Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wasiat tanpa Warisan

Jumlah anak yatim-piatu bertambah akibat pandemi Covid-19. Belum mendapat bantuan pemerintah.

14 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Noval Adriyansah di rumahnya yang berdempetan dengan rumah bibinya di Kampung Kepanjen, Dusun Bintaran, Jambidan, Banguntapan, Bantul,Yogyakarta, 10 Agustus 2021. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah anak mendadak menjadi orang tua akibat pandemi Covid-19.

  • Pada Juli lalu, Satuan Tugas Covid-19 mencatat 11.045 anak menjadi yatim-piatu.

  • Bupati Bangkalan belum menyiapkan bantuan atau program untuk anak yatim-piatu akibat Covid-19.

BEBAN Rahma Aurora Zalfa Putri kian berat sejak pertengahan Juli lalu. Dara 17 tahun bertubuh kurus itu menjadi tali penyambung hidup keluarga sejak ayahnya, Sukandarno, meninggal karena Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua hari dirawat di Rumah Sakit Nur Hidayah di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pedagang cilok itu berpulang pada usia 48 tahun. Rahma kini harus menanggung biaya hidup kakaknya, Siti Nurhayati, 19 tahun, penyandang disabilitas netra dan intelektual, serta adiknya, Noval Adriyansyah, 10 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibu Rahma meninggalkan rumah mereka di Kampung Kepanjen, Dusun Bintaran, Jambidan, Banguntapan, Kabupaten Bantul, sepekan sebelum Lebaran setelah bertengkar dengan Sukandarno. Seusai pertengkaran itu, dia tak pernah kembali.

Sejak itu, Rahma bekerja di toko grosir yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Ia bekerja sebagai kasir dan penjaga toko selama 10 jam setiap hari. “Saya tidak mendapatkan libur,” katanya kepada Tempo pada Selasa, 10 Agustus lalu. “Kalau libur, uang saya dipotong.”

Setiap pekan Rahma mendapat upah Rp 335 ribu atau sekitar Rp 1,3 juta per bulan. Penghasilan itu masih di bawah upah minimum Provinsi Yogyakarta sebesar Rp 1,7 juta. Sebagian besar uang itu ia pakai untuk membiayai kebutuhan hidup bersama dua saudaranya.

Gabriela Magista Ayuningtyas (kiri) dan adiknya Rafael Vidi Palma Christiawan di Dusun Sono Blotan, Desa Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta,10 Agustus 2021. TEMPO/Shinta Maharani

Rahma sebenarnya ingin melanjutkan sekolah lagi. Tapi dia teringat pesan ayahnya sebelum masuk rumah sakit agar ia menjaga kakak dan adiknya. Apalagi adiknya yang sering mengikuti Sukandarno berjualan cilok kerap menangis memanggil bapaknya. Sedangkan kakaknya acap melamun.

Pada 2019, Rahma sebenarnya telah lulus dari madrasah tsanawiyah di Semarang. Ia lulus dengan nilai terbaik dari sekolah setingkat sekolah menengah pertama itu. Namun sekolah menahan ijazah Rahma karena orang tuanya tak bisa melunasi iuran sumbangan pembinaan pendidikan selama dua tahun.

Adiknya pun putus sekolah. Sukandarno lalu membawa mereka ke rumah berdinding bata dan berlantai plester seluas 4 x 6 meter yang sekarang mereka tempati. Sejak pandemi Covid-19, hidup mereka lebih sulit karena dagangan Sukandarno jarang laku. “Sekarang saya tetap berusaha menabung supaya bisa bersekolah lagi,” ujar Rahma.

Di Kabupaten Sleman, Rafael Vidi Palma Christiawan, 10 tahun, dan Gabriela Magista Ayuningtyas, 15 tahun, juga kehilangan ayahnya. Stephanus Ismawan Wishnu, 49 tahun, ayah dua anak itu, meninggal karena terinfeksi Covid-19 pada Ahad, 24 Januari lalu, di Rumah Sakit Hermina, Bitung, Tangerang, Banten.

Sepeninggal Stephanus, pegawai di perusahaan peternakan ayam, Asri Puji Rahayu, 49 tahun, yang sebelumnya hanya mengurus dua anak, kini berjualan bandeng, tahu bakso, dan mi di rumahnya supaya ada pemasukan.

Asri sadar keluarganya tak mungkin bisa bertahan hanya mengandalkan uang santunan dari kantor suaminya. Apalagi putrinya adalah penyandang disabilitas cerebral palsy atau lumpuh otak. Biaya perawatannya tidak murah. Asri harus menghentikan fisioterapi rutin Gabriela karena biayanya cukup mahal, Rp 70-100 ribu satu kali terapi. Perusahaan suaminya tak lagi membayar iuran jaminan kesehatan keluarganya. “Untuk bayar iuran BPJS pun saya kesusahan,” katanya.

Bukan hanya perawatan, obat-obatan khusus untuk putrinya itu pun terpaksa ia hentikan. Kini Asri melatih sendiri otot-otot kaki dan tangan Gabriela, yang duduk di kursi roda.

Saat Tempo bertandang ke rumahnya, Gabriela terlihat ceria dan sering berbicara. Namun, ketika ayahnya dibahas, wajahnya berubah sedih. Kadang-kadang ia menidurkan kepalanya di papan kayu di atas kursi roda.

Menurut Asri, sumbangan pemerintah selama ini baru sebatas bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH). Bantuan itu berupa beras 10 kilogram dan uang Rp 200 ribu sepanjang masa pandemi. Tapi bantuan itu turun tidak rutin. Asri baru menerima enam kali untuk bantuan dalam bentuk uang.

Begitu pula keluarga Rahma Aurora Zalfa Putri. Mereka hanya mendapatkan bantuan PKH. Bantuan sosial itu pun sudah habis untuk menambal rumah yang bocor dan mengecor lantai dari tanah menjadi plester.

Di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, keluarga Setiyaningsih juga belum tersentuh bantuan dari pemerintah. Ibu tunggal 48 tahun yang memiliki lima anak berusia 6 hingga 28 tahun itu telah mengurus permintaan bantuan begitu pandemi Covid-19 melanda. Sehari-hari, Setiyaningsih bekerja sebagai pengasuh anak pemilik toko batik. Namun bantuan itu tak pernah tiba, bahkan setelah Setiyaningsih meninggal di Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara Hardjolukito karena Covid-19 pada Selasa, 13 Juli lalu.

Kini keluarga itu menjadi tanggungan anak sulung, Irfan Budi Saputra, yang sehari-hari bekerja menjadi tenaga penjualan di perusahaan jasa telekomunikasi. Ayahnya, seorang pembuat kunci, meninggal tujuh tahun lalu karena kanker usus. Irfan khawatir adik-adiknya putus sekolah karena ia tak punya cukup uang untuk membiayai mereka. Adik terkecilnya kini diasuh oleh tantenya. “Ibu berpesan agar adik-adik saya harus tamat sekolah,” ucap Irfan.

•••

DATA Satuan Tugas Covid-19 per 20 Juli 2021 menyebutkan ada 11.045 anak menjadi yatim, piatu, atau yatim-piatu. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, setidaknya ada 120 anak menjadi yatim-piatu setelah orang tua mereka meninggal terinfeksi Covid-19. Mereka berusia 5-18 tahun.

Beberapa dari mereka adalah penyandang disabilitas, seperti Gabriela Magista Ayuningtyas. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk DIY Erlina Hidayati Sumardi mengatakan sebagian besar anak yang menjadi yatim hidup miskin di desa-desa. Kebanyakan orang tua mereka meninggal saat menjalani isolasi mandiri di rumah.

Data itu, menurut Erlina, bisa bertambah karena di lapangan banyak keluarga belum melapor. Dia menghimpun data dari Dinas Perempuan dan Anak di kabupaten dan kota serta Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak.

Kepala Dinas Sosial Yogyakarta Endang Patmintarsih mengatakan dinasnya menyediakan balai perlindungan sosial khusus untuk menampung anak-anak sebatang kara karena orang tua mereka meninggal terinfeksi Covid. Balai semacam panti asuhan itu menambah daya tampung dari 108 menjadi 150 anak sejak pandemi.

Di Kota Depok, Jawa Barat, wabah Covid-19 sejak Maret 2020 telah membuat lebih dari 740 anak menjadi yatim, piatu, atau tak lagi punya kedua orang tua. Kepala Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat, dan Keluarga Depok Annisa Handari mengatakan angka anak yatim-piatu itu berasal dari sekitar 400 kepala keluarga yang meninggal akibat virus corona. Namun sampai sekarang Pemerintah Kota Depok masih menyiapkan program untuk menjamin hak anak-anak itu. “Kami sedang mendata jumlahnya dan memetakan kebutuhan tiap anak,” katanya.

Sedangkan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tercatat 3.762 anak menjadi yatim-piatu sejak Maret 2020. Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial Dinas Sosial Kabupaten Bogor Dian Muldiansyah mengatakan, dari jumlah itu, 1.535 anak sudah diasuh oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial di bawah naungan Dinas Sosial Kabupaten Bogor. Sisanya tercatat sebagai anak kurang beruntung tapi diasuh oleh kerabatnya.


Data Satgas Covid-19 per 20 Juli 2021

11.045 anak menjadi yatim piatu, yatim atau piatu.
350.000 anak terpapar Covid-19.
777 anak meninggal dunia.


Misalnya Fadil Suwardi, 9 tahun, yang tinggal di Dramaga, Kabupaten Bogor. Ia kini dirawat oleh kakaknya, Salsyabila Nur Aini Suwardi, 21 tahun. Pada 15 Juni lalu, ayah Fadil, Suwardi Atmaja, meninggal setelah dinyatakan positif Covid. Dua hari sebelumnya, ibunda Fadil, Hadijah Nur Samsiah, juga berpulang. “Saya dan suami sepakat mengurus dua adik dan tinggal di rumah peninggalan orang tua,” tutur Salsyabila.

Di Kota Malang, Jawa Timur, Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Penny Indriani mengatakan ada dua psikolog disiapkan oleh pemerintah setempat. Mereka bertugas memberikan pendampingan konseling terhadap anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya akibat Covid. Selama pandemi, setidaknya ada 101 anak menjadi yatim/piatu.

Tak semua pemerintah daerah sadar dampak lain pandemi Covid-19 adalah tumbuhnya para yatim-piatu. Bupati Bangkalan, Jawa Timur, R. Abdul Latif Amin, malah berterima kasih ketika ditanyai tentang data yatim-piatu di kabupatennya. “Terima kasih sudah diingatkan,” katanya pada Rabu, 11 Agustus lalu. “Saya pastikan pemerintah hadir. Akan kami buat program khusus.”

ADE RIDWAN YANDWIPUTRA (DEPOK), MUSTHOFA BISRI (BANGKALAN), M.A. MURTADHO (BOGOR), EKO WIDIANTO (MALANG), SUJATMIKO (BOJONEGORO)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus