Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERADA di ketinggian 2.500 meter di atas permukaan laut, disaput pegunungan, Kabupaten Tolikara hampir terisolasi dari dunia luar. Akses menuju kabupaten ini amat terbatas. Perjalanan darat, yang sebagian besar rusak, melalui Kabupaten Wamena, ditempuh dalam waktu empat jam. Cara termudah ke pegunungan ini menggunakan pesawat terbang. Terkepung di pegunungan tengah Papua, anak-anak muda Kabupaten Tolikara tak lantas teralienasi.
Saban tahun, anak-anak muda Tolikara bepergian ke berbagai negara, seperti Papua Nugini, Salomon, Republik Palau, serta Israel. Lawatan itu difasilitasi Gereja Injili di Indonesia (GIDI), yang bekerja sama dengan berbagai negara dalam pertukaran misionaris. Perjanjian dengan Israel tertulis dengan terang di situs lembaga tersebut. "Yesus dan Israel tak bisa dilepaskan. Mereka adalah bangsa pilihan Allah," kata mantan Ketua Umum Pemuda GIDI Wekis Wonda, Kamis pekan lalu.
Kesepakatan dengan Kehilat Ha'seh Al Har Zion atau Kongregasi Zion, Israel, diteken di Yerusalem pada 20 November 2006. Ruang lingkup kerja sama ini meliputi penyediaan orientasi pada fellow misionaris ketika menjalani pertukaran. Dalam nota kesepahaman, disebutkan kedua belah pihak bakal membuat laporan tahunan yang disampaikan kepada pemimpin gereja masing-masing. Kedua lembaga penginjilan ini pun bersepakat melaksanakan pertukaran misionaris secara reguler. "Ini tak ada hubungannya dengan negara, tapi murni antargereja," ujar Presiden Gereja Injili Dorman Wandikbo.
Saat pelaksanaan Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Internasional, GIDI mengundang Pendeta Benjamin Berger dari Israel. Berger berasal dari kalangan Yahudi Ortodoks, cabang agama Yudaisme yang dikenal radikal. Selain itu, Gereja Injili menjadi bagian dari World Team, lembaga yang berbasis di Amerika Serikat dengan mitra di 29 negara. Visi lembaga ini adalah memuliakan Allah dengan mendirikan gereja yang berfokus pada masyarakat tertinggal di seluruh dunia. Sejumlah agenda strategis lembaga ini di Papua adalah sekolah misionaris, pendidikan bahasa Inggris untuk jemaat Gereja Injili, dan pembangunan fasilitas kesehatan--salah satunya Rumah Sakit Calvary di Wamena.
Kehadiran Gereja Injili di Indonesia terentang jauh ke belakang sebelum Papua menjadi bagian Indonesia. Berdasarkan buku A History of Christianity in Indonesia, The Australia United for Mission (UFM) pertama kali masuk ke Papua pada 1950. Misi ini bekerja di Sengge dan Lembah Habifluri, dekat Danau Archbold. Tiga orang misionaris itu, yaitu Hans Veldhuis, Fred Dawson, dan Russel Bond, membuka lapangan terbang di kawasan ini. Jumlah misionaris semakin banyak setelah kedatangan The America UFM di Distrik Wolo, Kabupaten Jayawijaya, pada 1957. Pada saat yang bersamaan, Regions Beyond Missionary Union (RBMU) mulai masuk ke Distrik Karubaga, Tolikara. Mereka kemudian membangun sebuah rumah sakit di Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya.
Berdasarkan situs resmi Gereja Injili di Indonesia, kamp pertama didirikan di sekitar Danau Archbold. Pada 25 Maret 1955, The Australia UFM berhasil mendaratkan pesawat JZ-PTB Piper Pacer di sekitar Danau Archbold. Sembari membangun landasan pacu, mereka mengadakan survei pelayanan di Distrik Bokondini, Tolikara, dan Distrik Kelila, Mamberamo Tengah. Setelah mendirikan pos, UFM, RBMU, serta Annual Parochial Church Meeting bekerja sama dan menjadikan Distrik Bokondini, Tolikara, sebagai basis penginjilan di seluruh pegunungan tengah Papua. Pembaptisan pertama dilakukan terhadap sembilan orang di Kelila pada 26 Juli 1962. Karena itulah, oleh jemaat Gereja Injili, Tolikara disamakan dengan Yerusalem, yang merupakan tempat kelahiran Yesus.
Semakin hari, jumlah anggota jemaat aliran Injili bertambah banyak. Pada 12 Februari 1963, para pembawa paham ini membuat gereja secara otonom. Awalnya, nama gereja aliran ini adalah Gereja Injili Irian Barat, tapi diubah menjadi Gereja Injili Irian Jaya setelah Papua bergabung dengan Indonesia melalui referendum. Pada 1988, nama itu diubah lagi menjadi Gereja Injili di Indonesia dan bertahan hingga saat ini. Setahun kemudian, mereka mendaftarkan nama baru ini ke Kementerian Agama.
GIDI merupakan gereja dengan paham Injili atau evangelism. Jan Sihar Aritonang dalam buku Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja menjelaskan, pemimpin gerakan Injili dididik di lingkungan sekolah yang identik dengan fundamentalisme. Hanya, fundamentalisme yang dipahami aliran Injili tidak bersifat defensif separatis, tapi konstruktif. Dalam melawan liberalisme dan kebobrokan budaya, menurut Jan Sihar, kaum Injili lebih memelihara prinsip fundamental yang tertuang dalam Injil. Mengutip Edward John Carnell, teolog Injili angkatan pertama, Jan Sihar menyatakan, "Gerakan Injili harus ditandai oleh toleransi dan pengampunan terhadap pandangan yang berbeda."
Soal toleransi inilah yang kemudian menjadi persoalan di Tolikara. Sebelum kerusuhan meletus saat salat Idul Fitri, Jumat dua pekan lalu, Gereja Injili Tolikara membuat surat edaran yang melarang gereja denominasi lain mendirikan tempat ibadah. Ketua Umum Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia, lembaga yang menaungi GIDI, Ronny Mandang, meminta pemahaman toleransi ajaran Injili dipahami dalam konteks lokal. Ketika sebuah wilayah di pegunungan Papua dikuasai salah satu aliran, kata Ronny, etikanya tak ada aliran yang ikut mendirikan gereja di wilayah tersebut. "Setiap gereja di lembah pegunungan Papua memiliki otoritas."
Wekis Wonda menuturkan, masyarakat Papua kecewa ketika seluruh sumber daya alam dikuasai pihak luar Papua. Satu-satunya kekayaan yang dianggap masih tersisa bagi masyarakat Papua adalah identitas keagamaan. Dia mengakui ada pelarangan terhadap aliran gereja lain masuk ke wilayah yang sudah dikuasai Gereja Injili. Namun, kata Wekis, GIDI tak pernah melarang umat Islam mendirikan tempat ibadah. "Asal tidak menggunakan pengeras suara," ujar Wonda.
Di luar urusan kerusuhan Tolikara, Gereja Injili semakin berpengaruh karena beberapa anggota jemaatnya menduduki posisi penting di pemerintahan. Bekas Presiden GIDI Lipiyus Biniluk kini menjadi Komisaris Utama Bank Papua. Sejumlah anggota jemaat Gereja Injili juga menjadi kepala daerah di Puncak Jaya, Tolikara, dan Yahukimo. Termasuk Gubernur Papua Lukas Enembe dan Ketua Majelis Rakyat Papua Thomas Albano Balda. Ketua Persekutuan Gereja Indonesia Jerry Sumampouw mengatakan kondisi sosial-politik inilah yang membuat Gereja Injili di atas angin. "Mudah sekali bagi mereka memunculkan peraturan daerah yang merugikan pihak lain," ujar Jerry.
Gereja Injili juga sempat mendapat sorotan tatkala Tentara Nasional Indonesia melakukan operasi terhadap Organisasi Papua Merdeka di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, pada 2010. Dalam operasi ini, dua tokoh Gereja Injili, yaitu Pendeta Kindeman Gire dan Pitinius Kogoya, tewas terbunuh. Dorman Wandikbo mengakui banyak anggota jemaatnya menjadi anggota Organisasi Papua Merdeka. "Goliath Tabuni, tokoh OPM di Puncak Jaya, adalah orang GIDI," kata Dorman. Dia mengatakan tak berpihak pada salah satu pihak, apakah OPM atau Indonesia. "Yang penting semua masuk surga."
Wekis Wonda mengatakan, secara kelembagaan, Gereja Injili tak memiliki keterkaitan dengan Organisasi Papua Merdeka. Menurut Wekis, jemaat Gereja Injili meyakini kemerdekaan Papua merupakan jalan untuk menyejahterakan provinsi ini. Dia tak pernah mendengar Gereja berkontribusi dalam upaya kemerdekaan Papua secara langsung. "Dukungan kami adalah dalam bentuk doa," ujar Wekis.
Wayan Agus Purnomo (Jakarta), Cunding Levi (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo