Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Senja Kala Wiranto, Akhir Sebuah Era

Pemecatan Wiranto menandai berakhirnya era ''hak istimewa" kalangan militer—dan membuka babak baru hubungan sipil-militer yang menegangkan. Akankah dia dan para simpatisannya berontak?

6 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARUM jam sudah menunjukkan pukul lima subuh, tapi Ruang Melati di lantai dua Hotel Millenium, Jakarta, masih benderang. Wajah anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk Timor Timur lusuh sudah, akibat bergadang semalam suntuk. Senin pagi 31 Januari lalu itu, mereka baru saja merampungkan sebuah laporan penting yang berkasnya mesti diserahkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kejaksaan Agung siang harinya. Setelah draf rampung, menurut info dari kalangan dalam, Jaksa Agung Marzuki Darusman, yang juga ikut terlibat menyimak presentasi akhir, mengangkat telepon genggamnya. Yang dikontak adalah nomor saluran khusus ke Presiden Abdurrahman Wahid, yang saat itu berada di Davos, Swiss. Marzuki lalu membacakan butir demi butir kesimpulan dan rekomendasi Komisi. Juga daftar 32 nama perwira TNI/Polri, pejabat sipil, dan anggota milisi yang dinilai terlibat dalam tindak kejahatan terhadap kemanusiaan di Tim-Tim. (Lihat boks.) Mantan Panglima TNI Jenderal Wiranto adalah salah satunya. Setengah jam lamanya sambungan internasional itu berlangsung. Ribuan mil di ujung sana, kata setuju langsung diucapkan Presiden Wahid. Cuma, ada satu catatan. Nama para ''tersangka" tidak perlu dicantumkan tertulis dalam siaran pers. Namun, sang Presiden menambahkan, kalau mau disebut, ya, disebut saja. Kok, repot-repot. Marzuki membenarkan ihwal kehadirannya di Hotel Millenium dan perbincangannya dengan Presiden. ''Saya diundang datang oleh Komisi karena pemerintah kan perlu mengetahui prosesnya," katanya kepada Andari Karina Anom dari TEMPO, ''Kebetulan Presiden menanyakan hal itu, ya, saya sampaikan." Hanya berselang beberapa jam setelahnya, sebuah gempa politik datang dari Swiss. Menjawab pertanyaan pers ketika menghadiri Forum Ekonomi Dunia di Davos itu, Presiden Wahid melansir pernyataan yang—untuk kesekian kalinya—mengguncang suhu politik dalam negeri. Ia menyatakan akan meminta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Wiranto mengundurkan diri begitu ia kembali ke Tanah Air. Tujuannya adalah untuk mengurangi tekanan internasional ke arah Wiranto dan demi terwujudnya proses peradilan yang fair. Esok harinya, seusai Presiden bertatap muka dengan masyarakat Indonesia di Inggris, sikap itu kembali ditegaskan. Kali ini, Abdurrahman menyatakan telah meminta Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menemui Wiranto, jenderal mantan ajudan Soeharto itu, dan memintanya lengser. Dan gempar pun dimulai. Jakarta kalang-kabut. Kabar bakal adanya kudeta militer—yang sudah telanjur mewabah itu—kembali berseliweran. Telepon warga berdering-dering dengan rumor genting. Rupiah kembali terjun bebas, menembus ambang psikologis Rp 7.500, setelah stabil di level Rp 7.000 selama empat bulan terakhir. Faktor Wiranto ikut membuat rupiah terjengkang, begitu kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda S. Goeltom. Sumber-sumber di kepolisian menyatakan korps berseragam cokelat itu berada dalam keadaan siaga satu. Pendapat elite politik dan militer kontan terbelah. Sebagian berkesan membela para jenderal. Sebagian lain mengamini pilihan langkah Presiden. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Akbar Tandjung dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais termasuk yang mendukung. ''Saya kira Wiranto tidak mempunyai jalan lain kecuali mundur jika nantinya terbukti melakukan kesalahan," kata Amien Rais di Jepang. Suara resmi Cilangkap—Markas Besar TNI—meski berkesan agak rikuh, senada. Memasuki Kamis, tensi Republik makin membubung, lagi-lagi bersumber dari pernyataan kontroversial Presiden di belahan benua sana. Kali ini, hal itu bergaung dari Kantor Perdana Menteri Belanda di Den Haag, ketika ia bersama Perdana Menteri Wim Kok menggelar jumpa pers. Abdurrahman tiba-tiba mengingatkan para jenderal agar tidak berbuat sesuatu yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban dalam negeri. Dari para ''pembisiknya", Presiden tampaknya mendapat info gawat, yakni tentang sebuah pertemuan yang berlangsung Rabu malam di Jalan Lautze, Jakarta, yang konon dihadiri sejumlah jenderal. Dalam pertemuan itu, sebuah komplotan merancang demonstrasi besar-besaran antipemerintah pada 5 Februari. Tanggal itu persis dengan hari peringatan Tahun Baru Imlek, yang untuk pertama kalinya bakal dirayakan secara terbuka, dan dikhawatirkan oleh sebagian kalangan akan rawan rusuh. Kerusuhan besar di Jakarta diharapkan akan menjatuhkan pemerintahan. Namun, seperti sudah lazim, pernyataan Presiden menjadi kontroversial justru karena ketidakjelasannya. Ihwalnya samar-samar, siapa tersangkanya tak jelas, apalagi bukti-buktinya. Sampai pekan lalu, Wiranto memang masih berkeras tidak mundur. Dan untuk alasan yang mudah dipahami, dia memang harus mempersiapkan pembelaan diri. Simpati kepadanya juga bukannya tidak ada, khususnya dari kalangan yang merasa tudingan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia itu bukan hanya mengarah kepada Wiranto, melainkan kepada korps besar mereka. Namun, benarkah Wiranto mengotaki sebuah perlawanan yang bersifat makar? Telunjuk Abdurrahman sendiri tak tegas-tegas mengarah ke Wiranto. ''Saya tidak tahu apakah (rencana) demonstrasi ini ada kaitannya dengan Jenderal Wiranto atau tidak. Akan tetapi, saya yakin demonstrasi itu direkayasa oleh tangan-tangan kotor," kata Presiden. Untuk itu, ia telah meminta Jaksa Agung Marzuki Darusman, Panglima TNI Laksamana Widodo A.S., dan Kepala Kepolisian RI Letjen Rusdihardjo mengambil langkah pencegahan dari gangguan keamanan yang mungkin timbul. Rabu malam di Jalan Lautze, tepatnya di kantor Indonesian Democracy Monitoring milik Hariman Siregar, memang berlangsung sebuah pertemuan. Mereka yang hadir—antara lain Mulyana W. Kusumah, Eggy Sudjana, dan Amir Daulay—terang-terangan mengakuinya. Demikian pula Adnan Buyung Nasution, yang mengaku datang karena diundang dalam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Advokasi Para Jenderal TNI. Namun, menurut mereka, pertemuan itu sebatas diskusi biasa membahas rekomendasi Komisi Penyelidik Tim-Tim. Mereka membantah kehadiran para jenderal, juga adanya rencana aksi itu. Pernyataan menghebohkan Presiden Wahid di Den Haag bolehlah disebut terlalu gegabah, kecuali pemerintah bisa merinci bukti-bukti akurat tentang ''rencana makar" itu. Akan halnya Jenderal Wiranto sendiri—meski telah berkali-kali dihubungi—memilih tutup mulut ketimbang menjelaskan duduk persoalannya. Bagaimanapun, kisruh ini mengonfirmasikan kabar yang terbetik sejak tiga pekan lalu bahwa kursi Wiranto di kabinet bakal digergaji segera setelah namanya direkomendasikan Komisi. Tanda-tanda keretakan hubungan kedua petinggi itu memang sudah lama terendus. Wiranto seolah-olah menjadi kerikil di selop Presiden. Salah satu pertandanya sudah muncul pada November silam. Saat itu, mantan Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sudrajat, yang dikenal amat dekat dengan Wiranto, secara frontal menabrak pernyataan Presiden Wahid yang berkesan memberi angin pada tuntutan referendum Aceh. Sudrajat bereaksi keras. Menurut dia, pernyataan Presiden itu cuma pendapat pribadi. Belakangan, sebelum akhirnya terpental dari jabatannya, jenderal berbintang dua itu bahkan menggugat posisi Presiden Wahid selaku Panglima Tertinggi. Ketegangan itu lalu mencapai klimaksnya ketika Istana menyalakan lampu hijau kepada Komisi Penyelidik Tim-Tim yang gencar memburu Wiranto. Padahal, komisi itu—yang juga dibentuk Wiranto—semula dimaksudkan untuk menamengi para jenderal dari sergapan mahkamah internasional. Vonis untuk Menteri Wiranto sendiri sebenarnya sudah dijatuhkan sejak Januari. Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tarman Azzam bahkan mengaku mendengarnya langsung dari Presiden sendiri. Ketika itu, 4 Januari silam, delapan pengurus PWI Pusat diterima di Istana Negara untuk melaporkan rencana penyelenggaraan Kongres Kerja PWI. Tarman datang bersama tujuh pengurus, sementara Presiden didampingi Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Amur Muhasim dan Sekretaris Presiden Ratih Hardjono. Ngobrol punya ngobrol, muncul pertanyaan soal kabar penggantian Jenderal Wiranto. Tak dinyana, Presiden gamblang menjawab. ''Ah, enggak! Saya enggak ada niat mengganti Wiranto. Cuma, akan kita paksa dia mundur. Mundur atas kesadarannya sendiri," kata Tarman mengutip Presiden. Langkah itu perlu diambil karena, ''Kasus dia (Wiranto) banyak dan merupakan kompensasi supaya tidak ada pengadilan internasional." Jika Wiranto bersedia mundur, Presiden Wahid akan melobi Presiden Bill Clinton agar tak ribut-ribut soal mahkamah internasional. Nama Menteri Dalam Negeri Surjadi Soedirdja sebagai calon pengganti Wiranto di kabinet juga sempat disinggung. Permintaan agar Wiranto mundur diduga juga akan diikuti langkah lain. Menurut sumber-sumber di kalangan militer, kini tengah dirancang restrukturisasi berskala luas di tubuh TNI. Sejumlah pos strategis—dari panglima daerah militer sampai komandan resor militer—yang diduduki para perwira yang dinilai dekat dengan Wiranto bakal bergeser. Terhadap segala kegalauan itu, seperti biasanya, Presiden Wahid santai-santai saja menyikapinya. Ketika ditanya pers apakah ia tak khawatir dengan reaksi balik militer, ia menjawab dengan percaya diri, ''Mereka akan mematuhi saya." Langkahnya memang memperoleh dukungan luas dari dunia internasional. Perdana Menteri Inggris Tony Blair, Presiden Prancis Jacques Chi-rac, dan Perdana Menteri Belanda Wim Kok ramai-ramai mengacungkan jempol untuk langkah Abdurrahman. Bahkan, dukungan mencolok datang dari Perdana Menteri Italia Massimo D'Alema. Akhir pekan lalu, di Istana Roma, D'Alema mengingatkan para jenderal TNI agar jangan sekali-kali mencoba menggulingkan pemerintah. ''Saya tegaskan, komunitas internasional akan memberikan reaksi keras kepada siapa pun yang mengancam pemerintahan yang sah di Indonesia," katanya seperti dikutip kantor berita AFP. Indonesia, di mata para pemimpin Eropa itu, kini tengah membangun sebuah tonggak sejarah baru dalam penegakan demokrasi dan hak asasi. Inilah pertama kalinya, semenjak 32 tahun Orde Baru, seorang jenderal berbintang empat dan para perwira tinggi militer direkomendasikan untuk disidik. Inilah pertanda penting bahwa kemewahan impunity (kejahatan tanpa peradilan) yang selama ini dinikmati sementara kalangan militer boleh jadi bakal diakhiri. Pemerintahan Abdurrahman juga dinilai berhasil mengedepankan supremasi masyarakat madani. Kredit bagus ini tak seyogianya dikuras dengan mengobral pernyataan gegabah. Karaniya Dharmasaputra, Darmawan Sepriyossa, Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus