Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Selembar Ulos yang Sobek

Perjuangan sebagian masyarakat Batak Toba seperti tak pernah berhenti atas makin gundulnya tanah leluhur, penyerobotan kepemilikan tanah, serta pencemaran lingkungan. Jatuhnya korban jiwa menambah catatan hitam di Porsea, Sumatera Utara. Izin operasi dari pemerintah untuk pabrik pulp PT Indorayon—kini Toba Pulp Lestari—dituding sebagai biang bencana. Namun kini pendapat masyarakat mulai terbelah, sebagian mendukung kebijakan dan sebagian yang lain menolaknya, sehingga tiga pilar kehidupan masyarakat Batak, dalihan na tolu, pun retak, ibarat selembar ulos yang mulai sobek di sana-sini. Mengapa mereka begitu gigih berjuang? Dan apa saja harga yang harus dibayar untuk perlawanan itu? Wartawan TEMPO I G.G. Maha Adi mengunjungi Porsea dan menuliskan laporannya.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sihol Sitorus berdiri di depan gorga. Rumahnya yang khas Batak di Desa Patane I, Porsea, itu sudah aus ukirannya dimakan zaman. Tak ada tanda-tanda rumah usang itu akan disentuh perbaikan. Sejak dia pulang mengadu nasib dari Jakarta beberapa tahun lalu, pupus sudah harapan bapak enam anak itu untuk bekerja di Indorayon. Padahal pabrik pulp dan rayon itu tak sampai lima kilometer dari rumah tuanya. Pabrik itu dirundung protes tak berkesudahan: dituduh merampas tanah penduduk, diprotes mencemari lingkungan, dituduh memakai aparat untuk menyakiti warga. Dan Sihol, 40 tahun, setelah bertahun-tahun hanya kebagian bau busuk bubur kayu yang meruap dari Indorayon, kini berdiri di barisan depan penentang pabrik itu.

Yang pertama ia persoalkan adalah bau busuk itu. "Bisa tercium sampai enam kilometer," katanya. Ini berarti penduduk Desa Patane dan beberapa desa sekitarnya menjadi "konsumen" utama bau tak sedap itu, setiap hari. Sihol kemudian menunjuk sawahnya yang cuma 200 meter persegi di samping rumahnya. Sudah bertahun-tahun ia tak bisa memanen ikan mas yang menjadi kebanggaan desanya. Ikan mas Porsea memang terkenal di seantero Sumatera Utara. Selama Indorayon berdiri, hampir tak pernah ada produksi berlebih untuk dijual. "Kami tak tahu apa penyebabnya," kata Sihol. Tak ada penelitian ilmiah tentang hal ini. Tapi ia yakin Indorayon menyumbangkan penurunan panen ikannya. Buktinya? Ketika perusahaan itu ditutup pemerintah selama setahun, panen padi dan ikan di sana meningkat.

Dan inilah pabrik yang dihujat penduduk itu: PT Inti Indorayon Utama. Pabrik yang saat ini bernama PT Toba Pulp Lestari Tbk. itu berdiri sejak 1985 di Desa Sosor Ladang, persis di tepi Sungai Asahan. Pemiliknya adalah konglomerat pengusahaan hutan Sukanto Tanoto, yang menanamkan investasi US$ 213 juta atau sekitar Rp 852 miliar pada saat itu. Niatnya melambung tinggi: menjadi pabrik sejenis yang terbesar di negeri ini. Dari hasil ekspor ke berbagai negara akan diperoleh devisa lumayan besar, Rp 56 miliar setahun. Belum lagi soal penyediaan lapangan kerja. Dari pengusahaan hutan seluas 150 ribu hektare, untuk menjamin pasokan bahan baku pinus dan eucalyptus, akan tersedia lapangan kerja yang tidak sedikit. Belum lagi lapangan kerja bagi buruh di pabrik yang mulanya menjanjikan perbaikan hidup itu.

Pabrik itu ada di Sosor Ladang, lima jam perjalanan ke arah tenggara dari Kota Medan, Sumatera Utara. Di atas kawasan seluas 200 hektare, dua cerobong emisi membelah langit. Cerobong yang terus-menerus memuntahkan asap hitam pekat selama 24 jam sehari itu—kecuali beberapa jam pada hari libur—menunjukkan kegiatan yang luar biasa padat di sana. Ya, pabrik itu sedang mengejar "setoran" untuk menutup kerugian US$ 600 juta yang dideritanya selama setahun ditutup oleh pemerintah. Toba Pulp sudah menyelesaikan beberapa perbaikan. Fasilitas pembuangan limbah yang sempat jebol dua kali, juga tangki penampungan klorin, sudah ditambal. Sejak pabrik dibuka kembali pada Maret tahun lalu, demonstrasi penduduk yang biasanya mencegat truk-truk pengangkut kayu yang keluar-masuk pabrik juga sudah berhenti.

Adakah itu berarti Toba Pulp sudah diterima penduduk setempat? Ini yang masih perlu dibuktikan oleh waktu.

Bila arah jarum jam diputar ulang, pabrik itu banyak memendam cerita bagaimana pemerintahan Soeharto memberikan banyak kemudahan kepada konglomerat kelas kakap. Birokrasi sudah memberikan stempel "lulus" studi kelayakan lingkungan. Semua surat izin pemerintah dari pusat sampai daerah sudah pula dikantongi. Tapi Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim menolak. Emil didukung pakar ekologi Otto Soemarwoto dan kelompok aktivis lingkungan hidup. Kepala Otorita Asahan waktu itu, A.R. Soehoed, yang mengelola proyek pembangkit listrik Bendungan Asahan, dan pabrik pengolahan aluminium joint venture dengan Jepang, yakni PT Inalum, juga mendukung Emil. Indorayon diduga kuat akan mencemari Asahan, mengganggu produksi Inalum, dan bisa merusak PLTA Asahan. Tapi si empunya kuasa, Soeharto, punya keputusan lain. Indorayon boleh terus, dengan beberapa perbaikan proposal.

Keputusan Soeharto pada awalnya seakan benar. Masyarakat antusias menyambut. Tak ada demonstrasi. Tak ada penolakan. Para pemuda di usia angkatan kerja, seperti Sihol, berharap bisa bekerja di pabrik yang baru itu. Semua euforia itu hanya bertahan sesaat. Tak berapa lama, sudah terdengar keluhan bahwa Indorayon menginjak-injak martabat orang Batak. Pangkal soalnya, menurut tulisan Saur Timiur Situmorang di majalah Prakarsa edisi Juni 2003, Indorayon hanya memberikan ganti rugi Rp 12.500 per hektare tanah ulayat parsibarungan yang dimiliki keturunan Raja Sidomdom Baringbing di Sugapa, Tapanuli Utara. Akibat ganti rugi murah itu, sepuluh inang (ibu-ibu) dari Desa Sugapa mencabuti tanaman eucalyptus milik Indorayon. Mereka untuk pertama kalinya unjuk diri tampil di arena publik melawan Indorayon. Mereka keluar dari kungkungan suami mereka yang konon telah menuhor (membeli) mereka.

Protes makin keras tatkala dua tahun setelah izin keluar terjadi bencana tanah longsor di jalur jalan yang dibangun Indorayon. Longsor menimbun 15 hektare sawah di Desa Sianipar. Beberapa bulan kemudian, longsor kedua terjadi dan merebut korban 15 jiwa. Penduduk memprotes, juga meminta ganti rugi, tapi mereka bagai berteriak di tengah gurun. Bencana demi bencana terjadi. Pada 1988, tanggul penahan limbah jebol dan ratusan ribu meter kubik limbah beracun mencemari Sungai Asahan yang mengalir persis di timur pabrik. Empat tahun kemudian, giliran tangki berisi klorin (bahan untuk mencampur bubur kayu) bocor dan meledak. Ledakan itu, menurut penduduk Desa Patane I, terdengar hingga empat kilometer. Pegawai pabrik berlarian, penduduk mengungsi. Beberapa bulan kemudian, bencana lain datang: tanggul penahan limbah Indorayon jebol lagi.

Perusahaan ini pun "menyerah": mereka bersedia diaudit oleh lembaga independen Labat-Andersen. Konsultan kenamaan itu memberi Indorayon sebanyak 59 rekomendasi. Bila rekomendasi dijalankan, Indorayon bisa terus beroperasi. Audit lain dilakukan oleh tim Institut Pertanian Bogor, yang menemukan banyak kelemahan sehingga secara akademis Indorayon dianggap tidak layak beroperasi.

Nasib Indorayon jatuh bersama pemerintahan Soeharto pada Mei 1998. Ribuan penduduk dan mahasiswa berdemonstrasi menuntut penutupannya. Apalagi, menurut penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta, awal tahun itu, aktivitas Indorayon terbukti mempertinggi risiko penyakit di wilayah tersebut. Menteri Lingkungan Panangian Siregar lantas memerintahkan penutupan Indorayon untuk sementara. Presiden Habibie secara lisan menyetujuinya. Tapi itu tak lama. Ketika Abdurrahman Wahid naik menjadi presiden, dia malah membiarkan Indorayon dibuka kembali. Dalam sidang kabinet pada 10 Mei 2000, yang dipimpin Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, Indorayon disetujui dibuka kembali. Hanya ada sedikit catatan: tanpa produksi rayon.

Keputusan ini ditentang. Ketika Indorayon, yang sudah berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari, pada Maret 2003 hendak dioperasikan, sekitar 52 ribu orang dari seantero Porsea datang ke kompleks pabrik. Mereka ingin pabrik tetap ditutup. Gubernur Sumatera Utara dan Bupati Porsea mengambil sikap mengamankan keputusan Jakarta. Bentrok terjadi. Senjata dan pentungan aparat berbicara melawan aksi rakyat. Dua orang tewas, beberapa tertembak, dan belasan pendemo mendekam di dalam penjara, sampai hari ini. Ada juga yang salah tangkap. Pendeta Miduk Sirait dari Huria Kristen Batak Protestan, misalnya, sedang menenangkan demonstran ketika polisi dari kesatuan Brimob menangkap dan menuduhnya provokator. Juga Musa Gurning, yang tak ikut dalam demonstrasi tapi ikut kebagian penjara gara-gara namanya masuk daftar penentang Toba Pulp.

Saat ditanyai komentarnya tentang pembukaan kembali Toba Pulp, Pendeta Miduk Sirait mengaku tak habis pikir dengan keputusan membuka kembali pabrik itu. "Pabrik itu sudah merugikan jemaat kami di Toba Samosir. Dan gereja harus menyuarakan fakta itu," katanya.

Menurut Abdon Nababan, salah satu pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, bagi orang Batak Toba, masalahnya bukan lagi pencemaran udara atau air sungai, melainkan perampasan bona ni pasogit atau tanah leluhur. Tanah menurut orang Batak sama dengan asal kehidupan. "Tanpa bona ni pasogit, tak ada orang Batak," katanya. Belakangan, ketika sebagian penduduk mendukung pengoperasian kembali pabrik itu dan mau bekerja di sana, seakan retak pula dalihan na tolu atau tiga pilar kekerabatan orang Batak yang sangat penting. Barisan penolak pabrik semacam W. Manurung dari Desa Jonggi Manulus mengaku enggan menyapa saudara sekandung (dongan sabutuha) atau keluarga perempuan mereka (boru). Bahkan ada yang menjauh dari hula-hula (orang tua dalam keluarga besar) karena kerabatnya memilih bekerja di Toba Pulp. Sihol Sitorus juga saling tak bicara dengan tetangga sebelah rumahnya yang setuju pabrik itu dibuka kembali.

Berbeda pendapat boleh saja. Bagi sebagian masyarakat Porsea, Toba Pulp mungkin adalah sumber rezeki. Menurut penasihat senior Toba Pulp, Eduard Depari, perusahaannya sedang berusaha memenuhi semua janjinya kepada penduduk Porsea. Deretan janji itu, antara lain, pemberian hibah satu persen dari keuntungan perusahaan kepada yayasan setempat, perbaikan kualitas lingkungan hidup, dan peningkatan hubungan baik dengan masyarakat. Eduard juga menyebutkan bahwa Toba Pulp sudah memberikan Rp 5 miliar kepada Yayasan Pembangunan Masyarakat Tobasa. Secara keseluruhan, "Kami sudah menyalurkan Rp 132 miliar," katanya. Tentang ganti rugi hasil panen padi dan ikan karena dugaan pencemaran, ia tak mau menanggapinya. "Kami tidak pernah mendapat laporan resmi dari instansi terkait," tulisnya dalam jawaban kepada TEMPO. Pada 1990, menurut Toba Pulp, pihaknya mengubah status perusahaan itu dari status penanaman modal asing menjadi perusahaan publik. Artinya, perusahaan itu tidak lagi seratus persen di tangan Sukanto Tanoto dan kelompok usahanya, Raja Garuda Mas.

Cuma, menurut Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Longgena Ginting, perkataan Eduard soal uang tak bisa dibuktikan di lapangan. Kalaupun uang itu memang ada, "Polusi dan pelanggaran hak asasi manusia tidak diselesaikan oleh perusahaan," katanya. Malah pemerintah memberikan impunity (kebebasan dari hukuman atas kejahatan yang dilakukan) kepada perusahaan dan aparat keamanan. Kematian dua remaja oleh peluru polisi tidak pernah diusut sampai hari ini. Dan ini membikin sakit hati penduduk kepada pabrik. Tapi Walhi, yang menentang Indorayon sejak awal, masih mau duduk semeja mencari jalan tengah. "Asal masyarakat menginginkan," kata Longgena. Sayangnya, menurut dia, pemerintah dan perusahaan berkali-kali mengkhianati kesepakatan dan mengoperasikan kembali pabrik tanpa berbicara dengan penduduk. "Karena itulah Toba Pulp tak bisa diterima sampai hari ini," kata Longgena, "kecuali perusahaan itu memenuhi tuntutan masyarakat." Walhi dan Toba Pulp belum bertemu sampai hari ini.

Berarti konflik belum segera padam. Ketika matahari padam, sore beranjak gelap di Desa Patane I. Bau bubur kayu meruap dari pabrik memenuhi udara. Tapi orang-orang di sana seolah tidak peduli lagi. Bau tuak tercium keras dari lapo-lapo di tepi sawah, di bawah cahaya remang lampu bohlam. "Bang, kita omong pemilu sajalah," kata Sianipar, yang mukanya memerah karena menenggak tuak. "Kami sudah lelah," katanya lagi. Entah ia capek atau mengantuk, yang pasti, ia tidak bernafsu lagi berbicara soal Toba Pulp.

Masih terdengar suara musik gondang dari gorga di seberang sawah, sayup di tengah malam, ditingkahi deru sepeda motor yang sesekali melintasi jalan kampung. Malam kian senyap. Seorang lelaki keluar dari lapo dengan sempoyongan. Sebelum pergi menembus gelap malam, ia berujar keras, "Kami tetap ingin pabrik ditutup."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus