Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELASA pekan lalu, suasana tegang merayap di kantor pusat Temasek Holdings di Plaza Atrium, Orchard Road, Singapura. Sehari setelah Temasek dinyatakan bersalah oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam kasus bisnis jasa telepon seluler di Indonesia, perusahaan investasi milik pemerintah Singapura itu menggelar jumpa pers untuk menjelaskan posisinya.
”Kami akan melawan keputusan itu dan mempertahankan hak legal kami di semua forum hukum yang tersedia,” kata Simon Israel, Direktur Eksekutif Temasek, bersemangat. Ia didampingi tiga penasihat hukum Temasek. Mereka adalah Davinder Singh, pengacara top Asia versi Asia Law Profiles 2002, Frank Montag, Kepala Asosiasi Pengacara Antitrust, dan Todung Mulya Lubis.
Setelah satu jam mengadakan jumpa pers di lantai lima Plaza Atrium, bersama direksi Temasek mereka rapat kembali menyusun strategi melawan KPPU. Kasus yang mereka hadapi memang bukan perkara sepele. Sanksinya cukup berat. Kelompok usaha Temasek dan Telkomsel dikenai denda masing-masing Rp 25 miliar. Telkomsel diwajibkan menurunkan tarif 15 persen. Putusan yang lebih memberatkan Temasek adalah kewajiban melepas saham di Telkomsel atau Indosat dalam jangka waktu dua tahun.
Di luar itu, mereka juga menghadapi tekanan isu sentimen nasionalisme yang menguat setelah keputusan KPPU ini. Sebelum keputusan ini pun, posisi Temasek di Indosat juga terus-menerus digoyang berbagai isu. Pada mulanya adalah soal penguasaan satelit dan informasi rahasia negara. Belakangan, isunya bergeser ke arah monopoli mereka di bisnis telepon seluler.
Persoalan menjadi ramai karena di tengah berbagai gejolak tersebut, beredar rumor sejumlah nama besar dikabarkan siap mengambil alih saham Temasek di Indosat. Rumor di pasar modal menyebutkan sejumlah nama antara lain Grup Bakrie, Grup Para, Grup Bosowa, hingga Altimo (Rusia).
Bagaimanapun, tuduhan terhadap Temasek tidaklah main-main. Perusahaan yang kini mengelola dana investasi US$ 108 miliar atau sekitar Rp 1.000 triliun itu dianggap memiliki kepemilikan silang di dua perusahaan, sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Telkomsel dan Indosat memang menguasai lebih dari 80 persen pasar telepon seluler.
Temasek dinilai telah melanggar Pasal 27 huruf (a) UU Larangan Praktek Monopoli. Pasal itu melarang dua atau tiga pelaku usaha yang mempunyai saham mayoritas di beberapa perusahaan yang sejenis dan pasar yang sama menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar.
Saat ini Temasek memiliki 35 persen saham PT Telkomsel melalui Singapore Telecommunications Ltd. (SingTel), dan melalui Singapore Technologies Telemedia (STT) menguasai 42 persen saham PT Indosat. Kalaupun bukan pemegang saham mayoritas—seperti di Telkomsel—KPPU berkeyakinan bahwa Temasek adalah aktor pengendali yang bisa mempengaruhi putusan direksi. Itu terjadi baik di Telkomsel maupun Indosat.
Komisi merujuk pada kait-mengait antara para tokoh di belakang layar. Misalnya, posisi CEO Temasek yang juga Executive Vice President STT, Madam Ho Ching; dan Direktur Utama STT yang juga Komisari Indosat, Lee Theng Kiat. Rantai unit bisnis dari STT hingga Indosat terlihat panjang mengular, namun pejabat yang muncul itu-itu juga. ”Alamat kantornya juga sama,” kata ketua tim majelis komisi, Syamsul Maarif.
Bagaimana jaringan Temasek di Telkomsel? Di sana ada Direktur Eksekutif Temasek Simon Israel yang juga menjadi Direktur SingTel. Selanjutnya, ada Lim Chuan Poh yang duduk di kursi manajemen SingTel, serta menjabat komisaris Telkomsel.
Bukti lainnya, di anggaran dasar perusahaan disebutkan Temasek berhak mengangkat direktur dan komisaris SingTel dan STT. Selanjutnya, SingTel berwenang menempatkan dua orang di kursi direktur Telkomsel. Mereka memegang peran strategis sebagai direktur niaga dan direktur operasi, yang berwenang menangani pembangunan jaringan.
Peran STT di Indosat jauh lebih besar karena bisa mengangkat dan memberhentikan direktur. Posisi direktur utama memang ditentukan pemerintah Indonesia. Tetapi, menurut temuan KPPU, ia cuma jadi boneka. Yang lebih berperan memegang kekuasaan, termasuk soal perluasan jaringan, adalah wakil direktur utama, yang orangnya ditentukan oleh STT.
Dari sinilah, semua tudingan mengarah. Temasek dituduh sebagai biang keladi mahalnya tarif jasa seluler. Perusahaan investasi asal Singapura itu diduga diam-diam berkolusi (tacit collusion) dalam menguasai pasar seluler di Indonesia. Indikasinya, ia menghambat perkembangan Indosat sehingga tak mampu menantang Telkomsel yang melaju kencang.
Tak pelak, Telkomsel kian merajalela setelah Indosat dikendalikan STT pada 2002. Operator yang dikenal dengan produk kartu Halo dan Simpati ini kian menguatkan cengkeramannya sebagai penentu harga. Ketika Telkomsel menaikkan tarif, operator lain ikut-ikutan agar untung besar. ”Tarif seragam itu bukti tidak ada persaingan,” kata ekonom Indef, Fadhil Hasan, pekan lalu.
Gara-gara dominasi pasar menguat, pendatang baru pun sulit menembus kancah pertarungan. Karena tak bisa bersaing, beberapa di antaranya terpaksa menari mengikuti gendang mereka. Tengok saja penuturan direktur perusahaan jasa seluler ini. Ia menyinggung kasus tarif layanan pesan pendek (SMS) yang pernah bergema belum lama ini. Saat itu dua pemain terbesar menghendaki tarif tetap Rp 250 per sms. ”Padahal biayanya cuma Rp 40 per sms.”
Tak salah jika tarif seluler di sini termahal di Asia. Penelitian Morgan Stanley menunjukkan tarif rata-rata per menit jasa seluler Indonesia cuma lebih murah dibanding Australia. Data Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi memaparkan tarif seluler intraoperator pada masa puncak juga tertinggi di Asia. Dengan harga Rp 1.500 per menit, itu 4 kali lipat lebih mahal ketimbang di Brunei, 2 kali lipat dibanding India, dan 1,2 lebih tinggi dari Singapura.
Akibat tarif yang mahal itu, Komisi menghitung kerugian di pihak konsumen mencapai Rp 14,3 triliun hingga 30,8 triliun untuk kurun waktu 2003-2006. Padahal, kata Syamsul, jika tiga operator besar mau menurunkan tarif 15 persen saja, pelanggan akan sangat diuntungkan.
Ini jelas ironis jika melihat pendapatan per kapita publik penduduk yang lebih rendah ketimbang Singapura, Brunei, dan Malaysia. Saking mahalnya tarif, biaya seluler menyedot porsi 10-20 persen dari pendapatan masyarakat. KPPU makin heran karena jumlah pelanggan terus naik dengan besaran yang tinggi (di atas 40 persen per tahun), tetapi tarif tak juga turun.
Padahal, menurut KPPU, pendapatan mereka sudah berlebihan. Lagi-lagi data Morgan Stanley menunjukkan margin pendapatan bersih (EBITDA)—pendapatan sebelum dipotong bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi—Telkomsel mencapai rata-rata 71 persen per tahun atau tertinggi di Asia. Rasio pengembalian modal (RoE) juga kelewat tinggi, sekitar 55 persen, dengan pendapatan bersih Rp 11 triliun. ”Ini bukti ada tarif eksesif,” kata Syamsul.
Dituding sebagai biang mahalnya tarif seluler di Indonesia, Temasek tentu berang. Simon Israel berbalik menuduh KPPU mengabaikan fakta. Menurut Simon, mereka secara langsung bukanlah pemegang saham Telkomsel dan Indosat. Institusinya juga tidak berperan dalam pengambilan keputusan dan kegiatan operasionalnya. ”Direksinya independen,” kata Direktur Temasek itu pekan lalu.
Ia berdalih bahwa Telkomsel justru dikendalikan oleh PT Telkom—menguasai 65 persen saham—yang notabene adalah perusahaan pelat merah Indonesia. Begitupun di Indosat, pemerintah RI memiliki golden shares yang berhak mengajukan veto atas putusan strategis. Simon tak percaya jika pemerintah atau regulator akan mengizinkan besaran tarif yang merugikan konsumen.
Lagi pula, mengutip ahli persaingan dari Uni Eropa dan Amerika Serikat, Simon mengatakan bahwa pasar industri seluler di Indonesia sangat kompetitif. ”Tidak ditemukan permainan harga, dan konsumen tidak dirugikan,” katanya. Ia juga mengutip studi Bank Dunia yang menyatakan tarif di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan negara tetangga. ”Sayang, KPPU memilih mengabaikan fakta tersebut,” katanya.
Sejumlah kalangan malah berpendapat bahwa pemerintah Indonesia juga turut berperan dalam soal tingginya tarif telepon seluler karena pemerintah juga memiliki saham di Telkom dan Indosat. Sebab, menurut ekonom Universitas Indonesia, M. Ikhsan, Menteri BUMN sebagai institusi yang membawahkan perusahaan negara dituntut mengejar laba sebesar-besarnya. Namun KPPU mengesampingkannya karena pemerintah dianggap bukan sebagai pelaku usaha.
Tudingan pelanggaran persaingan usaha tak sehat juga mengarah ke PT Telkom, namun itu terbantahkan lantaran ia tak punya kepemilikan silang di Indosat. Meski begitu, Komisaris Utama Telkom, Tanri Abeng, memastikan institusinya memang menjadi penentu kebijakan strategis di Telkomsel, dan ia menampik jika Temasek dianggap sebagai pengendali Telkomsel. ”Tuduhan itu tidak logis dan bodoh.”
Tanri juga tak sepakat soal anggapan ada persaingan usaha tak sehat di jasa seluler. Sebab, jumlah pemain di bisnis ini (GSM) ada enam operator, bahkan sembilan operator jika melibatkan telepon mobilitas terbatas. Tambahan lagi, konsumen dibebaskan memilih. Bahwa pelanggan lebih condong ke Telkomsel, Tanri mengibaratkan hal itu sama saja dengan pembeli mobil Mercedes Benz yang tak mau beralih ke Toyota Kijang.
Sayangnya, situasi di pasar tidak sesederhana yang diungkap mantan Menteri Negara BUMN itu. Meski ada enam pemain, lebih dari 80 persen pasar seluler dikuasai oleh Telkomsel dan Indosat. Jadi, menurut analis PT Mega Capital Indonesia, Felix Sindhunata, pilihannya tetap saja sangat terbatas. Artinya, mau tak mau konsumen menjadi sangat bergantung pada pemain besar. ”Mereka terpaksa bayar mahal.”
Toh, Tanri tak mengingkari tudingan tarif Telkomsel termahal. Namun ia beralasan operator yang dipimpin Kiskenda Suriahardja ini diwajibkan pemerintah menggeber penetrasi pasar yang sekarang baru 30 persen. Caranya, lewat ekspansi besar-besaran dengan menambah jaringan. Tahun ini saja mereka mengguyur belanja modal sampai Rp 15 triliun guna mengejar tujuan tersebut.
Cuma, lantaran investasi jaringan berbiaya mahal dan berisiko tinggi, mau tak mau mereka perlu menaikkan pendapatan. Konsekuensinya, tarif menjadi mahal. ”Toh, dengan Telkomsel untung, pemerintah kan ikutan senang,” kata Tanri. ”Tapi, kalau rugi, apakah KPPU mau menanggung?”
Inilah soalnya. Kalau dalih itu dipakai untuk menaikkan tarif sehingga keuntungan operator seluler bisa menjangkau langit, siapa lagi yang harus dikorbankan kalau bukan konsumen. Jadi, masalahnya memang tak sederhana. Jangan-jangan, bukan Temasek saja yang menjadikan tarif mahal. Tapi, semua operator memang berniat menjual mahal alias pasarnya bersifat oligopolistik, bukan monopolistik.
Heri Susanto, Muchamad Nafi
Pangsa pasar telepon seluler gabungan Telkomsel dan Indosat meningkat setelah terjadi kepemilikan silang.
2001
2002
2003
2004
2005
2006
JADI REBUTAN
Telkomsel dan Indosat seperti emas, selalu menjadi rebutan sejak dulu. Berikut ini perjalanan mereka.
31 Oktober 2001 SingTel, anak perusahaan Temasek, mengambil alih 22,3 persen saham KPN, perusahaan Belanda, di Telkomsel. Telkom tetap punya 77,7 persen saham Telkomsel.
2 April 2002 Telkom melepas 12,7 persen saham di Telkomsel kepada SingTel, sehingga ia menguasai 35 persen.
15 Desember 2002 ST Telemedia, anak perusahaan Temasek yang lain, menguasai 42 persen saham Indosat lewat tender.
22 Desember 2006 Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara melaporkan kasus kepemilikan tunggal Temasek ke KPPU. Telkomsel dan Indosat menguasai lebih dari 80 persen pasar seluler.
Awal April 2007 KPPU membentuk tim penyidik soal Temasek.
1 Mei 2007 Altimo, perusahaan Rusia, ingin mengambil alih saham ST Telemedia di Indosat.
31 Januari 2007 Kalangan DPR mendukung upaya pemerintah mengambil alih saham ST Telemedia di Indosat.
19 November 2007 Temasek, induk ST Telemedia dan SingTel, dinyatakan melanggar undang-undang antimonopoli oleh KPPU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo