Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pandemi berkepanjangan memicu kenaikan jumlah penganggur dan penduduk miskin.
Pergeseran besar-besaran pekerja formal ke sektor informal menambah banyak penduduk rentan miskin.
Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 yang kinclong hanya fatamorgana.
DARI beragam kemungkinan nasib buruk, hanya kematian dan kelaparan yang belum menyambangi Hendra, 43 tahun. Pandemi Covid-19 mendekatkan warga Sukadamai, Cipaku, Kota Bogor, Jawa Barat, itu dengan kesialan demi kesialan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Maret 2021, Hendra dipecat dari pekerjaannya, kuli jahit dan lem sandal. Tak berselang lama, istrinya meminta izin pulang untuk tinggal sementara bersama orang tua. Rupanya, kepulangan itu permanen. Dua bulan tinggal bersama orang tua, istri Hendra menggugat cerai. "(Mungkin) karena tidak sabar saya penganggur. Ya, nasibnya begini mungkin," kata Hendra, Kamis, 12 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengesampingkan urat malu, Hendra memutuskan untuk menumpang hidup di rumah adik perempuannya. Kebetulan si adik sedang membutuhkan tukang kebun dan pengasuh anak. Selagi menunggu panggilan kerja dari bengkel sandal yang lama, Hendra mengerjakan apa saja.
Nasib lebih baik dialami Wahyudin Ali. Sebelum pandemi merebak, pria 37 tahun ini adalah perajin sandal yang sukses di Bogor. Ada dua pekerja yang ikut dengannya. Pada Maret dan April 2020, dia masih bisa menerima order pembuatan sandal dan sepatu sampai 350 kodi, atau 7.000 pasang.
Pekerja di salah satu UMKM pengrajin sendal, menyelesaikan orderan pesanan sandal di daerah Ciomas, Bogor, 12 Agustus 2021. TEMPO/M.A MURTADHO
Bulan-bulan berikutnya, pesanan yang datang bukan lagi dalam satuan kodi, melainkan hanya biji. Baru pada Mei lalu, menjelang Lebaran 2021, jumlah order naik sedikit menjadi 30 kodi. Setelah itu anjlok lagi. "Distributor dan toko sandal di pasar-pasar yang biasa order tidak pesan lagi," tutur Wahyudin di kediamannya di Ciomas, Kabupaten Bogor. "Kata mereka, stok tahun lalu saja masih menumpuk di gudang."
Wahyudin menuding berbagai kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat, yang diterapkan pemerintah untuk menekan laju penularan Covid-19, sebagai biang sepinya order sandal. Pasar menjadi lengang. Daya dan minat beli pun turun.
Tak tahan dengan bisnis kerajinan sandal yang hancur lebur, Wahyudin menutup bengkel dan memecat dua pekerjanya. Seorang korbannya, ya, si Hendra tadi.
Wahyudin lebih beruntung daripada Hendra. Punya modal kerja berupa sepeda motor, dia “banting setang” menjadi ojek online dan kurir. Sementara itu, istri Wahyudin mulai belajar berjualan online. “Apa pun itu dimaksimalkan. Ada dua anak yang harus kami hidupi,” ucap Wahyudin.
Bencana ekonomi yang disulut Covid-19—kini memasuki tahun kedua—memukul sendi-sendi kehidupan jutaan orang seperti Hendra dan Wahyudin. Sama dengan di negara lain, makin banyak masyarakat Indonesia kian tergencet oleh pandemi berkepanjangan.
Badan Pusat Statistik mencatat, hingga Februari 2021, ada 19,10 juta angkatan kerja Indonesia yang terkena dampak Covid-19. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1,62 juta orang kehilangan pekerjaan alias menganggur. Sedangkan jumlah orang yang mengalami pengurangan jam kerja mencapai 15,72 juta.
Tak pelak, jumlah penganggur membengkak. Pada Februari 2020, sebelum wabah Covid-19 masuk ke Nusantara, angkanya 6,97 juta orang atau 4,94 persen dari total angkatan kerja. Pada Februari lalu, porsi penganggur telah mencapai 6,26 persen atau sebanyak 8,75 juta orang, naik 26,26 persen dalam setahun.
Selain membuat banyak orang menganggur, pandemi melempar para pekerja formal ke sektor informal. Angga Cassa Indra seorang di antaranya. Sebelum pandemi melanda, pria 29 tahun ini adalah operator pemesanan taksi yang telah bekerja selama empat tahun di perusahaan transportasi di Denpasar. Taruna asal Banjar Bongan Gede, Kabupaten Tabanan, Bali, itu menerima gaji Rp 3,5 juta per bulan.
Pandemi datang memukul bisnis pariwisata. Perekonomian Bali, juga semua sekrup penggeraknya seperti Angga, tersapu. “Sebagian besar karyawan, termasuk saya, diputus kontrak,” ujar Angga, Kamis, 12 Agustus lalu.
Siang itu, Kamis pekan lalu, Angga mencari angin di sudut rumahnya di Tabanan setelah rampung membuat dimsum. Sejak dipecat pada April tahun lalu, pria berambut keriting tebal itu berjualan makanan kecil khas Cina tersebut di pasar online. Keuntungannya tak seberapa, maksimal Rp 500 ribu per bulan. “Kerjakan apa yang bisa saja,” kata Angga. “Yang penting bisa buat makan.”
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat pergeseran pekerja formal paling besar terjadi di industri pengolahan. Sedikitnya 1,72 juta pekerja sektor manufaktur terpental ke sektor-sektor informal. “Artinya, mereka bergeser dari produktivitas tinggi ke rendah,” tutur Amalia Adininggar Widyasanti, Deputi Bidang Ekonomi Bappenas, dalam webinar yang digelar Centre for Strategic and International Studies pada 4 Agustus lalu.
MAKIN MISKIN, MAKIN TIMPANG
PANDEMI Covid-19 membuat tingkat kemiskinan di Indonesia makin tinggi. Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk miskin per Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang, naik 4,23 persen dalam rentang setahun. Pada saat yang sama, jurang ketimpangan ekonomi yang ditunjukkan rasio Gini makin menganga. Pengeluaran ekonomi tak merata, terutama di perkotaan.
Pengurangan tenaga kerja tak hanya terjadi di industri pengolahan. Secara berturut-turut, pengurangan besar juga terjadi pada sektor konstruksi, jasa pendidikan, administrasi pemerintahan, jasa keuangan dan asuransi, jasa perusahaan, pertambangan dan penggalian, transportasi dan pergudangan, penyediaan akomodasi dan makanan serta minuman, penyediaan air dan pengelolaan sampah, serta real estate.
Yang membikin ketar-ketir, pergeseran pekerja formal ke informal secara masif pernah terjadi ketika krisis keuangan 1997-1998 menghantam Asia. Saat itu sedikitnya 4,6 juta pekerja formal terlempar ke sektor informal. Mereka membutuhkan waktu 10 tahun untuk bisa kembali ke sektor yang dapat memberikan gaji rutin setiap bulan tersebut. “Fenomena perpindahan pekerjaan formal ke informal ini perlu mendapat perhatian,” kata Amalia.
Sudah bisa dibayangkan, pukulan pandemi pada akhirnya menyentuh urusan paling vital: kesejahteraan masyarakat. Jumlah penduduk miskin per Maret 2021 bertambah menjadi 27,54 juta orang. Angka ini setara dengan 10,14 persen dari total populasi Indonesia. Pada periode yang sama tahun lalu, angka kemiskinan masih 9,78 persen.
Yang mengerikan sebetulnya ada pada data jumlah penduduk yang rentan jatuh miskin. Per Maret 2021, dalam catatan Bappenas, jumlah penduduk rentan fakir itu mencapai 140 juta orang, menembus 52 persen dari populasi Indonesia.
Mereka adalah rumah tangga dengan penghasilan seperak di atas Rp 2.121.637 per bulan—batas garis kemiskinan Maret 2021. Seperak saja pendapatan hilang, mereka jatuh ke lubang kemiskinan. Adapun jurang pemisah antara si miskin dan si kaya makin lebar—rasio Gini per Maret 2021 sebesar 0,384. BPS, yang mencacah tingkat kemiskinan rakyat di republik ini, menuding langsung bahwa dari enam faktor pemicu tingkat kemiskinan, dua berkaitan langsung dengan naiknya angka penganggur dan pekerja informal.
•••
SEHARI setelah Badan Pusat Statistik dan pemerintah mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua 2021 melambung 7,07 persen secara year-on-year, Hanafi Setiawan meninggalkan istri dan dua anaknya tanpa jaminan penghasilan. Hanafi meninggal pada Jumat, 6 Agustus lalu, setelah menjalani perawatan intensif akibat Covid-19 di Rumah Sakit Hermina Yogya.
Kepergian Hanafi adalah bencana kedua bagi istrinya, Yohana Widosari. Nasib buruk pertama bagi ibu dua anak itu datang pada awal pandemi tahun lalu. Perempuan 50 tahun itu dipecat dari pekerjaannya sebagai penyelia kasir di Hotel Quality. Yohana, yang telah bekerja di hotel itu selama 28 tahun, terkena pemangkasan jumlah pegawai bersama 120 pekerja lain.
Sejak dipecat, Yohana hanya mengandalkan pesangon dan gaji Hanafi sebagai pramuniaga di pusat belanja Mirota Batik. Namun, setelah suaminya wafat, Yohana sudah berhitung, sisa pesangon saja tidak akan cukup untuk menopang hidup serta biaya sekolah dua anaknya yang masih berusia 13 dan 8 tahun. “Dua anak saya terancam putus sekolah jika saya tidak bekerja lagi,” ucap Yohana di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis, 12 Agustus lalu. “Mungkin saya akan jualan makanan.”
Yohana asal saja menyebut pekerjaan yang bisa dilakoni dalam waktu dekat.
Pertumbuhan kuartal II 2021 memang mengkilap, 7,07 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu. Namun ekonom senior Chatib Basri mengingatkan, capaian kemilau itu tak lepas dari rendahnya produk domestik bruto pada kuartal II 2020 yang menjadi basis penghitungan pertumbuhan tahunan di kuartal II 2021. Pada kuartal kedua 2020, perekonomian terkontraksi, minus 5,32 persen.
Betapapun demikian, dalam paparan yang diselenggarakan Kementerian Perdagangan pada 5 Agustus lalu, Chatib mengakui bahwa pertumbuhan kuartal II 2021 itu, “Mengkonfirmasi bahwa recovery telah terjadi di kuartal kedua 2021.”
Menurut Chatib, pertumbuhan kuartal kedua 2021 tak bisa lepas dari dibukanya pembatasan mobilitas sepanjang April-Juni 2021. Ekonomi bergerak. Sayangnya, pembukaan mobilitas itu dilematis. “Jika mobilitas (dibuka) terlalu jauh, ada risiko infeksi naik, pandemi muncul lagi, lalu harus diketatkan lagi,” ujarnya.
Pertumbuhan 7,07 persen pada April-Juni 2021 memang meminta tumbal. Indonesia tersapu gelombang kedua pandemi Covid-19 akibat pelonggaran pembatasan dan masuknya virus corona varian delta. Pada Juni 2021, tercatat 7.913 orang meninggal terjangkit Covid. Sebulan kemudian, angkanya berlipat-lipat menjadi 32.061 kasus kematian. Makanya, pada triwulan III ini, Chatib yakin pertumbuhan ekonomi akan kembali melambat gara-gara pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat untuk menahan laju penularan virus selama gelombang kedua pandemi.
Semua pakar ekonomi telah lama mengingatkan bahwa vaksinasi adalah kunci untuk mengejar pemulihan segera roda perekonomian. Perekonomian banyak negara di Eropa, juga Cina dan Amerika Serikat, telah membentuk lekuk kurva V alias segera pulih karena mereka mempercepat perluasan akses warga negara masing-masing terhadap vaksin.
Namun, dalam pandangan Bappenas, pandemi kali ini telah mengekspos struktur ekonomi dan mengganggu target pemerintah yang menginginkan Indonesia menjadi negara berpenghasilan tinggi sebelum 2045. Gara-gara pagebluk, Indonesia bahkan sudah jatuh lagi ke kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah.
Menurut Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti, Indonesia harus memperkuat sektor manufaktur dan hilir industri sumber daya alam. “Kalau kita menambah hilirisasi, pabrik bertambah, lapangan kerja tercipta, banyak pekerja beralih ke sektor formal dan mendapat gaji minimum,” kata Amalia lewat panggilan virtual, Jumat, 13 Agustus lalu.
Perubahan struktur ekonomi memang membutuhkan proses. Namun hal itu harus dilakukan untuk menyerap jutaan penganggur produk pandemi. Salah satunya Eko Septi Ardi, penyandang disabilitas ragam daksa yang dipecat pada April 2020 dari pekerjaannya sebagai teknisi perangkat lunak minimarket dan koperasi di Yogyakarta. Hingga kini Eko tak berhenti mencari peluang kerja. “Tapi tak ada yang mau menerima difabel.”
SHINTA MAHARANI (Yogyakarta) ADHO MURTADHO (Bogor) MADE ARGAWA (Denpasar)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo