AIR sumur dan udara berbau busuk mengganggu penduduk Desa
Rendeng dan tetangganya Mlatinorowito di Kabupaten Kudus. Selain
busuk, udara di sana berdebu, dan mengotori rumah-rumah
penduduk.
Itu terjadi sejak tiga tahun lalu. Sumber semuanya itu adalah
pabrik gula Rendeng di desa itu juga. Debu beterbangan dari
cerobong asap pabrik, sedang air busuk berasal dari air buangan
pabrik. Akhir-akhir ini air buangan itu bertambah kental,
berwarna hitam dan yang paling mengganggu baunya seperti telur
busuk. Dan karena air buangan pabrik yang disalurkan melalui
irigasi juga melewati rumah-rumah penduduk, tentu saja air
berbau itu kemudian merembes ke surnur-sumur di kedua desa tadi.
Akibatnya, "air sumur tidak bisa dipakai, dan saya terpaksa
mengungsi mencari air bersih," kata Kusmin, Ketua RT V/RK I,
Desa Rendeng.
Sebanyak 6 orang warga Kusmin akhir September 1980 mengirimkan
surat protes kepada pabrik dengan tembusan Bupati Kudus, PU
Ja-Teng dan Dinas Kesehatan Kudus. Isinya, kekuatiran akan
penyakit yang mungkin ditimbulkan pencemaran itu, dan gangguan
yang dialami penduduk--meskipun selama ini memang belum ada
terdengar penyakit yang diduga akibat pencemaran PG Rendeng.
Sebetulnya protes serupa sebelumnya telah berkali-kali diajukan
penduduk, tapi tak pernah ada tanggapan dari pihak pabrik.
Tapi kali ini perhatian PG Rendeng cukup cepat. Akhir September
itu juga pabrik itu menggerakkan petugas-petugasnya untuk
menyedot dan memompa sumur-sumur penduduk. Air buangan juga
tidak lagi dialirkan lewat irigasi. Setelah disedot, air sumur
penduduk masih belum jernih betul, sehingga belum ada yang
berani meminumnya. Sebab ternyata bau busuk dan debu masih
terasa mengganggu pernafasan.
Turhadi BSc, Administratur PG Rendeng menolak kalau semua akibat
pencemaran itu ditimpakan ke pabrik gulanya. Sebab, katanya,
penyaluran air buangan ke irigasi penduduk adalah kemauan PU
Ja-Teng, agar sawah penduduk di desa-desa sekitar Rendeng dan
Mlatinorowito tidak kekeringan di musim kemarau. Ia mengaku
sebenarnya tidak ada masalah bagi pabriknya untuk menghalau air
buangan itu. Karena untuk itu pabrik ada saluran sendiri,
"tetapi karena dibutuhkan rakyat, PU menyalurkan untuk irigasi."
Pabrik gula yang dipimpin Turhadi memang sudah tua--didirikan
1840-an. Masa giling pabrik itu sekarang ini telah menjadi 6
bulan -- tahun-tahun sebelumnya 3 bulan. Karena itu air buangan
tambah banyak dan lebih kental, berbau pula. Sementara itu PG
Rendeng sendiri seperti diakui Turhadi, belum berhasil
mengurangi debu yang keluar dari cerobong asapnya. Karena PG
Rendeng menggunakan bahan bakar ampas tebu, bukan minyak. "Kalau
minyak mahal," alasan Turhadi.
Belum Terima Laporan
Turhadi juga menyalahkan pihak PU yang dikatakannya tidak pernah
merawat saluran irigasi. Begitu pula, menurut Turhadi penduduk
telah menyalahgunakan fungsi irigasi itu untuk pembuangan
sampah. "Padahal setahun sekali menjelang penggilingan tebu, PG
Rendeng melakukan pengerukan, " tutur Turhadi.
Kepala PU Ja-Teng Seksi Kudus, Kisaran, membenarkan perlunya
saluran irigasi dari air buangan itu untuk pengairan sawah di
musim kemarau. Untuk mencegah pencemaran menurut Kisaran, kedua
tepi kali harus dibeton, dan diberi pondasi dari batu kali.
Karena itu, ia mengirimkan surat kepada Bupati Kudus, 9 Oktober
yang lalu.
Sebetulnya di Pemda Kabupaten Kudus, sudah ada tim
penanggulangan polusi diketuai Drs. Sukirman, Sekwilda Kudus.
Tugasnya, melayani keluhan penduduk dan mencari jalan keluar
bila terjadi polusi. Tetapi dalam kasus ini, tim ini belum
berbuat banyak. " Saya belum menerima laporan penduduk, dan dari
administratur PG Rendeng saya mendengar persoalan sudah selesai,
dan saya sambut baik," ujar Sukirman. Rupanya dia belum mencium
langsung bau yang tak sedap di kedua desa tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini