Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perburuannya berakhir. Pada Senin malam yang membosankan itu, akhir Februari lalu, Pascal Alfadian, 21 tahun, meluncur ke sebuah warnet di pusat Kota Bandung. "Perang sebentar lagi dimulai," demikian Pascal bertutur dalam hati. Mahasiswa semester IV Jurusan Ilmu Komputer Universitas Parahyangan, Bandung, itu berdoa, semoga saja internet di warnet itu tak tersengal-sengal karena saat itu Pascal harus bertanding melawan 14 ribu jagoan komputer dari berbagai negara di Asia Selatan.
Dia sudah keliling mengubek-ubek belasan warnet di pusat kota selama dua pekan. Semuanya dijajalnya satu per satu. Akhirnya, dia menemukan sebuah warnet yang dirasa layak untuk bertanding mengikuti Google India Code Jam 2005, kompetisi membuat program komputer yang digelar oleh perusahaan mesin pencari terbesar di internet, Google, untuk tingkat Asia Selatan.
Selama dua jam, dia melotot di hadapan komputer. Tak sia-sia. Pascal menyisihkan ribuan techiesdemikianlah sebutan bagi penggemar komputerdan termasuk di antara 50 orang yang lolos seleksi untuk terbang ke Bangalore, pusat industri komputer di India. Inilah Lembah Silikon versi India, tempat Pascal dan para peserta berlomba menempuh tahap kedua. Itulah langkah awal dia menjadi programer nomor dua terhebat se-Asia Selatan di kompetisi itu. Gelar juara pertama disabet oleh Ardian Kristanto Poernomo, 21 tahun, mahasiswa Indonesia semester VI Jurusan Rekayasa Komputer Nanyang Technological University Singapura. Mereka menyisihkan 39 peserta dari India, 7 dari Singapura, dan 2 dari Indonesia.
Kesuksesan Ardian dan Pascal ramai dibicarakan di berbagai forum diskusi di internet selama sebulan terakhir. Bukan saja karena mereka menyabet hadiah besar200 ribu rupee (sekitar Rp 44 juta) bagi Pascal dan 300 ribu rupee (sekitar Rp 67,5 juta) bagi Ardiandan ditawari menjadi programer Google, tapi juga karena mereka berhasil melibas para jago komputer India, salah satu negeri pengekspor peranti lunak terbesar di dunia.
Komputer memang "darah daging" Ardian. Dia mengenal bahasa program komputer sejak usia enam tahun. Saat anak-anak seumurnya sibuk bermain game Super Mario si tukang ledeng, dia sudah belajar membuat program sederhana. "Papi sudah mengajarkan A=1, B=2, C=A + B berarti C=3," kata Ardian. Ayahnya sebenarnya seorang dokter, tapi sangat mafhum bahasa-bahasa komputer untuk membuat peranti lunak seperti bahasa Basic atau Pascal. Ayahnyalah yang menularkan kecintaan pada mesin pintar itu.
Cinta pada komputer berlanjut hingga dia duduk di bangku SMA St. Louis 1 Surabaya. Saat itu Ardian sudah mulai menciptakan permainan (game) sederhana.
Pekerjaan yang paling menyenangkan baginya saat itu adalah menciptakan game yang bisa mengusili komputer teman-teman sekolahnya. Dengan game yang dilengkapi kode khusus, Ardian selalu menang. Semasa SMU dia pernah menjadi anggota tim Olimpiade Komputer Indonesia 2001.
Syahdan, suatu hari ia mendengar kabar tentang kompetisi programer yang diadakan Google untuk pertama kalinya di wilayah Asia Selatan. Adrenalinnya terpacu. Dari kamar apartemen yang berantakan khas mahasiswa yang suka mengoprek-oprek komputer, berhari-hari ia berburu soal-soal di internet di sela-sela waktu main game. "Tak bisa dibilang belajar, karena ini sangat fun," kata mahasiswa yang kini magang di lembaga riset Institute for Infocomm Research itu. "Pokoknya, kalau di kamar dan tidak tidur pasti saya ada di depan komputer," ujarnya.
Rupanya hobi bermain adu strategi game itu bermanfaat di kompetisi Google ini. Ketika disodori tiga soal dengan tingkat kesulitan rendah, menengah, dan tinggi, dia langsung mengerjakan soal tersulit. Ini agar dia punya banyak waktu memikirkan soal tersulit. Strategi ini manjur. Ardian menjadi satu-satunya programer yang bisa merampungkan soal tersulit. Dia juga masih punya waktu me-ngerjakan soal termudah.
Sebenarnya, saat mengerjakan soal tersulit, Ardian sempat berkeringat. Waktunya habis hanya untuk mencari kesalahan dalam programnya (debug). Untunglah, saat waktunya tersisa 10 menit, kesalahan tersebut ditemukan, sehingga dia sempat menyambar soal termudah.
Pascal punya cara yang berbeda untuk menang. Dia terbang ke Bangalore dengan perasaan ketar-ketir. Maklum, di Singapura bertemu dengan lawan-lawan yang sudah terbilang kelas berat. Ada finalis kompetisi terhebat para programer dunia, ACM International Collegiate Program Contest. Ada juga yang sedang menempuh studi pascasarjana. Pascal sendiri cuma mahasiswa jurusan komunikasi di universitas swasta di Bandung. "Kalau di anime (film kartun Jepang), wajah saya saat itu pasti digambarkan dengan penuh garis vertikal dan bagian hidung ke atas menjadi lebih gelap," kata Pascal melukiskan parasnya yang penuh waswas.
Pascal mencapai tahap kualifikasi Google di peringkat ke-19, tapi toh dia merasa bodoh karena tak fasih bercakap dalam bahasa Inggris. Sepanjang perjalanan dia cuma berhasil mengeluarkan kata-kata seperti "yes", "OK", "great", "nice". Sementara yang lain cas-cis-cus, "Saya seperti kambing congek."
Meskipun merasa sebagai programer bau kencur, Pascal memakai jurus unik untuk menang, yakni tak semata-mata mengandalkan kehebatan membuat program, tapi juga merebut nilai dengan menantang lawan. Kontes itu terdiri atas tiga ujian. Pertama, fase kode yang terdiri dari tiga soal, yakni WebSpider (menghitung jumlah halaman yang terkait dengan sebuah halaman web). Ini adalah soal termudah dengan nilai 250. Soal kedua adalah TriMapper (mencari jalan pintas menuju pusat data). Tingkat kesulitannya medium dengan nilai 500. Soal ketiga adalah soal tersulit, Conquestmembuat kecerdasan buatan pada game perang-perangan. Soal bernilai 1.000 itu cuma bisa diselesaikan oleh Ardian.
Di tahap ini, Pascal cuma berkonsentrasi pada soal pertama. Soal itu dikerjakannya seperti membangun benteng yang tangguh, tanpa kesalahan. Dua soal lainnya sengaja dilepas karena dia berkonsentrasi di tahap kedua, tahap tantangan, yakni setiap programer boleh menantang lawan. Pertandingan yang diadakan di sebuah warnet mewah di Bangalore itu memang dilengkapi fasilitas mengobrol online lewat peranti applet java. Dengan fasilitas inilah para programer bisa saling menantang.
Bila peserta berhasil menemukan kesalahan program yang dibuat oleh lawannya, maka dia bisa merebut semua nilai musuh yang dikalahkannya. Yang dilakukan Pascal adalah memasukkan data ke dalam program buatan lawan ke tiga lawannya. Program milik programer India yang mestinya mengantongi skor 500 itu rontok. Jurus Pascal itu ternyata mengantarkan dia menjadi juara kedua kontes Google. Adapun gelar lain diraih oleh Rajsekar Manokaran, mahasiswa India (juara ketiga), Nishant Redkar, mahasiswa India (keempat), dan Sreeram Ramachandran, dosen dari Singapura (kelima).
Kompetisi itu, menurut Pascal, bukan sekadar adu keahlian membuat program superhebat. "Yang penting strateginya." Strategi itu, kata sang kutu komputer berkacamata minus dan berwajah tirus itu, persis dengan apa yang dilakukan tokoh idolanya, Bill Gates, miliarder pemilik Microsoft Inc. Kesuksesan miliarder itu bukan karena keahliannya membuat program, melainkan keahliannya menyusun strategi bisnis.
Dengan kemenangan itu, Ardian dan Pascal mendapatkan tawaran untuk bekerja di Google. Namun, Ardian mengaku ingin mengambil program doktor lebih dulu. "Jangan terlalu seriuslahiseng dan nikmatilah."
Burhan Sholihin, Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo