Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Si Pongah dan Lapo Tuak

Pabrik pulp dan rayon di Porsea menuai penolakan, bahkan sebelum didirikan. Mengapa pemerintah seolah-olah bersikap tak acuh?

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerimis turun di Nusa Dua, Bali, ketika para pejabat perminyakan dan gas dari Cina mulai menyantap makan malam diiringi tari Puspawresti. Acara yang sudah dua tahun lalu itu agaknya juga diikuti beberapa pengusaha Indonesia.

Meski tidak bergerak di sektor perminyakan dan gas, beberapa pengusaha Indonesia yang hadir diduga secara tidak langsung ikut serta dalam memuluskan kontrak penjualan gas, untuk jangka waktu 20 tahun, ke Kota Fujian, dengan jalan melobi pejabat Cina. Sebuah kontrak bisnis yang sering dengan sinis dikatakan hanya sebagai bagian dari strategi agar Indonesia tidak "kehilangan muka", setelah kalah dalam tender di Guangdong.

Salah satu pengusaha yang disebut-sebut sebagai tim lobi adalah Sukanto Tanoto, pemilik PT Indorayon. Beberapa pengamat menilai, inilah bentuk balas jasa yang dilakukan Sukanto kepada pemerintah, atas dibukanya kembali Indorayon oleh Wakil Presiden Megawati pada tahun 2000.

Namun, kepada Tempo Sukanto membantahnya, "Enggak ada konsesi dan pertolongan apa-apa," katanya sembari tersenyum. Tidak mudah, memang, mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Sebab, keputusan perihal Indorayon selalu diambil di ruang tertutup, jauh dari hiruk-pikuk protes masyarakat Porsea, yang menelan dampak buruk yang diakibatkannya. Wajar saja jika keputusan rapat kabinet yang mengizinkan Indorayon beroperasi lagi menyulut kemarahan penduduk Porsea.

Sejak kelahirannya, PT Indorayon—belakangan tak lagi memproduksi rayon—kelihatan telah menjadi persoalan yang kontroversial. Ketika dibahas dalam sidang kabinet saat itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim menyatakan keberatannya. Alasan Emil, pabrik pulp dan rayon akan mencemari air Sungai Asahan dan kawasan di sekitarnya. Apalagi teknologi saat itu mengandalkan klorin, yang ditengarai sebagai zat beracun, dalam proses produksinya. Pendirian pabrik itu dinilai tidak memenuhi kelayakan lingkungan hidup. Kalaupun dipaksakan, ia minta lokasinya dipindahkan 80 kilometer lebih ke hilir.

Belakangan, Ketua Otorita Proyek Asahan, A.R. Soehoed, juga menyatakan penolakannya karena aktivitas pabrik itu diduga bisa mendangkalkan dan mencemari Sungai Asahan. Sebab, pabrik pulp dikenal rakus akan air. Begitu juga pendapat pakar ekologi Otto Soemarwoto.

Tapi apa mau dikata, izin pendirian pabrik di tepi Sungai Asahan toh tetap disetujui B.J. Habibie, yang saat itu menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala BPPT. Dan Presiden Soeharto agaknya lebih memilih pertimbangan Menteri Riset dan Teknologi ketimbang yang dilontarkan menteri yang lain.

Penolakan Emil Salim terhadap pembangunan pabrik pulp dan rayon tentu saja hanya menjadi catatan kaki dari sejarah perih Porsea, karena akhirnya ia pun menandatangani pendirian Indorayon. Ia mengaku terdesak dan sudah berusaha membentengi lingkungan, dengan memberikan beberapa syarat tambahan yang harus dipenuhi pabrik sebelum beroperasi.

Cerita panjang Indorayon adalah cerita pilu lingkungan hidup: suatu ketika tangki klorin Indorayon pecah dan dua kali tanggul penampung limbahnya jebol, sehingga diperkirakan sejuta kubik limbah mencemari Asahan. Tak banyak yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi keadaan seperti itu, selain justru membungkam setiap lembaga yang menunjukkan sikap kritisnya. Bahkan, tak segan-segan pengusaha menggunakan militer untuk menghalau mereka yang memprotesnya.

Sejarah perjuangan masyarakat Porsea mencatat, dua nyawa melayang karena salah tembak, serta belasan tertimbun tanah longsor. Namun hingga kini tak ada satu pun pengadilan digelar terhadap mereka yang dianggap bertanggung jawab menyengsarakan masyarakat.

Penelitian lingkungan dari Universitas Indonesia juga telah mencatat dampak buruk operasi perusahaan bagi kesehatan. Tapi lagi-lagi tak ada tindakan apa pun untuk mencegahnya. Masyarakat yang peduli terhadap soal lingkungan tentu saja merasa cemas ketika Wakil Kepala Bapedal, Nabiel Makarim, malah memberikan predikat biru untuk Indorayon, yang berarti sudah mengolah limbahnya dengan baik dan tidak mencemari sungai.

Barangkali karena arus tuntutan reformasi yang begitu dahsyat, ketika Habibie menjabat presiden, ia menyatakan secara lisan menutup sementara operasi Indorayon, hingga ada audit independen. Indorayon mengalami kerugian hingga US$ 600 juta akibat penutupan itu.

Namun kita semua kemudian tahu, pemerintahan Habibie tidaklah bertahan lama, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menggantikannya sebagai presiden. Gus Dur, yang dikenal sebagai aktivis lembaga swadaya masyarakat dan cukup dekat dengan aktivis lingkungan, membuat kejutan dengan munculnya isu akan membuka PT Indorayon untuk bisa kembali beroperasi. Kebijakan inilah yang membuat masyarakat Porsea tampak kecewa.

Ketika mendengar Gus Dur akan singgah ke Sumatera Utara saat itu, rakyat mencoba mempersiapkan penyambutan. Sekitar 5.000 orang berkumpul di Simpang Uruk menanti kedatangan Presiden, sembari membawa padi dan ikan yang dipanen semasa penutupan pabrik. Kepada Gus Dur mereka berencana menunjukkan bukti, betapa penutupan itu telah memberikan berkah dengan naiknya produksi padi dan mengembalikan ikan mereka.

Tapi apa daya, rupanya Presiden datang ke Porsea tanpa berhenti, apalagi tampil di depan masyarakat di sana. Rombongan Presiden itu hanya tampak melintas perlahan diiringi teriakan histeris para inang yang meminta mereka berhenti. Toh, rombongan dari Jakarta itu terus melaju dan melaju. "Untuk menunjukkan terima kasih pun sulit," ujar seorang demonstran.

Kini di perusahaan yang sudah berganti nama dari PT Indorayon menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) itu, telah duduk Sabam Leo Batubara yang juga Ketua Pelaksana Harian Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) dalam jajaran komisaris. Keluarga Leo memang berasal dari daerah itu, karena ayah dan neneknya orang Balige.

Kepada Tempo ia mengungkapkan alasannya menerima jabatan komisaris. "Toba Pulp bisa meningkatkan taraf hidup orang Batak Toba," katanya. Lagi pula, bila pabrik pulp di tempat lain bisa ramah dengan penduduk sekitarnya, dalam benak Leo, TLP juga bisa melakukannya. Kini, setelah setahun, dia yakin perusahaan itu telah menjalankan semua kewajibannya.

Sayang, keyakinan Leo dibantah oleh penduduk di sekitar pabrik. Tempo, yang mengunjungi beberapa desa di sekitar TPL, mendapati hanya sedikit orang Toba yang bekerja di perusahaan itu. Bahkan truk pengangkut kayu pun dimiliki orang luar Porsea, sehingga uangnya tak mengalir ke penduduk sekitar. Wajar jika sebagian masyarakat tetap minta pabrik ditutup.

Menurut Leo, penduduk Porsea mestinya mau bekerja keras dan menjadi mitra TPL, bukan cuma meriung di lapo bicara ngalor-ngidul di sela cegukan air tuak. Hanya, barangkali Leo lupa, seperti kata Sihol Sitorus, koordinator lapangan yang menggugat operasi pabrik, Toba Pulp mulai dengan kepongahan dan selama 20 tahun membabat "belukar" yang amat bernilai di hati semua orang Batak: martabat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus