Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Antara Lautze dan Den Haag

Beberapa jenderal dicurigai mengadakan pertemuan di Jalan Lautze. Presiden salah tuding.

6 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHKAN di peta Jakarta pun Anda pasti kesulitan mencari di mana Jalan Lautze berada. Jalan kecil kumuh itu ada di dekat Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat. Tapi, terpisah ribuan kilometer dari Lautze, dari Den Haag, Belanda, Presiden Abdurrahman Wahid bisa "mendengar" apa yang terjadi di sebuah bangunan bertingkat di sana pada Rabu malam pekan lalu: sejumlah jenderal mengadakan pertemuan khusus. Maka, setelah mendengar "Pertemuan Lautze" dari para juru bisiknya itu, esok harinya, di tengah jumpa pers bersama Perdana Menteri Belanda Wim Kok di Den Haag, Gus Dur tiba-tiba melontarkan kecaman untuk para jenderal di Jakarta. Menurut apa yang didengar Gus Dur, di Lautze itulah sejumlah "tangan kotor" mencoba menggoyang pemerintahannya. Tapi benarkah "Pertemuan Lautze" dihadiri sejumlah jenderal dan dirancang untuk menjatuhkan Kiai Presiden? Agaknya, Gus Dur meleset. Malam itu Indonesian Democration Monitor, sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk demokrasi yang dikoordinasi Mulyana W. Kusumah, aktivis lembaga bantuan hukum Indonesia, menyelenggarakan diskusi, suatu kegiatan rutin setiap dua minggu. Tempatnya di sebuah rumah toko (ruko) milik Hariman Siregar, mantan aktivis mahasiswa dan belakangan menjadi "orang dekat" bekas B.J. Habibie. Diskusi terbatas tapi terbuka itu dihadiri 30 orang. Mereka antara lain Eggi Sudjana, Endon Syahbudin, Gurmilang Kartasasmita, Bursah Zarnubi, dan Agus Budi Santoso. Tak satu pun jenderal hadir di acara itu, kata Mulyana. Bahan diskusi adalah evaluasi kinerja Tim Advokasi Hak Asasi Manusia Perwira TNI yang diketuai pengacara Adnan Buyung Nasution. Tim Advokasi, sebut saja begitu, adalah sekumpulan pengacara untuk membela Jenderal Wiranto dan kawan-kawan yang dituduh melanggar hak asasi manusia di Timor Timur pascajajak pendapat. Pembicara utama, ya, Adnan Buyung Nasution. Eggi Sujana, mantan aktivis HMI yang secara berseloroh menyebut dirinya "jenderal demo", menuturkan jalan diskusi yang berkelok. Dalam acara itu, peserta diskusi mencecar Buyung dengan pertanyaan kritis menyangkut motivasinya membela Wiranto, tokoh militer yang dianggap terciprat dosa Orde Baru. Buyung berkilah bahwa pembelaannya terhadap Wiranto adalah untuk menegakkan supremasi hukum di atas politik. Diskusi yang juga memperdebatkan kemungkinan pengunduran diri Wiranto dari jabatannya itu berujung tanpa kesimpulan. Namun, ada cerita lain dari sebuah sumber yang dekat dengan militer. Pertemuan di ruko Hariman itu dikabarkan membicarakan juga soal dukungan mereka kepada Wiranto, yang kini berada di ujung jurang sejarah. Mengapa Hariman? Karena dia juga yang mendukung duet Habibie dan Wiranto sebagai presiden dan wakilnya menjelang Sidang Umum MPR tahun lalu, kata sumber ini. Kesimpulannya, kata sang sumber, Hariman dan kawan-kawan menyepakati untuk mendukung Wiranto dalam bentuk dukungan massa. Tapi soal dukungan terhadap Wiranto itu dibantah oleh Mulyana. "Tidak ada ajakan untuk melakukan aksi massa atau membela Wiranto besar-besaran," kata Mulyana, yang mengaku meninggalkan tempat lima menit setelah acara bubar. Hariman juga membantah. Jadi, pertemuan mana yang dimaksud Gus Dur? Jangan-jangan ada pertemuan lain? Sumber yang dekat dengan satu sayap militer melaporkan bahwa malam itu pada pukul 19.30 memang berlangsung pertemuan sejumlah habaib di sebuah masjid yang tak jauh dari ruko Hariman. Mereka membicarakan dukungan untuk Wiranto yang terpojok sekarang. Eggi Sudjana disebut-sebut sebagai motornya. Seorang sumber di Tanjungpriok mengaku pernah dihubungi Eggi untuk mengumpulkan massa dalam unjuk rasa 5 Februari. Tapi tudingan itu dibantah. "Saya tidak ikut pertemuan itu," kata Eggi. Adapun pada 5 Februari lalu memang tak ada demo besar. Kabar lain dituturkan sebuah sumber TEMPO. Katanya, usai pertemuan di rumah Hariman, Buyung bersama beberapa tokoh dan habaib datang ke rumah Wiranto di Jalan Denpasar, Jakarta. Sejumlah jenderal telah berada di rumah itu. Dalam pertemuan yang berlangsung hingga dini hari itu, Buyung berpendapat bahwa permintaan Presiden agar Wiranto mengundurkan diri dari jabatannya itu kelewat batas. Ia mengusulkan agar menggunakan aksi massa untuk "membendung" desakan mundur Gus Dur terhadap Wiranto. Seorang jenderal menyatakan tak keberatan "pihak swasta" itu menggunakan aksi massa, sejauh aksi tersebut tidak merusak. Sejauh mana kebenaran berita itu? Buyung Nasution, melalui orang dekatnya, mengatakan bahwa ia pulang dari Lautze pukul 22.00 malam itu dan tidak pergi ke rumah Wiranto dari sana. Ia menilai tuduhan penggalangan massa di Lautze itu berita bohong belaka. Suhu politik Jakarta pun semakin membuat gerah. K.M.N., Wenseslaus Manggut, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus