Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Royan di Bona Ni Pasogit

Sakitnya membela tanah leluhur dan retaknya kekerabatan. Gereja pun akhirnya turun tangan.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara Inang Nai Sinta boru Sibarani datar. Sesekali bibirnya tampak tersenyum sinis tiap kali ia menceritakan pengalamannya diinterogasi polisi. Ia dan sembilan inang lainnya ditangkap karena mencabuti tanaman eucalyptus—bahan baku pulp dan rayon—milik Indorayon di Desa Sugapa, Silaen, Porsea. Sebuah aksi perlawanan atas ganti rugi tanah mereka yang cuma dihargai paksa Rp 100 per meter persegi.

Dalam sebuah film dokumenter yang dibuat lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Nai Sinta memperlihatkan kekerasan hatinya. Setiap kali polisi menyebut nama Indorayon, ia selalu mengulanginya dengan pelesetan. "Indorayon, kataku Indorojan, Indorojan," ujarnya. "Rojan" dalam bahasa setempat berarti racun.

Sejak dibukanya kembali pabrik pulp Indorayon oleh pemerintah—kini bernama Toba Pulp Lestari (TPL)—memang tampak pabrik itu membuat kekerabatan masyarakat Porsea seperti terbelah. Sebagian setuju, sebagian yang lain menolak kebijakan itu. Manurung dari Desa Jonggi Manulus hanyalah sebuah contoh bagaimana kekerabatan itu mulai terasa tidak lagi rekat seperti sebelumnya.

Beberapa keluarga di kampung yang dekat dengan lokasi pabrik, seperti Patane I, II, Sianipar I, II, dan Jonggi Manulus, misalnya, pelan-pelan mundur teratur dari aksi-aksi protes terhadap pabrik itu. Manurung menyebut lima orang di kampungnya sudah bergabung dengan TPL, meski hanya sebagai pekerja rendahan seperti tukang kebun dan juru bersih.

Seorang warga lainnya, Sihol Sitorus, menambahkan, dulu sebelum pembukaan kembali Indorayon pada Maret 2003, ia dan tetangganya tak pernah ada masalah. Semuanya sepakat menolak pabrik itu. Tapi, ketika pemerintah membuka kembali pabrik, beberapa tetangganya tak tampak ikut lagi berdemonstrasi atau hadir dalam pertemuan adat. Ia mengaku pernah bertanya tentang perubahan sikap itu, dan dijawab tetangganya karena sudah merasa capek.

Walaupun kekerabatan merupakan konsep sosial yang sangat dijunjung oleh masyarakat Tapanuli, kini bagi Manurung tidak lagi demikian. Dia bertekad tak akan mau datang ke acara-acara adat mereka. Sebab, sebagian dari kerabat itu telah dianggap berkhianat dengan berpihak pada Toba Pulp Lestari, pabrik yang menyebabkan kerusakan lingkungan tanah leluhurnya. Baginya, kerabat memang penting, "Tapi menerima pabrik pulp itu artinya memutus hubungan kekerabatan," ujarnya kepada TEMPO.

Beberapa tahun lalu ia pernah berkunjung ke Jakarta bersama puluhan kepala desa se-Kecamatan Porsea untuk berjuang menuntut penutupan Indorayon. Uangnya mereka kumpulkan secara swadaya. Ia mengaku sulit menerima TPL karena telah mengganggu ketenangan desa mereka dengan bau busuk, pencemaran air, dan matinya beberapa tanaman kelapa dan padi.

Perjuangan memang sering memakan korban. Namun, di Porsea, Panuju Manurung, 28 tahun, diduga tewas karena ulah aparat keamanan ketika terjadi demonstrasi pada akhir 1998. Padahal ia hanyalah seorang pemuda yang kebetulan melintasi area demonstrasi. Dia ditangkap dan dibawa paksa oleh polisi ke area Indorayon. Beberapa hari kemudian, ia diketahui telah tewas.

Dua tahun berselang giliran Hermanto Sitorus, 15 tahun, warga Desa Patane II, yang kepalanya tertembus peluru saat terjadi aksi demonstrasi.

Tak hanya itu, konon polisi makin kurang bisa mengendalikan diri dengan menangkapi penduduk sekitar pabrik, khususnya yang namanya tercantum dalam daftar penentang Indorayon. Pendeta Sarma Siregar ikut pula dipenjara bersama 14 orang lainnya karena namanya tercantum di sana. Bahkan suaminya, Pendeta Miduk Sirait dari Gereja HKBP Resort Parhitean Toba, yang sedianya melerai kericuhan dalam demonstrasi akhir 2002, pun ikut serta ditahan. Gereja boleh saja menulis surat protes, tapi kepala polisi di sana punya kehendak lain.

Pada April tahun lalu, saat para demonstran sedang berkumpul memperingati Hari Bumi di Simpang Sirait Urak, polisi kembali melakukan aksi. Mereka membubarkan acara itu dengan menembakkan peluru sehingga Ompu Risma Boru Manurung, 75 tahun, terluka tangannya.

Kepada majalah Prakarsa, Pendeta Miduk mengaku diperlakukan tak manusiawi oleh polisi. Para tahanan tak diizinkan keluar lebih 10 meter dari kamar, tidur dalam ruangan yang sempit dan berbau menyengat, serta selama 29 hari menjalani interogasi. "Saya bersyukur masih selamat," tuturnya.

Istri Musa Gurning juga menderita lahir dan batin. Tahun lalu, ketika demonstrasi di Simpang Sirait Uruk di depan tempat tinggalnya menjadi rusuh, aparat keamanan masuk ke rumahnya sembari merusak barang-barang yang ada. Kaca-kaca rumah dan mobil dipecahkan, perabot diobrak-abrik, lantas ditinggalkan begitu saja. "Saya bersembunyi di kolong tempat tidur dan ketakutan," tuturnya kepada TEMPO saat mengunjunginya di Sirait Uruk.

Tentang pilihan suaminya untuk terus berjuang bersama rakyat, ia mengaku pasrah. Yang dikhawatirkannya: Musa, yang sudah berusia 79 tahun itu, tidak terlalu tahan udara dingin.

Musa dan kawan-kawan telah dijatuhi hukuman penjara, sebagian di antaranya malah sudah lebih dari satu tahun menunggu proses banding. Pendeta Miduk, misalnya, dilepas begitu saja menjelang masa hukumannya yang 16 bulan habis, dan tak lagi mendengar nasib pengajuan bandingnya ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara.

Untuk membebaskan para tokoh itu, awal Februari tahun lalu rakyat Porsea melakukan pembangkangan sipil dengan cara tidak pergi ke onan (pasar) dan tak mengizinkan anak-anak mereka bersekolah selama seminggu. Seruan itu dinilainya sukses. Selama seminggu, pasar di Kota Porsea sepi dan digantikan pasar kampung di pinggir jalan desa, dan sekolah-sekolah diliburkan.

Melihat situasi yang kian tidak kondusif, gereja pun akhirnya turun tangan. Pimpinan gereja-gereja se-Sumatera Utara menyampaikan surat terbuka meminta pemerintah mempertimbangkan agar menutup PT Toba Pulp Lestari. Masyarakat Batak Toba, yang mayoritas beragama Kristen Protestan, memang sangat dekat dengan gereja. Apalagi, dalam kasus Indorayon, para pendeta dan pastor terjun langsung memimpin demonstrasi. Pendeta Miduk Sirait, Gustaf Sirait, dan Saragi cukup tersohor sebagai "aktivis" anti-Toba Pulp dari Gereja HKBP. Sekitar 25 pendeta, suster, pastor, dan haji ikut menentang pabrik Toba Pulp Lestari.

Eduard Depari mengakui Indorayon dulu kurang bisa mengambil hati rakyat Porsea. "Tetapi kami terus memperbaiki hubungan dengan masyarakat sekitar," katanya. Apalagi sejak tahun 1990 sebagian saham dimiliki perusahaan asing. "Persyaratan analisis dampak lingkungan diperketat," kata Eduard. Sayangnya, penduduk mengaku belum merasa menikmati hasilnya. "Bukan kami yang menikmati, tapi orang luar Porsea," kata Sihol, "dan sakitnya menerima Indorayon masih ada." Seperti serial royan (sakit lama setelah melahirkan, bahasa Batak Toba) yang panjang di bona ni pasogit….

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum