Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAKBIR di rakaat pertama belum lagi usai ketika Ustad Ali Muktar mendengar sejumlah teriakan. Pagi itu, Jumat dua pekan lalu, puluhan pemuda Gereja Injili di Indonesia memprotes salat Idul Fitri yang dilaksanakan di lapangan Komando Rayon Militer, Distrik Karubaga, Tolikara, Papua. Para pemuda yang berada di luar lapangan itu berteriak bersahutan-sahutan: "Hentikan! Bubarkan!"
Mereka memprotes karena Badan Pengurus Gereja Injili di Tolikara telah menyampaikan surat pemberitahuan kepada seluruh umat Islam agar melakukan salat Id di musala, bukan di lapangan terbuka. Alasannya, ibadah di tempat terbuka, dengan pengeras suara, dapat mengganggu seminar dan kebaktian yang digelar tak jauh dari situ.
Teriakan itu tak lama kemudian disertai aksi pelemparan ke lapangan. "Saya melihat mereka melempar batu dari arah Bandara Karubaga," kata Ali, Selasa pekan lalu. Aksi pelemparan batu disusul suara tembakan dari dalam lapangan. Seluruh jemaah yang tengah melakukan salat kaget dan lari berhamburan.
Setelah itu, kejadian berlangsung cepat. Penembakan menyebabkan sejumlah pemuda di luar lapangan bertumbangan. Para pemuda ini tak lain peserta Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani yang diadakan Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Penembakan itu, kata Presiden GIDI Pendeta Dorman Wandikmbo, memicu kemarahan para pemuda.
Sejurus kemudian, massa berdatangan mendekat ke arah suara tembakan. Kerumunan itu datang dari tiga arah: landasan pacu Bandar Udara Karubaga, kantor Bank Daerah Papua, dan pasar Muara Giling Batu. Menurut Sekretaris Badan Pengurus GIDI Wilayah Tolikara Pendeta Marthen Jingga, jumlah mereka yang tadinya puluhan dalam tempo singkat menjadi ratusan. Tembakan dibalas dengan aksi pelemparan batu tak cuma ke lapangan, tapi juga ke arah kios.
Seorang mahasiswa yang ikut memprotes pelaksanaan salat Id menuturkan kepada Tempo, hujan batu diarahkan ke kios karena tembakan pertama datang dari sana. Tak cuma itu, para pemuda juga melemparkan satu jeriken berisi bensin ke kios tadi. Jeriken itu diperoleh dari kios bensin yang letaknya dekat dengan kantor Bank Daerah Papua. Ketua Umum Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia Ronny Mandang membenarkan informasi tersebut.
Dalam hitungan menit, api menyambar semua kios yang juga berfungsi sebagai rumah itu. Menurut Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo, api lalu merembet membakar Masjid Baitul Muttaqin, yang letaknya tepat di belakang salah satu kios. Ali mengatakan api cepat menjalar karena kios-kios itu dibangun dari kayu yang sudah kering. "Kios saya yang pertama kali terbakar," ujar pria asal Ngawi, Jawa Timur, itu.
Nurmin, salah satu peserta salat Id, mengatakan kerusuhan itu membuat jemaah menyelamatkan diri menuju kantor Koramil, yang tak jauh dari situ. Dari kejauhan, ia menyaksikan rumahnya, sekitar lima meter dari masjid, ludes terbakar.
Gara-gara kerusuhan itu, Endi Wanimbo, remaja berusia 15 tahun, tewas terkena timah panas. Ia ditemukan di dekat kios yang menghadap ke kantor Bank Daerah Papua. Sebelas warga Tolikara lainnya mengalami luka tembak. Hari itu juga mereka dibawa pulang. Enam dirawat di rumah sakit umum daerah Jayapura, sementara sisanya di rumah sakit Wamena. Julius, orang yang pertama terkena tembakan, mengalami luka di bagian paha kiri. "Sebagian besar luka mereka ada di bagian kaki," kata Usman setelah menjenguk korban.
Kepolisian Daerah Papua mencatat, kerusuhan dua pekan lalu itu menyebabkan 58 kios terbakar, 24 bangunan rusak, dan 16 bangunan lain dijarah. Akibat huru-hara itu, Kementerian Sosial mencatat 153 jiwa dari 38 keluarga menjadi korban.
Menurut Nurmin, prahara saat pelaksanaan salat Idul Fitri itu baru terjadi pertama kali. "Tahun sebelumnya aman-aman saja," ujarnya. Itu sebabnya, Ali tidak menduga salat Id akan berakhir dengan huru-hara. Apalagi, kata dia, Kepala Kepolisian Resor Tolikara Ajun Komisaris Besar Soeroso dan Presiden Gereja Injili Dorman Wandikmbo telah menjamin keamanan di Karubaga.
ENAM hari sebelum kerusuhan terjadi, Gereja Injili di Indonesia Wilayah Tolikara sempat mengeluarkan surat edaran yang melarang umat Islam menggelar salat Idul Fitri di Kabupaten Tolikara, Papua. Surat berkop GIDI ini diteken Sekretaris Badan Pengurus GIDI Wilayah Tolikara Pendeta Marthen Jingga dan Ketua GIDI Wilayah Tolikara Pendeta Nayus Wenda.
Marthen mengatakan pemberitahuan agar tidak melakukan kegiatan apa pun di ruang publik tidak hanya ditujukan kepada umat Islam di Tolikara, tapi juga buat semua gereja. Surat pemberitahuan itu, kata Marthen, bertujuan mengantisipasi agar seminar dan kebaktian berskala internasional pada 13-19 Juli 2015 berlangsung khusyuk.
Menurut Marthen, rapat untuk membahas pelarangan itu berlangsung tiga kali. Rapat dihadiri seluruh panitia seminar dan kebaktian. Nayus mengatakan tidak ikut rapat membahas materi surat pemberitahuan karena sibuk ke luar kota. Tak cuma melarang umat Islam melakukan salat Id, rapat membahas pelarangan memakai jilbab di tempat umum.
Surat kemudian diserahkan kepada Ali, lalu ditembuskan kepada beberapa pejabat Tolikara, di antaranya Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo dan Kapolres Soeroso. Namun tembusan surat itu tidak sampai ke tangan Soeroso. Menurut dia, staf intelijen Polres Tolikara mendapat kopi surat itu dari pos Komando Pasukan Khusus yang ada di sana. "Saya menerima kopi surat itu dari staf intel jam 10 pagi pada 13 Juli," ujarnya pekan lalu.
Setelah membaca surat itu, Soeroso kaget. Pada hari yang sama, Ali mendatangi kantor Soeroso membawa surat pemberitahuan yang sama. Beberapa menit kemudian, seorang anggota Kopassus juga datang ke kantornya menunjukkan surat serupa.
Di depan Ali, Soeroso, yang baru sepuluh bulan bertugas di Tolikara, langsung menelepon Presiden GIDI Dorman Wandikmbo. Dorman menyatakan minta maaf atas beredarnya surat edaran itu. Dia berjanji, surat tersebut akan dicabut. "Ia juga menyampaikan selamat Lebaran," kata Ali, yang mendengarkan percakapan antara Soeroso dan Dorman.
Keesokan harinya, Soeroso menelepon Usman G. Wanimbo. Soeroso mengatakan surat pemberitahuan Badan Pengurus GIDI Wilayah Tolikara itu bisa mengganggu keharmonisan hubungan antarumat beragama. Usman, yang tengah berada di Jakarta, meminta waktu kepada Soeroso untuk menghubungi Pendeta Nayus Wenda. Beberapa menit kemudian, Usman menelepon balik Soeroso. Ia memberitahukan bahwa surat pemberitahuan segera diralat.
Marthen membenarkan, Usman meneleponnya untuk meralat surat tersebut, termasuk menyampaikan poin-poin yang harus diralat. Nayus dan Marthen lalu membuat revisi yang isinya sesuai dengan kata-kata Usman. Diteken pada 15 Juli, surat edaran itu kemudian membolehkan salat Id di Distrik Karubaga, tapi hanya boleh di musala dan halaman musala, tidak di lapangan terbuka. Adapun larangan memakai jilbab tetap berlaku.
Menurut Nayus, surat edaran itu langkah antisipasi dari pihak gereja agar muslim di Tolikara mengetahui adanya kegiatan kerohanian yang bersifat internasional dengan mengundang 2.500 peserta, termasuk perwakilan dari lima negara, yakni Belanda, Amerika Serikat, Papua Nugini, Palau (kepulauan kecil di Lautan Pasifik), dan Israel.
Surat itu juga menyinggung larangan agama dan denominasi lain membangun tempat ibadah di Tolikara, juga Gereja Advent di Distrik Paido. Menurut surat itu, Gereja Advent sudah ditutup dan jemaatnya bergabung dengan GIDI. Ditujukan kepada umat Islam di Tolikara, surat tersebut ditembuskan ke beberapa pejabat, di antaranya Bupati Tolikara dan Kapolres Tolikara. Nomor surat ralat sama dengan surat sebelumnya, yakni Surat Pemberitahuan Nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015.
Baik Soeroso maupun Ali tidak segera menerima surat ralat. Ali bahkan baru mendapat surat yang sudah diralat itu satu hari setelah kerusuhan meletus di sana. Soeroso memberikan jaminan keamanan kepada umat Islam untuk melaksanakan salat Id di lapangan Koramil, seperti tahun-tahun sebelumnya, berdasarkan percakapan telepon dengan Usman.
Nayus dan Marthen berdalih tidak segera memberikan surat ralat karena Usman telah memberitahukan isi surat itu kepada Soeroso melalui telepon. "Apakah sudah Kapolres sampaikan kepada teman-teman muslim, kami tidak tahu," kata Nayus. Dia tidak menyangka dampak dari peredaran surat itu berujung pada penyerangan umat Islam di sana dan memantik kerusuhan di Tolikara.
Dihubungi Jumat pekan lalu, Ronny Mandang mengatakan umat Islam dan jemaat Gereja Injili sebenarnya sudah sepakat salat Id boleh dilaksanakan asalkan tidak menggunakan pengeras suara dan berlangsung tidak lebih dari pukul delapan pagi. Sebagai bukti kesepahaman, mereka memotong dua ekor sapi. "Satu untuk umat Kristen, satu untuk muslim," ujar Ronny.
Namun, pada Idul Fitri, Marthen mendengar pengeras suara sejak pukul empat pagi. Marthen khawatir hal ini bisa menimbulkan salah paham di antara pemuda gereja yang mengikuti seminar. Itu sebabnya, ia sempat meminta pengeras suara dimatikan. Karena tidak ada respons, pemuda gereja mulai melempari batu ke arah lapangan.
Saat itulah, kata Ronny, terdengar suara letusan senjata api mengarah ke para pemuda. Kelompok pemuda ini kocar-kacir. Suara tembakan terdengar hingga ke ruang seminar. Puluhan pemuda lain kemudian berbondong-bondong ke lokasi kejadian. "Situasi menjadi tidak terkendali," kata Ronny.
SAAT huru-hara belum terjadi, Soeroso berusaha menenangkan massa yang mengepung lapangan. Saat itu, ia belum memerintahkan tembakan peringatan. Tapi ia mendengar tembakan dari arah belakang. "Saya tidak tahu siapa yang mengeluarkan tembakan," ujarnya.
Karena situasi kian panas, ia ke luar lapangan, berjalan menuju arah kantor Bank Daerah Papua. Di sana, ia terus menenangkan massa. Soeroso juga menyaksikan Usman berada di lokasi kejadian berupaya menenangkan para pemuda. Usman menghalau mereka keluar ke arah landasan pesawat.
Satu hari setelah kerusuhan, Kepolisian Daerah Papua memeriksa Soeroso dan semua anak buahnya yang bertugas menjaga keamanan. Menurut Kepala Subdirektorat Pertanggungjawaban Profesi Polda Papua Ajun Komisaris Besar M. Duilah, polisi belum menemukan pelanggaran prosedur. Namun hasil itu masih temuan sementara.
Besoknya, warga Tolikara menutup rangkaian seminar dan kebaktian di landasan Bandara Karubaga. Pada Minggu malam itu, mereka mengenakan pakaian tradisional, menyanyi, dan menari mengitari lapangan sambil bergandengan tangan.
Empat hari kemudian, tokoh agama di Tolikara melakukan perdamaian di halaman Koramil Karubaga. Nayus dan Marthen meminta maaf atas insiden tersebut. Adapun Ali meminta seluruh umat Islam tidak melontarkan pernyataan yang meresahkan warga Tolikara.
Meski begitu, proses hukum jalan terus. Akhir pekan lalu, polisi menetapkan Arianto Kogoya dan Jumdi Wanimbo sebagai tersangka kasus huru-hara di Tolikara. Menurut Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Yotje Mende, keduanya berperan memprovokasi massa untuk melempar dan menyerang penduduk yang tengah melakukan salat. Dari hasil penyelidikan, keduanya mengaku bekerja di sebuah bank di Tolikara. "Keterlibatan Arianto dan Jumdi diperkuat dari rekaman video," kata Yotje.
Yandhrie Arvian, Wayan Agus Purnomo, Devy Ernis (Jakarta), Maria Rita Hasugian (Tolikara), Cunding Levi (Jayapura)
Detik-detik Prahara
AMUK massa di Tolikara, Papua, menghanguskan puluhan kios serta rumah dan masjid. Kerusuhan di hari Lebaran, Jumat dua pekan lalu, itu mengakibatkan satu pemuda tewas dan sebelas lainnya terluka kena peluru. Dari kesaksian yang diperoleh Tempo, inilah detik-detik yang mencekam itu.
07.05 WIT
Saat takbir kelima rakaat pertama, puluhan pemuda Gereja Injili di Indonesia meminta pelaksanaan salat Id di lapangan Komando Rayon Militer 1702-11, Karubaga, dihentikan karena berlangsung di tempat terbuka.
07.15 WIT
Massa bertambah besar, berdatangan dari arah Bank Daerah Papua, Bandar Udara Karubaga, dan Giling Batu.
07.20 WIT
Tembakan peringatan terdengar dari arah lapangan Koramil. Para pemuda melempar batu ke arah lapangan. Kepala Kepolisian Resor Tolikara Ajun Komisaris Besar Soeroso berusaha menenangkan massa yang marah. Jemaah salat berlindung di kantor Koramil.
07.30 WIT
Asap mulai terlihat dari kios nomor 6 milik Ali Muhktar, tokoh muslim Tolikara. Api membakar masjid yang berada persis di belakangnya.
08.00 WIT
Api melahap semua kios.
08.30 WIT
Polisi yang ditempatkan di dekat Bank Daerah Papua, kantor Koramil, serta antara kios dan lapangan berusaha membubarkan massa. Tembakan senjata masih terdengar.
09.00 WIT
Korban luka tembak ditemukan di tiga titik, yakni bandara, dekat Bank Daerah Papua, dan kios. Para korban dibawa ke rumah sakit Jayapura dan Wamena.
Kesaksian Gereja Injili di Indonesia:
1. Para pemuda menuju ke lokasi salat Id untuk mempertanyakan pelaksanaan surat imbauan. Isi surat itu: boleh melaksanakan perayaan Idul Fitri, tapi tidak di lapangan terbuka dan tidak memakai pengeras suara.
2. Dikawal Kepolisian Resor Tolikara, perwakilan jemaat Gereja Injili di Indonesia berdialog dengan pemuka agama Islam.
3. Di tengah proses dialog, seorang polisi memerintahkan penembakan. Salah satu tembakan datang dari arah kios.
4. Penembakan memicu para pemuda membakar beberapa kios, yang merembet hingga membakar rumah dan Masjid Baitul Muttaqin.
Kronologi Versi Polisi:
1. Berdasarkan pertemuan antara Kepala Polres Tolikara Ajun Komisaris Besar Soeroso dan sejumlah tokoh masyarakat pada 15 Juli 2015, salat Id bisa dilaksanakan di lapangan Koramil.
2. Dua hari kemudian, sejumlah pemuda memaksa salat dibubarkan.
3. Suroso bernegosiasi dengan pemuda agar salat boleh dilaksanakan hingga pukul delapan pagi.
4. Negosiasi buntu. Massa melempari jemaah salat dengan batu dan kayu.
5. Polisi melepaskan tembakan ke tanah setelah massa tak mengacuhkan tembakan peringatan yang diarahkan ke atas.
6. Massa mulai membakar kios hingga merembet ke Masjid Baitul Muttaqin.
280 km jarak antara Jayapura dan Bandar Udara Karubaga
175 kilometer jarak Tolikara dari Wamena atau 4-5 jam menggunakan jalur darat
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002, Tolikara dimekarkan menjadi kabupaten pada 7 Juni 2002.
Ibu kota: Karubaga
Luas: 5.588 kilometer persegi
Populasi: 140.801 (sensus 2014)
Kepadatan penduduk: 25 jiwa/km2
Naskah: Yandhrie Arvian, Maria Rita Hasugian Sumber: Wawancara, Polda Papua, Evan/PDAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo