Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anwar Nasution (1)Ganti Saja
KETUA Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution, sebagaimana ditayangkan berbagai media elektronik, tampak berang atas sikap Khairiansyah yang berhasil mengungkap kasus penyuapan dengan tersangka Mulyana W. Kusumah, anggota KPU.
Berkali-kali ia mengatakan perbuatan Khairiansyah dan kawan-kawannya itu, meski sepengetahuan atasan langsung Khairiansyah, sebagai perbuatan yang kampungan, dengan alasan hal itu bukan fungsi BPK.
Anwar Nasution juga menilai bahwa upaya yang dilakukan Khairiansyah dan kawan-kawan merupakan ajang cari popularitas, bahkan disebut juga Khairiansyah "pahlawan kesiangan".
Bagi rakyat yang mendambakan perubahan, lebih baik punya "pahlawan kesiangan" daripada punya "penjahat keterusan" seperti terjadi selama ini.
Anwar Nasution sebelum menjadi petinggi Bank Indonesia, dulu pernah berkoar-koar bahwa "BI merupakan sarang penyamun". Setelah ia menjadi pejabat tinggi BI, malah ikut larut menjadi penyamun.
Anehnya, sosok seperti ini kok malah dipercaya menjadi Ketua BPK, padahal lembaga BPK membutuhkan sosok yang jujur seperti Khairiansyah.
Menurut Trimedya Panjaitan, anggota DPR RI dari Komisi III, ada sinyalemen bahwa telah terjadi deal antara Ketua BPK Anwar Nasution dan Ketua KPU sehubungan dengan masalah penyimpangan yang terjadi di KPU. Kalau sinyalemen ini benar, maka bisa dimengerti mengapa Anwar Nasution terlihat begitu berang menyikapi kasus ini.
Kepada pemerintah, kami mendesak agar segera mengganti Ketua BPK Anwar Nasution. Selain tidak becus, ia juga terkesan emosional, arogan, dan tidak arif.
CHRISTIAN TJANDRAJalan Darussalam, Jakarta
Anwar Nasution (2)Identik dengan Ketidakjujuran?
MENYIMAK pemberitaan penangkapan Mulyana W. Kusumah yang tersangkut kasus upaya penyuapan terhadap auditor putih BPK, Khairiansyah, (Tempo edisi 18-24 April), saya melihat bahwa tanggapan Ketua BPK Anwar Nasution sangat emosional sampai mengatakan langkah anak buahnya itu kampungan.
Selaku atasan di sebuah lembaga yang diserahi tanggung jawab atas auditing keuangan negara, Anwar Nasution seharusnya merasa bangga pada anak buahnya yang jujur, berani menghadapi risiko membongkar praktek suap seperti yang dilakukan oleh oknum petugas KPU tersebut.
Langkah Khairiansyah untuk menjebak dan menangkap basah Mulyana Wira Kusumah tanpa harus melapor dulu kepada Anwar Nasution sangat tepat. Sebab, kalau korupsi yang terjadi di tubuh KPU hasil audit Khairiansyah itu dilaporkan ke atasannya, saya tidak yakin akan ditindaklanjuti. Di sisi lain, Khairiansyah barangkali melihat bahwa hasil audit itu ada kemungkinan akan "diuangkan" oleh oknum-oknum tertentu mengingat kasus korupsi di negara kita ini sudah demikian parahnya.
Saya sebagai rakyat yang sangat mendambakan kejujuran dan penegakan hukum terhadap maling-maling berdasi yang sudah rai gedhek (tidak tahu malu), merasa bangga dan angkat jempol atas langkah Khairiansyah. Jangan takut dengan ancaman Anwar Nasution yang akan mengambil tindakan tegas. Diancam akan dipecat pun jangan takut. Saya yakin masih banyak perusahaan swasta yang akan menampung orang-orang seperti Khairiansyah.
Sebaliknya, dari kasus ini, apakah saya keliru menafsirkan bahwa Ketua BPK Anwar Nasution bisa juga diartikan identik dengan ketidakjujuran? Kalau tidak, mengapa ia harus marah-marah dan emosional bahkan sampai mengeluarkan kata-kata "kampungan", mengancam akan mengambil tindakan tegas segala? Di sisi lain, apa dan di mana letak "kerugian" yang diderita Anwar Nasution atas langkah yang diambil anak buahnya itu? Apakah hanya karena dilangkahi?
Kebijaksanaan Khairiansyah itu, menurut pendapat saya, justru menjunjung tinggi lembaga BPK sekaligus juga mengangkat derajat, martabat dan nama baik ketuanya, Anwar Nasution sendiri.
D.J. PAMOEDJICipinang Muara, Jakarta
Tanggapan Asuransi Prudential
KAMI menanggapi surat pembaca atas nama Ir. Syahrir Muchtar yang dimuat di Tempo edisi 4-10 April 2005 yang berjudul "Kecewa dengan Prudential".
Atas nama Direksi serta segenap staf PT Prudential Life Assurance (Prudential), terlebih dulu kami mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Torique Fasil Sabili (alm.), cucu dari Bapak Ir. Syahrir Muchtar, pada 21 November 2004.
Kami juga memohon maaf yang sebesar-besarnya atas terjadinya penundaan pemberitahuan resmi (tertulis) mengenai keputusan klaim kepada nasabah Ibu Dwiyana Irvianti (putri Bapak Ir. Syahrir Muchtar). Hal ini terutama disebabkan oleh perlunya kami melakukan penelusuran dan analisis lebih lanjut mengenai data dan fakta seputar pengajuan klaim yang dilakukan oleh Ibu Dwiyana, yang prosesnya memerlukan waktu yang cukup panjang.
Penjelasan resmi keputusan klaim telah kami kirimkan kepada Ibu Dwiyana pada 14 Maret 2005 dan telah diterima oleh nasabah yang bersangkutan pada 21 Maret 2005.
Semoga penjelasan ini dapat diterima dengan baik oleh Ibu Dwiyana Irvianti dan Bapak Ir. Syahrir Muchtar.
NINI SUMOHANDOYOCorporate Marketing &Communications Director PT Prudential Life Assurance
Kasus Mulyana dan Kekecewaan Kita
Saya mendengarnya setengah tak percaya. Sabtu sore dua pekan lalu, sebuah televisi swasta menyiarkan dalam acara berita cepat: Mulyana W. Kusumah, kriminolog sekaligus aktivis demokrasi itu, ditahan di Rumah Tahanan Salemba akibat tertangkap tangan oleh anggota Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika yang bersangkutan (Mulyana) sedang dalam proses menyuap salah seorang pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ibarat angin, kabar itu kemudian cepat menyebar melalui pesan pendek (SMS) telepon seluler dan milis-milis di internet. Esok harinya, berita itu sudah terpampang di halaman muka beberapa media besar Ibu Kota. Tentu saja berita yang memang "seksi" ini menjadi santapan yang lezat bagi televisi. Mereka menyiarkan ibaratnya tiap menit, menyela program-program yang sedang ditayangkan.
Saya tak tahu bagaimana berita perihal kasus Mulyana ini diterima oleh kalangan teman-teman gerakan prodemokrasi lainnya. Tapi bagi saya, sebagai orang biasa saja, sungguh merupakan guncangan psikologis yang cukup dahsyat. Barangkali saya berlebihan. Tapi bukankah pada orang-orang seperti Mul, harapan kita akan perbaikan tatanan politik negeri ini kita titipkan? Tapi justru oleh mereka ini pulalah, harapan itu tak hanya tak kesampaian, tapi bahkan seperti mereka hempaskan.
Kekecewaan saya dan juga orang-orang seperti saya ini mungkin wajar saja, karena perkaranya tak hanya berhenti sampai di sana. Bahkan ada indikasi, sang pelapor (pegawai BPK) akan dipermasalahkan, bahkan oleh atasannya sendiri, yaitu Anwar Nasution. Bapak yang dahulu saya termasuk hormat karena reputasinya yang terbilang bersih. Alangkah kaget dan kecewanya ketika saya mendengar bahwa beliau mengecam anak buahnya dengan kata-kata yang menurut hemat saya emosional dan tak masuk akal. "Dia (sang pelapor) bukanlah pahlawan, tapi kampungan," ujarnya di berbagai tayangan televisi.
Saya tak tahu apa yang berubah dari beliau ini? Dulu saya beranggapan Pak Anwar Nasution ini sebagai "perawan di sarang penyamun" ketika beliau berada di berbagai lembaga tinggi keuangan negeri ini yang tampak tak begitu bersih. Apakah kini "perawan" itu telah jatuh cinta pada para "penyamun"? Atau inikah kondisi seperti itukah jika seorang "perawan" terlalu lama berada di kelompok "penyamun"? Saya jadi ingat teori Stockholm Syndrome.
Seandainya saja ada kesalahan prosedur pada bawahan, tak elok jika beliau berkoar-koar di luar dari lembaganya seperti itu. Pak Anwar bisa saja memanggil sang pelapor yang juga anak buahnya untuk dimintai keterangan. Bahkan bila perlu diberi sanksi secara internal kelembagaan. Tapi mengenai soal substansi, seharusnya beliau mendukungnya, atau paling tidak menindaklanjuti dengan serius indikasi korupsi di KPU yang telah ditemukan anak buahnya.
Memang, akhirnya harus saya katakan negeri ini benar-benar sudah begitu runyam tidak hanya oleh bencana, tapi yang lebih parah adalah korupsi yang sangat kronis yang melingkupi kita. Dan hanya mereka yang kita rasa dekat tapi berkhianat yang bisa membuat kita kecewa dan frustrasi.
SUHARTONO S.Jalan Rambutan, Cirendeu, Ciputat
Handycam Tertinggal di Taksi KTI
PADA 31 Maret 2005, sekitar pukul 20.00-21.00 WIB, saya naik taksi KTI (Koperasi Taksi Indonesia) dari terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta menuju rumah kerabat di daerah Kramat Jati, Jakarta Timur. Ternyata, tanpa saya sadari, kamera handycam mini DV merek Sony milik saya tertinggal di jok belakang taksi. Segera malam itu juga saya menghubungi pihak KTI (melalui telepon pada pukul 21.30 dan datang langsung ke pool KTI di Kramat Jati sekitar pukul 23.00). Petugas operator yang berbicara dengan saya berjanji akan mengabarkan berita pengaduan saya melalui jalur radio komunikasi.
Esoknya, saya mendatangi bagian pengaduan di kantor KTI. Namun, sikap staf pengaduan yang saya temui terkesan seperti tidak peduli. Dalihnya, saya tidak menghafal nomor pintu taksi ataupun memegang kartu komplain. Saat saya meminta bantuan beliau untuk menghubungi satgas bandara Terminal 2 untuk melacak taksi KTI yang beroperasi pada tanggal 31 malam di bandara, beliau menolak. Akhirnya, setelah saya menghubungi pihak bandara, saya memperoleh data 3 nomor taksi yang diduga sesuai dengan informasi aduan saya. Data ini pun telah saya berikan kepada pihak KTI. Sampai surat ini saya tulis, pihak KTI belum memberikan tindak lanjut yang berarti, meski saya sudah berkali-kali mendatangi kantor KTI. Saya ingin mengimbau pihak pengelola KTI untuk meningkatkan fungsi kontrol perusahaan terhadap pelayanan yang diberikan oleh sopir KTI kepada penumpang/pengguna jasa KTI; meningkatkan kinerja serta kualitas karyawan KTI dan memperbaiki sistem pendataan semua unit kendaraan, hak kepemilikan kendaraan, dan orang yang sah tercatat sebagai sopir KTI.
Dengan kondisi yang tidak terkelola dengan baik, saya pikir perusahaan KTI tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan taksi lain yang lebih berkualitas dan memiliki layanan prima.
Saya sangat menyesali kejadian ini. Di dalam handycam saya yang tertinggal terdapat kaset dokumentasi saya menghadiri workshop gender dan lingkungan di Quezon City, Filipina, 28-30 Maret. Bagi orang lain, isi yang terekam dalam kaset itu mungkin tidak penting. Tapi bagi saya, ini sangat berharga untuk pengetahuan dan informasi yang akan saya berikan kepada pihak lain.
RETNO GITA ERLINACimahi
Ulah Kasar Petugas Kartu HSBC
SABTU, 2 April 2005, sekitar pukul 12.00, ayah saya menerima telepon dari petugas kolektor pembayaran kartu kredit HSBC. Petugas yang mengaku bernama Robby memberi tahu ayah saya dengan sangat kasar dan tidak sopan bahwa saya masih mempunyai kewajiban (bahasa petugas: "utang") yang harus dibayar.
Tentu saja ayah saya yang sudah berusia 76 tahun panik dan langsung menghubungi ponsel saya. Setelah mendengar cerita ayah saya, saya langsung menghubungi HSBC di nomor 021-2556500 dan yang menerima adalah Sdr. Alex. Saya mengatakan kepada Sdr. Alex jika memang saya harus membayar saya minta Sdr. Robby datang saat ini juga ke rumah saya. Sdr. Alex mengatakan bahwa tidak bisa karena bukan hari kerja. Saya bertanya:
- Kenapa petugas HSBC, Sdr. Robby, berbicara kasar, dan tidak sopan kepada ayah saya yang tidak tahu-menahu permasalahannya? Apa memang HSBC merekrut petugas kolektor yang tidak tahu sopan santun?
- Kenapa petugas kolektor harus menghubungi ayah saya? Kenapa tidak menghubungi ke saya melalui nomor rumah atau ponsel?
- Kenapa petugas menghubungi bukan pada jam kerja?
Saya merasa sangat marah dengan perilaku yang sangat kasar dari Sdr. Robby terhadap ayah saya yang sangat saya hormati. Saya mohon pihak HSBC lebih hati-hati dalam merekrut karyawannya, terutama yang berhubungan langsung dengan pelanggannya. Jangan merekrut karyawan yang bertingkah sok jagoan, yang hanya berani mengancam di telepon dan tidak tahu kesopanan.
PATRIANI Pemegang Kartu HSBC 4544930025353619
Koruptor Tak Perlu Dihukum Mati?
JAKSA AGUNG berpendapat hukuman mati masih perlu untuk membuat jera pelaku kejahatan. Tetapi untuk koruptor nanti dulu, karena pada saat ini negara tidak dalam keadaan darurat dan krisis, demikian kata Jaksa Agung kepada para wartawan.
Kalau pengedar narkoba dan pelaku pembunuhan dapat dieksekusi mati, mengapa tidak para koruptor? Apakah karena para koruptor bisa membeli hukum itu sendiri? Bila negara ini berlandasan hukum yang equal buat semua orang, siapa pun dia, seharusnya hukuman mati juga dapat diberlakukan terhadap para koruptor, karena perbuatan koruptor bahkan jauh lebih merusak sendi-sendi pertahanan dan kemandirian negara. Buktinya, kini negara mempunyai utang yang amat luar biasa besarnya. Tetapi dana yang seharusnya masuk ke kas negara yang juga dalam jumlah besar menguap begitu saja karena adanya permainan patgulipat di area perpajakan.
Baru-baru ramai diberitakan salah seorang tokoh Komisi Pemilihan Umum harus masuk tahanan karena tuduhan mencoba menyuap anggota Komisi Pemberantas Korupsi. Apakah itu semua bukan keadaan darurat, bahwa korupsi telah bergentayangan di semua lini, bahkan pelakunya adalah mereka-mereka yang selama ini dikenal suci dan bersih? Negara belum kelar dari masa krisis. Lihatlah data dan angka pengangguran terus bertambah, belum lagi jumlah keluarga miskin yang juga bertambah dan mereka terpaksa tersudut karena melonjaknya harga BBM.
Karena itu, sekali lagi, untuk menumbuhkan efek jera, seharusnya hukuman mati diberlakukan kepada para koruptor. Biar mereka jera dan buat mereka yang ingin mencoba-coba korupsi akan berpikir dua kali.
TAUFIKJakarta
Kenapa Pajak Kita Selalu Bocor?
SAYA ingin urun rembug menanggapi hasil riset Dr. Faisal Basri dan komentar dari Direktur Jenderal Pajak berkaitan dengan persoalan pajak kita.
Sekitar dua tahun lalu di surat pembaca majalah ini (saya lupa edisinya), diuraikan bahwa kebocoran pajak PPh lebih dari 90 persen. Itu terjadi, antara lain, di daerah Tulungagung, Kediri, dan Malang. Ayah saya baru-baru ini juga terkena masalah pajak. Untuk tahun pajak 2003, ayah terkena denda Rp 75 juta. Tapi, setelah melalui pembicaraan, dibayar Rp 7,5 juta. Pembayaran itu pun dilakukan di sebuah rumah makan.
Kalau Dirjen Pajak menanyakan apakah ada bukti-bukti kasus semacam itu, sampai kiamat pun tak akan ditemukan. Solusinya, menurut saya, Dirjen Pajak harus membuat kebijakan sistem perpajakan yang lebih mudah dipahami oleh wajib pajak. Selain itu, rotasi dan mutasi kepala pelayanan PPh harus dilakukan di seluruh Jawa dan oknum pajak yang nakal dipindahkan ke tempat terpencil.
Masalah Bea dan Cukai sejak "zaman Majapahit" memang tempat basah. Komentar Dirjen Bea dan Cukai yang menyatakan kalau barang akan keluar pelabuhan dipersulit harap segera dilaporkan, itu tidak mungkin karena dampaknya akan memakan waktu dan merugikan pemilik barang. Apalagi, jika barang-barang itu barang yang cepat rusak.
Jika dilaporkan, pasti aparat akan bertanya mana buktinya, dan oknum bea-cukai, ujung-ujungnya, berkelit dan menyatakan ini terhambat karena masalah administrasi.
Tolong Pak Dirjen Bea Cukai perhatikan ini dan ingat sejarah VOC, kantor dagang Belanda itu jatuh karena dua hal: pegawai pajak dan pegawai bea-cukainya korupsi.
ISJAYATasik Madu, Blitar
RALAT
PADA rubrik Pokok Tokoh Tempo edisi 18-24 April 2005 tentang Addie M.S. tertulis, "Sang kakek, belakangan dikenal sebagai violinis dan planolog yang membangun kawasan Kebayoran Baru pada tahun 1950-an, tak pernah punya pendidikan formal arsitektur selain menjadi asisten arsitek Belanda terkenal saat itu, Thomas Carlton." Nama yang benar adalah Thomas Karsten.-Red.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo