JANUR Kuning, film perjuangan yang mengisahkan Serangan Umum 1
Maret 1949 di Yogya, hanya diputar satu hari dan di satu gedung
bioskop di Yogya. Kericuhan tentang status gedung bioskop Ratih,
menyebabkan film itu tak berhasil memancing dana.
Semula pemutaran film ini di Yogyakarta dimaksudkan untuk
mencari dana bagi KONI DIY. Untuk mengedarkannya, Metro 77 dan
PT Daya Karya Mandiri yang memproduksi film ini menunjuk PT Dwi
Sendang yang menguasai dan mengelola bioskop Rahayu dan Ratih.
Sejak pagi 10 Oktober itu, kedua gedung bioskop tadi dihias
janur kuning. Bahkan Ratih masih ditambah dengan penjor, janur
yang dililitkan di bambu yang menjulang tinggi seperti upacara
di Bali. Penonton sudah siap antre karcis di siang itu--sebagian
membawa undangan.
Namun tiba-tiba sekelompok pemuda memerintahkan agar loket di
bioskop Ratih tidak dibuka. Pemuda-pemuda itu mengaku dari CV
Bambu sebagai pihak yang menguasai gedung pertunjukan itu. Para
calon penonton sempat ribut. Tapi untuk menghindari bentrokan,
pemutaran film itu di Ratih dibatalkan. "Hanya kami yang berhak
membuka gedung ini," kata Muhayat yang mengaku pemegang kuasa CV
Bambu yang berkedudukan di Semarang.
Melihat gelagat yang tak baik ini, Dwi Sendang besoknya juga
menghentikan pemutaran film Janur Kuning di bioskop Rahayu.
Karena, "kalau cuma diputar di satu gedung, terasa berat," kata
seorang karyawan Dwi Sendang.
Kemelut itu mulai kentara ketika 3 Oktober sejumlah pemuda
menduduki gedung tersebut. Seluruh pintu gedung digembok
sekelompok pemuda, setelah sehari sebelunmya mereka gagal
meminta paksa kunci gedung dari pihak pengelola.
PT Dwi Sendang, pengelola gedung Ratih ini segera melaporkan
kejadian kepada penegak hukum. Tripida Kecamatan Jetis membuka
paksa gembok yang dipasang pemuda-pemuda tadi. "Di belakang
gedung ini ada keluarga yang tinggal dan istrinya dalam keadaan
hamil. Mereka seperti disandera," ujar Ny. Soestiwi Soedomo SH,
kuasa hukum Dwi Sendang.
Gembok memang bisa dicopot. Tapi menghadapi kelompok pemuda itu
rupanya penegak hukum di Yogya berhati-hati. Ny. Soestiwi
Soedomo, pensiunan jaksa juga tak mau bentrokan fisik. "Kami
ingin menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin," katanya.
Sejak 3 Oktober itulah, di depan gedung Ratih ditulis pengumuman
dengan huruf besar: "Hari ini libur"--walau tetap mengiklankan
Janur Kuning di koran setempat.
Ambil Untung Dulu
Gedung bioskop ini milik Ny Raden Ayu Soedarjati Djody
Gondokusumo istri seorang bekas menteri di zaman Presiden
Soekarno. Atas nama Firma Perbara Jakarta nyonya itu menjalin
kerjasama dengan Irwan Soesanto, Direktur PT Dwi Sendang sejak
1971 untuk mengelola gedung tersebut.
Dalam akta. kerjasama itu memang berakhir 26 September 1980.
Tapi, "sudah menjadi kebiasaan Ibu Djody minta bagian keuntungan
lebih dulu yang bisa diperhitungkan untuk perpanjangan," kata
Ny. Soestiwi. Dan itu sudah dilakukan berkali-kali.
Sekitar setahun sebelum kontrak berakhir, Ny. Soedarjati sudah
mengambil bagian keuntungan sebanyak Rp 2.716. 225 dalam 5 kali
angsuran. Dalam kwitasi penerimaan jelas disebut uang itu
sebagai perhitungan perpanjangan selama 7 bulan 19 hari (setelah
26 September 1980). Ini berarti gedung Ratih baru berakhir
dikelola Dwi Sendang 15 Mei 1981.
Selain itu berdasar akta notaris Soeleman Ardjosasmito Jakarta
23 Januari 1971, gedung Ratih semestinya sudah dikelola Dwi
Sendang selambatnya 1 April 1971. Bila tidak, kelambatan sehari
dikenakan sanksi kerugian Rp 7.500. Tapi Ratih baru diserahkan
Fa. Perbara kepada Dwi Sendang 25 September 1971. PT Dwi Sendang
tidak minta ganti rugi, sebagai denda kelambatan penyerahan itu.
"Kalau ini diperhitungkan," lanjut Ny. Soestiwi, "PT Dwi Sendang
masih berhak untuk mendapat perpanjangan 6 bulan lagi." Malahan,
tambah Ny. Soestiwi, dari dua kejadian itu (mengambil bagian
keuntungan lebih dulu dan kelambatan penyerahan gedung di awal
kerjasama), gedung Ratih seharusnya baru lepas dari PT Dwi
Sendang 15 November 1981.
Ny Djody mengakui semua uang yang telah diterimanya. Tapi,
katanya, uang itu akan dikembalikannya dalam bentuk uang pula.
"Kami keberatan," kata Ny. Soestiwi. Pertemuan kedua pihak 26
September 1980 itu menemui jalan buntu. Dan kemudian ternyata
Ny. Djody ingin mengalihkan pengelolaan gedung bioskop itu
kepada pihak lain.
Dua Broker
Benar juga. PT Dwi Sendang menerima tembusan surat-surat yang
isinya: Ny. Djody telah memberi kuasa kepada CV Bambu Semarang
untuk mengelola gedung Ratih sejak 2 Oktober 1980. PT Dwi
Sendang yang merasa kontraknya belum habis tentu saja menolak.
Dan terjadilah pendudukan oleh sekelompok pemuda secara paksa
itu.
Pendudukan itu sendiri dianggap PT Dwi Sendang sebagai tindak
pidana. "Perkaranya sudah diajukan ke Kejaksaan Negeri
Yogyakarta,"kata Ny. Soestiwi. Begitu pula perkara perdatanya.
Yang paling gelisah kini, tentu saja karyawan gedung itu.
Mereka, jumlahnya 27 orang, memberi kuasa kepada A. Siregar,
wartawan Berita Nasional Yogya, untuk mengurus nasib mereka.
Tapi menurut Muhayat, kuasa CV Bambu, "mereka akan tetap
ditampung CV Bambu, bahkan sejak 1 Oktober ini seluruh karyawan
gedung Ratih menjadi tanggung jawab CV Bambu," kata Muhayat.
Sampai Jumat pekan lalu, gedung bioskop yang tergolong mewah di
Yogya itu masih tetap libur. PT Dwi Sendang tak mau menyerahkan
kunci bagian dalarm, sementara pintu luar tetap dikuasai pihak
pemuda--yang rupanya mewakili CV Bambu.
Tapi bagi kalangan pengelola bioskop di Yogya sengketa seperti
ini sudah bukan hal baru lagi. Sebelumnya kasus serupa pernah
terjadi di President Theater. Di kota ini, bioskop kelas utama
dikelola dua broker, PT Dwi Sendang untuk Rahayu dan Ratih, CV
Bambu menguasai President Theater, Yogya Theater dan Soboharsono
--6 gedung bioskop lain di kota ini merupakan gedung kelas dua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini