985, kata Aditya, ayahnya sudah mendapat undangan datang dalam acara ulang tahun institusi kepolisian itu. "Itu acara yang selalu ditunggu Bapak," tuturnya. Padahal, Aditya menambahkan, waktu itu Hoegeng telah membatalkan permintaan menjadi wali nikah.
Semuanya berubah tatkala sehari sebelum Hari Bhayangkara, datang seorang brigadir jenderal dari Markas Besar Kepolisian. Hoegeng waktu itu tidak ada di rumah. Perwira polisi itu lantas menitipkan pesan kepada Aditya yang intinya meminta Hoegeng tidak datang dalam acara tersebut. "Institusi Polri tidak ada masalah dengan Bapak, tapi ini perintah Hankam. Mohon Bapak bisa menerima," ujar Aditya, menirukan pesan perwira itu.
Dokumen Petisi 50 di Galeri Hoegeng, Depok, Jawa Barat. TEMPO/Nurdiansah
Menurut Panda Nababan, Hoegeng kecewa atas pelarangan itu. Ketika ditanyai ihwal pembatalan undangan, kata Panda, Hoegeng tertawa dan mengatakan, "Aku bisa bawa cucuku ke mall." Namun Panda melihat nada kekecewaan dari jawaban itu. Untuk mengurangi rasa kecewa, Aditya mengajak kedua orang tuanya ke Medan untuk menengok bekas rumah dinas dan restoran tempat mereka sering makan bersama dulu.
Maqdir Ismail menyebutkan masalah lain yang dialami oleh semua penanda tangan Petisi 50 adalah pencegahan ke luar negeri. Hoegeng mengalaminya pada 1993. Saat itu Hoegeng terkena stroke dan dokter menyarankan dia dibawa ke sebuah klinik di Belanda. Menurut Aditya, upaya pengobatan itu tak dapat dilakukan karena Hoegeng tak bisa mendapatkan paspor lantaran dicegah ke luar negeri.
Aditya memberanikan diri menemui Panglima ABRI Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani. Ia berhasil bertemu dan menyampaikan harapannya agar Hoegeng diizinkan berobat. Moerdani menyarankan Hoegeng menulis surat kepadanya untuk meminta izin ke luar negeri. Mendengar jawaban itu, Aditya pulang dan tak pernah memberi tahu ayahnya. Ia yakin ayahnya tidak akan mau memenuhi permintaan menulis surat seperti itu.
Panda bercerita, Hoegeng pernah mendengar kabar bahwa Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Soedomo serta kepala stafnya, Yoga Sugama, menemui Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf untuk membicarakan rencana menangkap tokoh Petisi 50 itu. Menurut Panda, Jusuf waktu itu hanya mengatakan, "Nangkapnya mudah. Kalau mengeluarkannya nanti alasannya apa?" Panda menilai respons itu sebagai sinyal bahwa Jusuf tak setuju dengan rencana tersebut.
Aditya menyebutkan Hoegeng pernah menyampaikan penyesalan karena aktivitas politiknya menyulitkan anak-anaknya. Namun Aditya melihat dia sudah ayahnya dengan segala risiko, termasuk yang terburuk sekalipun. "Ibu sudah diminta Bapak menyiapkan handuk kecil, rantang, dan lain-lain. Siap-siap jika Bapak sewaktu-waktu dijemput oleh aparat," ucap putra Hoegeng Iman Santoso yang akrab disapa Didit tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo